Sastra bukan hanya sekadar hasil imajinasi liar sang penulisnya. Di balik kisah yang mendebarkan, diksi yang puitis, dan penokohan yang tampak begitu hanya, suatu karya sastra menyimpan fakta tentang kondisi dunia nyata yang sesungguhnya.
Ia bisa menampilkan situasi mendalam soal dinamika politik, kebudayaan, hingga perkembangan sejarah. Oleh sebab itulah, suatu karya sastra bisa dibilang seperti memori yang merekam jejak kehidupan manusia.
Satu lagi kekuatan sastra adalah, ia tidak lapuk oleh zaman, terutama bagi karya-karya kanon yang terus bersinar dan tetap hidup di belantika dunia literasi.
Salah satu yang membuat sastra terus hidup adalah isu yang dibawanya tetap relate dari masa ke masa. Apalagi banyak karya sastra yang ditulis di periode waktu tertentu bisa menjadi dokumen sejarah yang mencatat peristiwa dan pengalaman suatu individu atau kelompok.
Dari sekian banyak tema yang diusung penulis dalam karyanya, sejarah rupanya menempati posisi yang istimewa. Fiksi yang dibalut peristiwa historis ini menjadi ladang subur bagi para penulis untuk mengangkat isu-isu penting yang bergejolak di perkembangan hidup manusia. Sementara bagi pembaca, novel sejarah bisa menjadi lorong waktu yang membuka gerbang ke peristiwa di masa lalu.
Sebagaimana hal di atas, sastra Indonesia juga memiliki khazanah sejarah yang beragam. Di mulai sejak periode Melayu klasik, Balai Pustaka, Pendudukan Jepang, era Reformasi, hingga modern ini, sastra Indonesia telah menyimpan banyak kenangan sejarah yang berharga.
Sebagian karya sastra ditulis tepat pada waktu kejadian tersebut berlangsung, atau diangkat oleh penulis modern yang menyuguhkan topik sejarah masa lampau.
Jika ingin melihat rekam jejak sejarah Indonesia sejak era Hindia-Belanda, salah satu karya sastra yang termasyhur adalah Max Havelaar karya Multatuli (Douwes Dekker). Buku yang ditulis pada tahun 1860 ini merupakan novel satire karya penulis Belanda yang mengkritik sistem tanam paksa dan eksploitasi pemerintah Hindia-Belanda yang merugikan rakyat.
Multatuli menulis buku ini berdasarkan pengalaman pribadinya selama menjadi Asisten Residen di Lebak. Tak heran kalau tulisan di dalam buku Max Havelaar tampak realitis dan ditulis secara teliti. Kelahiran buku ini tentunya mendobrak situasi sosial dan politik kala itu. Namun bagi pembacanya di masa depan, buku adalah catatan sejarah penting karena menampilkan situasi real yang terjadi selama penjajahan Belanda di Nusantara.
Di era modern, ada penulis keturunan Indo-Belanda bernama Dido Michielsen menulis tentang kehidupan nyai pada masa Hindia-Belanda dalam novel Lebih Putih Dariku (Lichter dan Ik). Sebagai keturunan nyai, Michielsen menggunakan arsip keluarganya sebagai landasan menyusun tokoh Nyai Isah dan kehidupannya selama menjadi gundik perwira Belanda. Hasilnya, novel Lebih Putih Dariku melukiskan sisi gelap perempuan Indonesia secara realistis dan menyayat hati.
Bergeser ke zaman penjajahan Jepang, salah satu penulis yang hampir selalu menyelipkan situasi pada masa pendudukan Jepang adalah Idrus. Meskipun namanya kadang jarang terdengar, tetapi karyanya dianggap sebagai tonggak pembaruan di bidang prosa karena menampilkan kesederhanaan, realistis, dengan sindiran yang khas.
Penggambaran masa pendudukan Jepang di karya Idrus bisa dilihat pada kumpulan cerpen dan naskah drama yang disatukan dalam buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Bahkan buku ini disusun secara kronologis hingga pasca kemerdekaan Indonesia. Sebab itulah, di buku ini terdapat tiga bagian yang masing-masing bagian dikelompokkan berdasarkan corak penulisan dan waktu kejadian di dalam cerita. Bagian yang dimaksud adalah Zaman Jepang, Corat Coret di Bawah Tanah, dan Sesudah 17 Agustus 1945.
