Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Fauzan
Ilustrasi Pandemi. (Pexels)

Pada 14 Juli 2021, tiga bulan yang merupakan langkah inkonstitusional. Putusan hakim juga membuka pintu bagi mereka yang pernah didenda atau dipenjara akibat aturan lockdown untuk mengklaim uang denda yang pernah dikeluarkan. Tapi, pengadilan mewanti-wanti tidak akan menerima gugatan hukum dari masyarakat dan pelaku usaha yang ingin menuntut pemerintah atas kerugian selama masa lockdown.

Jangan khawatir, peristiwa ini tidak terjadi di negeri yang menerapkan PSBB, PSBB terbatas, PPKM mikro atau PPKM darurat. Gugatan tersebut terjadi di Spanyol. Saat itu, pemerintahnya melakukan langkah tegas mencegah penyebaran dan melindungi masyarakatnya dengan memberlakukan lockdown pada 14 Maret hingga Juni 2020 dan mendeklarasikan negara dalam kondisi darurat. Tanpa embel embel sipil atau militer.

Kalau di komparasi berdasarkan aspek ekonomi, perekonomian Indonesia jelas lebih sehat. Pada tahun 2008, negeri Matador ini mengalami dampak dahsyat krisis keuangan. Masih jadi pasien IMF. Tahun lalu mendapatkan dana pemulihan virus corona dari Uni Eropa sebesar 140 miliar Euro. Tidak boleh dialokasikan untuk kebutuhan lain, seperti PMN ke BUMN yang mengerjakan proyek kereta cepat.

Ini bukan didapat begitu saja. Untuk itu, mereka harus melakukan reformasi perburuhan terbatas. Walau sama sama terbatas, ini tidak seperti PSBB terbatas. Yang ini ada konsekuensinya. Dan serius. Menyebabkan perpecahan dengan rekan koalisi yang bisa mengakibatkan krisis politik. Itu sekelumit cerita Spanyol.

Sekarang kita ke saudara serumpun. Pada 28 Juni 2021. Perdana Menteri Muhyiddin luncurkan paket stimulus ekonomi baru senilai Rp 524 triliun. Tujuannya menanggulangi dampak ekonomi dari perpanjangan lockdown nasional. Spanyol dan Malaysia menjadi salah satu contoh kesungguhan sebuah pemerintahan yang mati-matian menjaga rakyatnya agar tetap aman. Dan hidup. Kedua negara ini sadar, negara dibangun dan roda ekonomi berputar kencang oleh rakyatnya yang aman, sehat dan hidup. Kondisi yang kontrarian justru akan mendatangkan kemudharatan bagi semua.

Untuk pulih dari keterpurukan ini, dibutuhkan anggaran penanganan dan pemulihan yang di luar porsi normal. Dan itu anggaran yang amat besar. Data BPKP menyebutkan, di tahun 2020, Indonesia menganggarkan dana penanganan pandemi dari APBN Rp 937,42 triliun, dari APBD senilai Rp 86,36 triliun. Dan dari sektor moneter sebesar Rp 6,50 triliun.

Selain itu, turut menyumbang dari BUMN sebesar Rp 4,02 triliun, sedangkan dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebesar Rp 320 miliar. Terakhir, dari dana hibah dan masyarakat senilai Rp 625 miliar. Dan diakhir tahun 2020, anggaran Penanganan Covid-19 Capai Rp 1.035,25 Triliun.

Penghindaran frase karantina wilayah telah menimbulkan penanganan pandemi yang bersifat poco-poco. Berjoget maju mundur. Publik tampaknya jenuh dengan lemparan lemparan terminologi kebijakan penanganan manakala kasus covid 19 semakin tidak terkendali. Ditambah urusan munculnya varian baru virus ini. Semakin runyam.

Work from Bali, paket diskon wisata dan denial karantina wilayah membuat penanganan pandemi seolah semakin menghentak tarian poco-poconya. Dengan kata lain, seolah ingin menghindari kewajiban pembayaran kompensasi terhadap warga jika dilakukan karantina wilayah, berbagai atribusi minimal pun dilakukan.

Kebijakan PSBB, PSBB terbatas, PPKM mikro, PPKM darurat dan perpanjangan PPKM darurat bagaikan sudah turun di gelanggang balap, namun masih ragu untuk gas pol. Padahal karantina wilayah merupakan implikasi signifikan terhadap krisis manajemen dan respons kebijakan dalam situasi kritis.

Lagu pembukaan Doraemon, "Aku ingin begini. Aku ingin begitu .

Ingin ini , ingin itu banyak sekali . .

Semua, semua, semua

Dapat dikabulkan

dapat dikabulkan dengan kantong ajaib"

Mengingatkan kita atas poco-poco penanganan pandemi. Banyak keinginan dan kantong ajaib menjadi dua kata kunci.

Pemerintah harapan masyarakat ini terlihat belum melakukan sinkronisasi kata dan perbuatan. Implementasi penerapan prioritas utama kebijakan penanganan pandemi masih belum optimal. Rencana proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung melalui utang luar negeri dan penyuntikan PMN atas BUMN yang terlibat proyek, dan pembangunan Ibukota Baru membuat publik yakin pemerintah memiliki kantong ajaib yang dapat mengeluarkan anggaran jumbo diluar penanganan pandemi.

Jika karena anggaran, maka rasionalisasi pemerintah menolak karantina wilayah berdasarkan semata faktor keuangan negara menjadi gugur. Mengingat proyek proyek tidak terkait penanganan pandemi masih berlangsung. 

Selama dan pasca-pandemi, sektor signifikan yang mencegah ledakan sosial adalah pangan. Indonesia tanah yang diberkati. Republik saat ini tidak memiliki konflik politik, sehingga harapan besar masyarakat dan pemerintah masih amat kuat untuk rebound. Industri pangan harus kembali diperkuat agar kebutuhan masyarakat tercukupi. Bukan dengan impor tentunya.

Cukup lakukan subsidi pupuk dan bibit untuk petani

Dengan modal dukungan yang besar dari masyarakat, kita yakinkan pemerintah untuk mengambil langkah penanganan pandemi yang tepat: berlakukan karantina wilayah, tunda proyek proyek tidak terkait penanganan pandemi dan subsidi pupuk dan bibit. (*)

*Fauzan Luthsa, partner di Rupakata dan Ormit Kelola Nusantara*

Fauzan

Baca Juga