Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Agung
Ilustrasi isolasi atau karantina COVID-19 - (Pixabay/fernandozhiminaicela)

Akhir-akhir ini, kita mendengar bahwa pemerintah Indonesia telah memberlakukan PPKM Darurat, terhitung sejak 3 Juli hingga 20 Juli 2021. PPKM Darurat diberlakukan di Pulau Jawa, Bali dan beberapa daerah lainnya.

Konsep semacam PPKM sudah beberapa kali diterapkan di Indonesia. Namun, dalam penerapannya sering kali menuai banyak polemik. Misalnya, mal ditutup, pedagang kaki lima dan warung makan dibatasi jam kerjanya serta dilarang melayani makan di tempatnya. Di samping itu, ada juga pembatasan dalam mobilitas masyarakat seperti industri non esensial ditutup dan beberapa penyekatan ruas jalan selama PPKM diberlakukan. 

Konsep penerapan PPKM sangat baik karena dinilai dapat menekan laju penularan Covid-19. Namun, di sisi lain justru menuai polemik baru karena pemerintah tidak mempertimbangkan secara serius dalam melihat kondisi ekonomi masyarakat ketika PPKM itu diterapkan.

Ditambah pula beberapa hari lalu beredar kabar telah datang TKA China ke Indonesia, dan juga ada beberapa oknum pejabat yang kedapatan melanggar PPKM. Hal itu menjadi bukti bahwa pemerintah tidak serius dalam penanganan Covid-19. 

Ketika melihat kinerja pemerintah hari ini, justru penerapan PPKM agaknya lebih difokuskan untuk rakyat kecil semata.

Belum lagi adanya buruh yang di PHK, terhimpitnya ekonomi masyarakat (UMKM) akibat pembatasan jam kerja, dan beberapa kendala terkait anjuran pemerintah untuk lebih beraktivitas di sosial media. Apalagi kendala dari pekerjaan yang bersifat teknis untuk mencari mata pencaharian seperti bengkel motor, petani, dan nelayan.

Hal ini harus dievaluasi kembali oleh pemerintah. Pasanya, jika tidak, maka kehidupan rakyat akan terancam dan dapat memicu terjadinya sosial chaos. Selain itu, berpotensi pula meningkatnya angka kriminalitas disebabkan ekonomi yang semakin merosot.

Agung