Reformasi birokrasi merupakan salah satu strategi reformasi administratif yang dapat ditempuh oleh Indonesia.
Hal tersebut karena peran birokrasi yang sangat vital dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga pondasi yang baik adalah kunci dari jalannya sistem pelayanan yang baik yang diwujudkan dalam tiga strategi sesuai dengan RUU ASN, RUU Administrasi Pemerintahan, dan Sembilan Program Percepatan Reformasi Birokrasi.
Untuk memperjelas langkah-langkahnya, sembilan program tersebut terdiri dari penataan struktur birokrasi, penataan jumlah, distribusi dan kualitas PNS, sistem seleksi dan promosi secara terbuka, profesionalisasi PNS, pengembangan sistem elektronik pemerintah atau e-government, peningkatan pelayanan publik, peningkatan transparansi dan akuntabilitas aparatur, peningkatan kesejahteraan pegawai negeri, dan efisiensi belanja pegawai.
Salah satu langkah yang disebutkan yakni sistem seleksi dan promosi secara terbuka atau biasa dikenal sebagai meritocracy yang artinya sistem tersebut menjunjung tinggi kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar tanpa membedakan faktor politik, ras, agama, asal usul, jenis kelamin, maupun kondisi kecacatan.
Untuk menjalankan sistem merit sendiri merupakan langkah panjang yang mesti ditempuh di tengah berbagai hambatan yang dialami, seperti jumlah Aparatur Sipil Negara yang membeludak, dan masih akan bertambah dengan cukup signifikan setiap tahunnya, hingga pada fenomena gratifikasi yang marak terjadi pada level pemerintahan khususnya bagi jabatan-jabatan tinggi yang cukup strategis.
Perlu kita akui bersama bahwa Indonesia sudah pasti merupakan salah satu negara paling korup di dunia, sehingga praktik pembagian jabatan merupakan keadaan yang mesti diterima dengan pahit oleh masyarakat Indonesia dalam banyak kesempatan.
Oleh sebabnya, tidak hanya memiliki relevansi yang tinggi, pelaksanaan sistem merit ini perlu konsisten dilakukan sejak sekarang agar menyiapkan pemimpin yang kompeten sedini mungkin untuk Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang.
Selain dari kepentingan, salah satu hal yang juga perlu diantisipasi oleh pemerintah Indonesia adalah perubahan global yang terjadi dengan sangat cepat. Berbagai ketidakpastian dan pertumbuhan baik dalam bidang ekonomi, lingkungan, dan lain sebagainya perlu mendapat respon yang jitu dari para pekerja terkait di bidangnya.
Sumber Daya Manusia menjadi salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan, terlebih pada level pemimpin yang sifatnya vital dalam mengambil kebijakan. Sudah seharusnya mereka yang memegang jabatan tinggi dalam birokrasi pemerintah memiliki kualitas seperti mampu memikirkan solusi jangka panjang, ataupun memiliki inisiatif yang baik untuk mau belajar dari kasus-kasus yang dialami oleh negara lain.
Permasalahan yang terjadi sekarang, sistem ini masih tidak berjalan sepenuhnya dan masih banyak pemilihan yang bersifat penunjukan. Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem yang demikian sangat rentan dipengaruhi oleh faktor-faktor subjektif seperti hubungan politis maupun hubungan politis yang mengarah pada nepotisme.
Sifat politis dalam administrasi dan esensi bawaan dari jabatan ASN memang sulit untuk dilepaskan, sehingga hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk berani dan tegas dalam menjalankan sistem yang adil yang berdasarkan pada merit dan kualifikasi yang dapat diukur dari masing-masing kandidat.
Sistem usang seperti bagi-bagi jabatan yang nyatanya masih banyak terjadi dan belakangan ini mendapat sorotan publik karena terjadi pada jabatan komisariat, cukup berbahaya apabila dilanjutkan dalam jangka panjang karena tidak hanya kualitas individunya yang dapat diragukan, baik dari latar belakang pendidikan maupun kemampuan lainnya, namun personil yang memiliki integritas, profesional, netral, dan bebas dari intervensi politik akan semakin jauh di angan-angan.
Melihat kondisi Indonesia saat ini, memang cukup sulit berpikir optimis dan berharap bahwa sistem ini dapat mengubah birokrasi Indonesia dalam semalam. Konotasi yang terlanjur negatif dan melekat pada pekerja birokrat kita memang membutuhkan waktu dan kompleksitas yang tinggi sehingga kedepannya pelayanan yang baik, cepat, dan efisien dapat menjadi standar kita bersama seperti yang selalu diharapkan.
