Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Oktavia Ningrum
ilustrasi pernikahan (pexel/Sandy)

Diskusi tentang pernikahan kerap dibungkus dalam narasi cinta dan kebahagiaan. Namun dalam praktiknya, alasan orang menikah tidak selalu setinggi itu. Ada yang menikah karena ingin punya partner hidup yang setara. Tapi ada juga yang menikah karena alasan ekonomi—mencari kestabilan finansial, bukan koneksi emosional.

Fenomena ini makin tampak di era sekarang. Ketika sebagian perempuan menuntut laki-laki harus mapan namun enggan merasakan sulitnya. Bahkan lebih parahnya lupa untuk menyetarakan diri sendiri.

Dan tak sedikit pula laki-laki yang merasa cukup menyumbang uang dan menyebut itu “adil”, sementara tanggung jawab rumah tangga, anak, hingga pengelolaan emosional sepenuhnya dibebankan ke istri. Lalu ketika ada perempuan yang meminta pembagian kerja yang lebih adil, jawabannya seringkali sarkastik. 

Dalam obrolan seputar pernikahan, tak jarang muncul pernyataan sinis dari sebagian laki-laki: “Kalau perempuan maunya spek nabi, siapa yang mau sama mereka?” atau “Sekian juta maharnya, pantas nggak buat kamu?”

Pernyataan-pernyataan seperti itu mungkin terdengar ringan, tapi sebenarnya membuka tabir cara pandang yang bermasalah: perempuan dilihat sebagai objek yang harus ditebus, bukan partner yang setara.

Padahal, dalam ajaran agama, mahar adalah hak perempuan, bukan bentuk pembelian atau harga "pantas" yang bisa dinegosiasikan dengan sinis. Ketika laki-laki berkata “udah banyak, harusnya cukup,” maka jelas terlihat cara pandang yang menempatkan perempuan bukan sebagai manusia utuh, tapi sebagai barang dagangan. Dan dari situ saja, bisa ditebak bagaimana kelanjutan relasinya nanti: relasi kuasa, bukan kemitraan.

Lebih jauh, ada juga realita sosial lain yang mulai muncul ke permukaan—yaitu bahwa tidak semua orang menikah karena ingin punya partner hidup. Ada yang menikah karena tekanan sosial, ada juga yang hanya ingin mencari stabilitas ekonomi. Ini bukan tuduhan, tapi pengamatan. Banyak orang belum benar-benar siap secara emosional, mental, atau finansial, tapi tetap memaksakan menikah karena mengira pernikahan adalah solusi dari ketidakberdayaan pribadi.

Padahal, kalau dua orang menikah tanpa kesiapan, bias beban akan muncul. Satu pihak menanggung lebih banyak, sementara yang lain sekadar menumpang. Pernikahan lalu menjadi semacam lembaga subsidi, bukan rumah saling tumbuh. Inilah kenapa kemandirian sebelum menikah penting—bukan untuk jadi sombong, tapi supaya tidak menyusahkan.

Sayangnya, narasi lama yang masih bertahan adalah: “Laki-laki kerja, perempuan urus rumah. Udah adil, udah sesuai porsinya.” Padahal, hidup dan relasi manusia jauh lebih kompleks dari template satu arah seperti itu. Ada pasangan yang sama-sama kerja, ada yang saling membantu urusan rumah, bahkan ada yang membangun bisnis bersama.

Keadilan dalam rumah tangga bukan soal peran, tapi kesepakatan. Maka adil bagi satu pasangan belum tentu adil bagi pasangan lain. Di sinilah pentingnya visibilitas nilai dan kecocokan visi-misi. Kalau dua orang tidak sepakat dari awal, bagaimana mungkin membangun hidup bersama secara sehat?

Pernikahan bukan tempat “mencari pengganti ART,” bukan pula tempat “mencari donatur tetap”. Jika itu yang dicari, maka jangan kaget jika relasi berubah jadi tuntutan sepihak. 

Pernikahan yang sehat tidak bisa bertahan hanya dengan cinta. Ia butuh visi yang sama, rasa hormat, dan kesediaan untuk terus tumbuh bersama. Tanpa itu, rumah tangga akan cepat lelah—karena satu pihak terus memberi, sementara pihak lain hanya merasa berhak.

Cinta bisa datang dan pergi, tapi respect adalah fondasi yang tidak boleh hilang. Dan saat seseorang tidak lagi melihat pasangannya sebagai partner, tapi sebagai objek yang bisa diatur, dibeli, dan dibebani, maka sebenarnya ia sudah kehilangan segalanya.

Oktavia Ningrum