Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang antara 6º LU sampai 11º LS, dan 95º BT sampai 141º BT. Seperti itulah penjelasan letak astronomisnya yang tertulis dalam buku mata pelajaran IPS waktu saya masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah dulu.
Terlepas dari itu, topik tentang Indonesia seolah tak ada habisnya untuk diperbincangkan. Misalnya dalam sisi sejarah. Sejah dahulu, masyarakat Indonesia menganggap bahwa pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan adalah kerja paksa yang digagas oleh Daendels. Selain itu, terpatri pula anggapan bahwa Daendels tidak memberi upah sedikit pun untuk para pekerja.
Namun, beberapa waktu yang lalu ramai dibahas bahwa Daendels sebenarnya sudah menyediakan upah disertakan juga dokumen rincian anggarannya tetapi dana tersebut tak pernah sampai pada para pekerja karena dikorupsi pejabat pribumi setempat.
Nah, pertanyaannya sekarang, apakah setelah ini materi dari buku sejarah (tentang kerja paksa) akan diubah isinya, atau akan tetap sama seperti dahulu? Entahlah, mari kita lihat saja besok!
Sayangnya, masyarakat kita pada saat itu sangat jauh dari kata ‘mengetahui’ budaya baca-tulis. Sehingga sejarah tentang apa yang benar-benar mereka alami tak akan pernah muncul ke permukaan. “Sejarah ditulis oleh pemenang”, begitu kata Winston Churchill.
Bukan hanya dalam sisi sejarah, pembicaraan tentang Indonesia juga mencakup sisi-sisi yang lain. Di mana bila kita melihat sisi-sisi tersebut, kita (mungkin) akan berkata, “Seharusnya tidak demikian!”. Berikut 3 contohnya.
1. Perihal Gaji
Ini merupakan salah satu keunikan di Indonesia. Mereka yang berjuang mencerdaskan kehidupan bangsa justru digaji lebih sedikit daripada para artis (yang entah mencerdaskan bangsa atau tidak).
Bukan rahasia lagi memang bahwa gaji guru honorer sangat rendah, bahkan ada yang menyatakan lebih rendah dari gaji asisten rumah tangga. Mirisnya lagi, fakta tentang rendahnya gaji guru honorer ini malah digunakan sebagai embel-embel untuk menarik dana dari wali murid, seperti salah satu sekolah di daerah saya.
Entahlah, bagaimana sistem yang digunakan. Kok sampai bisa-bisanya negara hanya membayar begitu murah orang-orang yang punya andil besar dalam mencerdaskan SDM-nya.
Mengutip dari laman lifepal.co.id, Indonesia menempati peringkat 2 kategori negara dengan rata-rata gaji guru terendah di dunia. Disebutkan bahwa gaji guru di Indonesia hanya Rp 40 jutaan per tahun.
Angka tersebut bahkan terpaut 3 kali lipat lebih rendah dari negara tetangga, Malaysia. Ya, di Malaysia, rata-rata gaji guru mencapai Rp 137 jutaan per tahun. Yah, itulah uniknya Indonesia. Mereka yang berjuang untuk mendidik hanya digaji Rp 40 juta per tahun, sementara mereka yang yang kerjanya tidur (waktu rapat) dan nyusahin rakyat digaji Rp 60 juta per bulan.
2. Rendah Literasi, Suka Beropini
Pada tahun 2016, Central Connecticut State University melakukan riset dengan judul World’s Most Literate Nations Ranked. Hasilnya, Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negaraterkait minat baca masyarakatnya.
Di sisi lain, orang-orang Indonesia berada di peringkat 5 dalam sisi kecerewetan di media sosial. Yah, begitulah. Sedikit mengetahui tapi bicara tak henti-henti.
Maka tak heran bila kita banyak menemui hoaks dan pendapat-pendapat yang sekadar terkaan (tidak didasarkan fakta) saat menjelajah dunia maya. Padahal seharusnya kita lebih banyak membaca, supaya tak banyak menerka.
Namun, itu dulu lho ya, sekarang kan sudah ada UU ITE yang... kalian tahu sendiri lah. Jadi, kemungkinan masyarakat kita sudah tidak secerewet dahulu di dunia maya.
3. Lebih Suka Joget Ketimbang Hal Lainnya
Kalau kita di era sekarang bicara soal joget, maka sudah pasti mengarah pada TikTok. Ya, aplikasi yang berisi konten joget meski ada konten lainnya, tapi tetap saja yang paling dominan konten joget ini tampaknya begitu digemari oleh masyarakat Indonesia.
Menurut hasil riset Sensor Tower, aplikasi non-game yang paling banyak diunduh per Agustus 2020 adalah TikTok. TikTok telah diunduh sebanyak 63, 3 juta dan Indonesia menyumbang 11 persen dari total unduhan tersebut. Sumbangan 11 persen itu merupakan sumbangan yang tertinggi dibanding negara-negara lain.
Dari data di atas, bisa dilihat bahwa masyarakat Indonesia sangat menyukai joget, entah itu sekadar menjadi penonton maupun sebagai pelaku. Hal yang lebih membuat saya geleng-geleng kepala dan mengusap dada adalah scene salah satu sinetron yang mempertontonkan kepada publik bagaimana seorang anak dan ayah berusaha menyadarkan ibunya dari koma dengan joget TikTok.
What!? Kalau hal tersebut benar-benar dipraktikkan oleh anak-anak di dunia nyata, apa jadinya?
Tag
Baca Juga
-
Menggugat Sekolah yang 'Tak' Bersalah
-
Film Encanto: Tak Ada Keluarga yang Benar-benar Sempurna
-
Doctor Strange MoM: Menyelamatkan Dunia Bukan Perkara yang Membahagiakan
-
Privilese Spider-Man dan Batman serta Korelasinya dengan Konsep Berbuat Baik
-
Imam Al Ghazali dan Tuduhan Soal Penyebab Kejumudan Berpikir
Artikel Terkait
-
Timnas Indonesia Masih Punya Kans Lolos ke Piala Dunia? Hajime Moriyasu: Di Masa Depan
-
Timnas Indonesia Digilas Jepang, Sayonara Shin Tae-yong?
-
Kevin Diks Cedera, Shin Tae-yong Kasih Penjelasan Seperti Ini
-
Peluang Timnas Indonesia ke Putaran 4 Kualifikasi Piala Dunia usai Kalah dari Jepang
-
Ganggu Lagu Tanah Airku, Momen Pemain Jepang Diusir Jay Idzes dari Lapangan
Kolom
-
Menggali Tradisi Sosial dengan Dinamika Tak Terduga Melalui Arisan
-
Fenomena Lampu Kuning: Ritual Keberanian atau Kebodohan?
-
Melawan Sunyi, Membangun Diri: Inklusivitas Tuna Rungu dan Wicara ADECO DIY
-
Ujian Nasional dan Tantangan Integritas Pendidikan Indonesia
-
Menggali Makna Mahasiswa 'Abadi': Antara Idealisme dan Keterlambatan Lulus
Terkini
-
Ulasan Novel Ganjil - Genap: Kisah Pencarian Jodoh dengan Banyak Tikungan
-
4 Varian Sunscreen dari NPURE, Ada Bentuk Spray hingga Powder
-
Nantikan! Film Mendiang Song Jae-rim Dijadwalkan Rilis pada Januari 2025
-
Ulasan Novel The Case We Met: Kisah Cinta Dari Ruang Sidang ke Ruang Hati
-
NIKI Ubah Jadwal Konser di Indonesia, Jadi 14 dan 16 Februari 2025