“Skip, plastique”
Eh, eh, tenang dulu, jangan tersulut emosi. Narasi di atas adalah kalimat paling umum yang sering aku temukan pada kolom komentar media sosial saat memberitakan artis Korea. Ungkapan ‘plastik’ berasal dari kebiasaan banyak masyarakat Korea Selatan yang menganggap lumrah operasi plastik untuk mempercantik diri. Walaupun identik dengan operasi plastiknya. Sesungguhnya ada banyak hal yang bisa dipetik dari kesuksesan industri hiburan dan kebudayaan Korea Selatan ke kancah global.
Fanatik Tak Harus Berisik
Genjatan popularitas Korea Selatan (Korean Wave) atau disebut sebagai hallyu dimulai sejak tahun 1990-an. Semakin hari semakin terlihat begitu banyak peningkatan kualitas K-Pop. Mulai dari menjamurnya boy/girl band, serial drama (drakor), film, hingga variety show. Banyak sekali daru teman-temanku terutama kaum hawa yang sangat menggilai dunia Korsel. Mereka berusaha memperkenalkanku dengan beragam macam kebudayaan Korsel.
Jujur saja, aku tidak begitu mengetahui dan mengenal lebih dalam mengenai hiburan Korea Selatan (Korsel) ini. Yang aku tahu hanyalah sebatas Dream High dengan teater musikalnya, Big Bang dengan bang bang bang-nya, Dae Jang Geum dengan keahlian memasaknya, PSY dengan Gangnam Style-nya, dan BLACKPINK dengan ddu-du ddu-du nya. Walaupun pengetahuanku terbatas, tetapi aku mencintai kegigihan mereka, para pekerja seni Korea hingga sekarang.
Stigma negatif yang sering diterima oleh fandom K-Pop begitu jelas terlihat. Kefanatikan mengarah hal cacat para pecinta K-Pop kepada idolanya inilah yang pada akhirnya membawa nama buruk keseluruhan industri Korsel. Hal ini diakibatkan oleh perilaku hallyu korean yang terlalu obsesif hingga menyerang kelompok penggemar lainnya. Tanpa bermaksut menjatuhkan, contohnya ialah ARMY (sebutan penggemar BTS) menganggap bahwa BTS sebagai boyband terbaik dan boyband lainnya kualitasnya ada di bawah. Atau perilaku membayangkan diri-sendiri (halu/halusinasi) menjadi pasangan idola hingga mengganggu kehidupan sehari-hari.
Sesungguhnya di usiaku yang saat ini berkisar di angka 20 tahunan. Diam-diam aku menengok teman-temanku yang penggemar berat Korsel. Mereka mencintai idolanya, tetapi sadar untuk tidak berlebihan. Sehingga dapat ditarik benang merah bahwa para penggemar di usia dewasa lebih banyak menikmati karya para idolanya daripada hanya membandingkan idola satu sama lainnya. Oleh karena itu, dibandingkan hanya berusaha mati-matian menjadi pendukung tetapi berperilaku toxic seperti menjadi sasaeng (pengganggu privasi idola). Lebih baik mari para penggemar Korea untuk mencari keuntungan menjadi K-Popers.
Menjadi Hallyu Tapi Jangan Halu, Manfaat Menjadi K-Popers
Semakin seringnya intensitas hiburan Korea menyentuh negara Indonesia, mulai dari iklan makanan hingga e-commerce. Menjadikan banyak dari masyarakat Indonesia yang demam Korea. Walaupun sering mendapatkan cibiran seperti dianggap alay hingga disebut sebagai pemuja plastik. Nyatanya juga ada dampak positif ketika menjadi seorang fangirl/fanboy.
- Menambah kemampuan bahasa asing
Saat menonton drakor, kita terbiasa bergantung dengan subtitle karena perbedaan bahasa. Karena hal inilah para penggemar Korea mau tidak mau dituntut untuk berusaha sedikit memahami Bahasa Inggris atau Bahasa Korea. Apabila ditekuni, sebenarnya kebiasaan belajar Bahasa Korea ini bisa menjadi ladang uang. Ada banyak tawaran pekerjaan menjadi penerjemah Bahasa Korea baik full time atau freelance.
- Belajar menabung
Impian besar semua para penggemar K-Pop hampir sama, yaitu ingin menonton penampilan idola secara langsung atau sekadar membeli merchandise-nya. Karena keinginan itulah yang membentuk karakter penggemar untuk rajin menabung.
- Solidaritas tinggi
Tidak perlu diragukan lagi tingkat kesolidan para penggemar idola Korea. Dari persamaan idola dan rasa cinta inilah yang pada akhirnya bisa membuka peluang memperlebar pertemanan hingga lintas benua.
Nah, itulah buah pemikiranku atas fenomena Korean Wave. Tidak ada salahnya mencintai sepenuh hati idola kita. Tetapi marilah berpikir lebih ke depan untuk mengambil sisi positifnya saja.
Baca Juga
-
Bekerja sebagai Quality Control, Harus Mengenal Training GMP dan HACCP
-
Bukan Hanya Soal Kedewasaan, 5 Alasan Sebaiknya Jangan Sering Update Status
-
Hidup Semakin Hemat, 5 Peralatan yang Wajib Dimiliki Anak Kos
-
Sebelum Kuliah, Ketahui 4 Jenis Tugas yang Biasa Dikerjakan Mahasiswa
-
5 Buku yang Wajib Kamu Baca Ketika Memasuki Fase Quarter Life Crisis
Artikel Terkait
Kolom
-
Thrifting: Gaya Hidup Hemat atau Ancaman Industri Lokal?
-
Thrifting: Gaya Hidup Hemat atau Ancaman Industri Lokal?
-
Tantangan Literasi di Era Pesatnya Teknologi Informasi
-
Tren Media Sosial dan Fenomena Enggan Menikah di Kalangan Anak Muda
-
Mengemis Digital di TikTok: Ketika Harga Diri Menjadi Komoditas
Terkini
-
Tampil Feminin saat Hangout dengan 4 Padu Padan Outfit Rok ala Beby Tsabina
-
Mengulas Romantisme Ibukota Lewat 'Kisah dari Selatan Jakarta' Karya WSATCC
-
Taeyeon Girls' Generation Bahas Ketidaksempurnaan di Lagu Baru 'Hot Mess'
-
Review Film Agatha All Along, Ambisi Dapatkan Kembali Kekuatan Sihir
-
Pelatih Striker Timnas Indonesia Minta Pemain Lakukan Ini Jelang Hadapi Jepang