Catatan sejarah juga tak hanya ada di karya novel saja. Salah satu penyair legendaris Indonesia, Chairil Anwar dikenal dengan puisinya yang romantis dan penuh perjuangan. Puisinya yang berjudul Karang Bekasi misalnya, hidup sebagai puisi yang mengagungkan perjuangan kemerdekaan.
Pascakemerdekaan, para sastrawan pun sesekali masih menggunakan mengangkat sejarah di karya mereka. Nama-nama seperti Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, Mochtar Lubis, hingga penulis modern seperti Ayu Utami dan Leila S. Chudori terkenal berkat karyanya yang sarat dengan peristiwa sejarah.
Bagi belantika sastra Indonesia, nama Ayu Utami muncul sebagai penulis yang fenomenal. Lewat novel Saman, ia menjadi penulis wanita yang "berani" membawa isu gender yang tabu dengan sentilan sejarah yang cukup kelam. Catatan sejarah dalam novel ini kian menarik karena berkisah di pulau Sumatra dan erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat pedalaman. Tokoh yang bernama Saman menjadi sosok aktivis yang berani membela masyarakat biasa. Hasilnya, sejarah di novel Saman merangkum sedikit banyak kisah kelam yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru.
Begitu pula dengan Laila S. Chudori yang menulis novel tentang perjuangan para aktivis di era Orde Baru dalam novel Laut Bercerita. Novel ini menjadi salah satu novel sejarah yang ditulis di periode sastra Indonesia modern yang paling banyak diminati karena topik yang sensitif. Bahkan penulis sangat berani menggambarkan situasi perjuangan aktivis kala aksi, intervensi militer, hingga penculikan dan penyiksaan aktivis.
Beberapa sastrawan dan karya di atas merupakan sedikit sekali fiksi sejarah yang dimiliki Indonesia. Ada banyak penulis yang hingga kini masih menggunakan sejarah sebagai landasan konseptual karya mereka. Sebagai karya fiksi, sastra memang tidak bisa dijadikan acuan utama pada penelitian sejarah. Namun, keberadaannya bisa menjadi sumber pendukung yang mampu memberi gambaran dan fakta sesungguhnya tentang peristiwa di masa lampau.
Baca Juga
-
Review Buku Beruang di Lantai Atas: Metafora tentang Jiwa yang Rindu Kebebasan
-
Ulasan Novel When Love Walked in: Dari Pacar Pura-Pura, Lalu Beneran Jatuh Cinta
-
Ulasan Novel Celebrity Wedding: Pernikahan Palsu Akuntan dan Artis Terkenal
-
Buku Seni Penjara: Kumpulan Mahakarya yang Tercipta dari Balik Jeruji Besi
-
Ketupat Pecel dan Keragaman Rasa yang Menyatukan Keluarga di Hari Raya Lebaran
Artikel Terkait
-
Novel Teori Tawa dan Cara-Cara Melucu Lainnya: Belajar Tertawa dari Luka
-
Review Buku Beruang di Lantai Atas: Metafora tentang Jiwa yang Rindu Kebebasan
-
Ulasan Novel Saha: Perjuangan Identitas di Tengah Penindasan Sosial
-
Mengunjungi Pameran Mushaf Al Quran Langka di Masjidil Haram
-
Fadli Zon Sangkal Pemerkosaan Massal: Mengaburkan Nama Besar di Balik Tragedi Mei 98?
Kolom
-
Sebungkus Nasi Padang: Obat Penawar Rindu dari sang Ibu
-
Fenomena IRT Jadi Affiliator: Emansipasi atau Eksploitasi Tersembunyi?
-
Nasi Bungkus, Ayah, dan Kenangan yang Tak Pernah Usai
-
Rawon Bunda: Pekatnya Rasa dan Rindu Jadi Satu
-
Tempe Dibagi Lima, Sambal Direbutin: Cerita di Balik Nasi Hangat Pesantren
Terkini
-
HP 2 Jutaan Terbaru 2025: Spek Ngebut, Harga Bersahabat
-
Thank U, Next oleh Ariana Grande: Lagu Move On yang Jadi Simbol Cinta Diri
-
Where We Are oleh One Direction: Nostalgia Satu Dekade yang Viral di TikTok
-
Pecinta Kendaraan Lawas Wajib Tahu! 3 Oli Mesin yang Cocok untuk Mobil Tua
-
Novel Teori Tawa dan Cara-Cara Melucu Lainnya: Belajar Tertawa dari Luka