Lalu, apakah ada kebaikan yang dapat diterima dari sistem selain merit seperti penunjukan atau 'bagi-bagi jabatan'? kebaikan yang dapat dibayangkan hanya dapat terjadi apabila individu yang terpilih secara kebetulan memang memiliki kualitas yang mumpuni. Namun seberapa banyak kebetulan tersebut dapat terjadi, tentu saja menjadi teka-teki yang mungkin tidak sepadan untuk dipecahkan.
Mungkin memang sudah saatnya jiwa kompetisi dihadirkan di kalangan ASN kita, sehingga tidak ada lagi anggapan bahwa ASN tidak serius dalam bekerja, dan pekerjaan tersebut merupakan idaman semua orang karena minimnya usaha yang perlu dilakukan.
Sudah saatnya orang-orang yang memiliki kompetensi dan memiliki mimpi yang besar bagi kemajuan Indonesia mendapatkan jabatan tinggi yang berpengaruh agar cita-citanya dapat direalisasikan tanpa terhalang sistem yang menghambat, dan mestinya tidak perlu.
Berbagai alasan seperti kerumitan proses mestinya bukan menjadi penghalang untuk sistem merit ini dilakukan. Sama seperti banyak transformasi, kemauan untuk cepat berubah sedini mungkin untuk menghindari kesulitan yang lebih jauh, memang harus secara berani cepat diambil.
Yang perlu diperbaiki mungkin hanya memastikan bahwa indikator yang ada sudah cukup baik untuk menghasilkan pemimpin berkualitas seperti yang diidam-idamkan. Namun, tantangan yang mungkin dihadapi biarlah menjadi ombak yang perlu ditaklukkan, bukan dihindari. Mengingat publik sudah jengah mendengar jabatan penting jatuh pada mereka yang secara kualitas, membuat mereka berpikir dua kali untuk mempercayai kejujuran dari pemilihannya.
Referensi:
- Badan Kepegawain Negara. (2018). DIKOTOMI SISTEM MERIT DAN POLITISASI BIROKRASI DALAM PENGANGKATAN JABATAN ASN. Bkn.Go.Id.
- LAN RI. (2020). Reformasi Birokrasi: Pondasi Wujudkan Good and Clean Government. Lan.Go.Id.
- Sudrajat, T., Kunarti, S., & Hartini, S. (2018). Promotion Policy of Civil Servant Based on Meritrocracy Principle in Local Government of Indonesia. Advance in Social Science, Education and Humanities Research, 231, 128–131.
Tag
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Taspen Bayarkan Manfaat THT ke 147 Ribu Pensiunan ASN
-
Kemendagri Soroti Masalah Netralitas ASN hingga Kades Jateng dan Jatim di Pilkada, Siapkan Sanksi Tegas
-
Dony Oskaria Jadi Wamen BUMN Sekaligus Wakil Komisaris Pertamina, Memangnya Boleh Rangkap Jabatan?
-
Masuk Lingkaran Istana, Keluarga Sultan Andara jadi Sorotan Karena Rangkap Jabatan
-
Apa Jabatan Raffi Ahmad di STY Foundation Milik Shin Tae-yong? Tugasnya Gak Main-Main
Kolom
-
Pilihan Hidup Sendiri: Ketika Anak Muda Memutuskan Tidak Menikah, Salahkah?
-
Hikayat Sarjana di Mana-mana
-
Jebakan Maskulinitas di Balik Tren Video Laki-laki Tidak Bercerita
-
Membedah Batasan Antara Kebebasan Berpendapat dan Ujaran Kebencian
-
Sadbor sebagai Duta Anti Judi Online: Paradoks Makna Pemberian Gelar
Terkini
-
Panggil 26 Pemain untuk Piala AFF Wanita, Garuda Pertiwi Bawa Bekal Positif
-
Teka-teki Eliano Reijnders Dicoret STY dari Skuad, Ini Kata Erick Thohir
-
Kesbangpol dan PD IPARI Karanganyar Gelar Pembinaan Kerukunan Umat Beragama untuk Meningkatkan Toleransi dan Harmoni
-
3 Rekomendasi Film Kolaborasi Memukau Ryan Gosling dan Emma Stone
-
Rekor Pertemuan Timnas Indonesia vs Arab Saudi, Garuda Belum Pernah Menang?