Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Fhaisal
Ilustrasi Menulis (freepik)

Generasi Z atau kelahiran 1997-2012 saat ini, menurut sensus BPS sejumlah 27,94% dari total penduduk Indonesia sebanyak 270,20 juta jiwa. Sayangnya, generasi Z yang jumlahnya banyak ini beberapa diantaranya tersandung dalam budaya negatif.

Di tengah kemajuan teknologi dan keberlimpahan informasi, generasi muda kita banyak yang menghabiskan waktunya dengan hal-hal yang kurang bermanfaat.  Salah satunya dan yang paling sering kita jumpai ialah bermain game.

Kenapa mereka bisa main game berhari-hari, sampai lupa dengan kewajiban mereka sendiri, bahkan sampai lupa makan dan tidur? Jawabannya karena mereka sudah kecanduan. Rasa candulah yang membuat mereka gila seperti itu.

Hal yang sama dialami para perokok dan para pengonsumsi obat-obatan terlarang. Mereka yang mengalami kegilaan adalah mereka-mereka yang ditimpa oleh rasa kecanduan. Kecanduan itu bisa melahirkan rasa nikmat. Tapi sayangnya, yang membuat mereka kecanduan adalah kegiatan yang kurang bermanfaat.

Stakholder sejatinya memiliki tanggungjawab dan wewenang yang besar untuk mengubah mindset generasi Z dari bermain game ke hal yang bermanfaat seperti dunia kepenulisan atau literasi.

Ada ungkapan orang bijak yang bilang, bahwa manusia itu adalah anak lingkungan (al-Insân ibn al-Bîah). Karena itu, karakter, kepribadian, kecenderungan, mentalitas, hobi dan kesukaan manusia sedikit banyak pasti dipengaruhi oleh lingkungan.

Lingkungan generasi Z saat ini dipenuhi dengan arus informasi digital yang buruk. Dunia media sosial seperti Facebook, Instagram, hingga Youtube menjadi konsumsi harian yang membentuk perilaku.

Tontonan game di Youtube adalah aktivitas yang membentuk kecanduan anak muda untuk ikut bermain dan membentuk komunitas. Dalam ilmu komunikasi hal demikian dikategorikan standpoint, teori ini menilai bahwa pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki individu, sebagian besar dibentuk oleh kelompok sosial di mana mereka cenderung aktif berkomunikasi.

Jikalau sekolah, kampus, lingkungan mendukung secara penuh budaya baca dan tulis, maka tidak menutup kemungkinan generasi Z di Indonesia menjadi melek literasi.

Yang kadang tidak diperhatikan oleh kita adalah kecanduan bagi generasi Z sejatinya tidak hanya berlaku bagi hal-hal negatif. Komunikasi standpoint juga bisa menumbuhkan kecanduan pada hal-hal positif, seperti halnya membaca dan menulis.

Sebagai generasi penerus bangsa, generasi Z yang populasi hampir 76 juta jiwa saat ini bisa diubah mindsetnya pada hal-hal yang jauh lebih bermanfaat dan berguna, ketimbang kegiatan-kegitaan yang menghabiskan waktu mereka secara sia-sia.

Indonesia berada di posisi 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi paling buruk di dunia. Jangan berharap banyak bangsa Indonesia yang mudah diprovokasi, mudah diadudomba dan mudah tersulut emosi lantaran kapasitas otaknya memang memprihatinkan.

Faktanya berita hoaks di Indonesia menjadi konsumsi harian yang dipercaya begitu saja tanpa ada filter. Generasi muda di Indonesia lebih mementingkan menuruti kehendak nafsu dan bersenang-senang daripada ketekunan belajar untuk masa depan yang lebih baik.

Maka dari itu, stakeholder perlu mewanti-wanti kecenderungan yang dialami generasi Z harus diperhatikan betul untuk diarahkan pada kegiatan yang menunjang aktivitas belajar, membaca dan menulis.

Dengan aktivitas inilah masa depan NKRI bisa diharapkan menjadi lebih cerah dari sekarang. Misalnya, setiap sekolah, kampus, lingkungan RT digalakkan lomba membaca dan menulis, peringatan kemerdekaan digalakkan lomba membaca dan menulis, dengan begitu, lingkungan akan terpacu untuk menumbuhkan semarak di ruang perpustakaan, ruang baca dan banyak karya yang dihasilkan dari kecanduan di bidang literasi.

Perlu ditegaskan hanya dari kecerdasan literasilah Indonesia bisa bersaing dan menjadi negara maju kedepannya. Tanpa adanya kesadaran literasi generasi Z saat ini, jangan harap Indonesia kedepan bisa lebih baik dari sekarang. Alih-alih maju, malahan kemerosotan yang didapati. Tabik!

Fhaisal

Baca Juga