Indonesia tengah merayakan hari ulang tahun kemerdekaan yang ke-80. Di tengah peringatan tersebut, muncul kuat seruan “Merdeka untuk Bumi”. Seruan itu menegaskan bahwa kemerdekaan sebuah negara tak hanya terletak pada kemerdekaan pada sumber daya manusianya melainkan juga harus mencakup alam sebagai alat penopang dari kehidupan semua manusia. Hal ini dikarenakan alam adalah tempat tinggal manusia yang harus dijaga agar generasi di masa datang masih bisa merasakan kenikmatannya.
Pada sisi hukum, negara memang telah memberikan berbagai banyak produk hukum yang dibuat untuk kepentingan perlindungan bumi. Namun, yang perlu kita garis bawahi saat ini ialah ketika kita menengok pada produk hukum ssecara spesifik, misalnya Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba), muncul sebuah ironi bahwa bumi justru kian terbelenggu oleh regulasi yang lebih berpihak pada kepentingan investasi dibandingkan perlindungan lingkungan.
Belenggu dibalik UU Minerba
Sebelum pembentukannya, UU Minerba lahir dengan janji manis. Janji manis itu ialah memberikan kepastian hukum, mengatur tata kelola pertambangan, serta menjamin keberlanjutan lingkungan. Namun, realitasnya kita dapat ketahui bersaa bahwa sangat jauh berbeda.
Alih-alih menjaga bumi, UU Minerba justru memperkuat posisi korporasi tambang besar. Menurut pendapat penulis, ada beberapa pasal yang membuat posisi UU Minerba tidak menguntungkan bagi keberlanjutan lingkungan ini.
Pasal-pasal akan penulis kelompokan sebagai berikut:
- Pasal 169 A
Yang menjadi masalah dalam pasal ini adalah aturan dalam memberikan perpanjangan otomatis izin usaha pertambangan khusus (IUPK) bagi perusahaan tanpa mekanisme lelang baru. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa kepentingan lingkungan dan evaluasi tata kelola sering kali dikesampingkan.
- Pasal 162
Dalam pasal 162 menyebutkan bahwa setiap orang yang menghalangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan akan dapat dipidana. Hal yang ditakutkan kemudian adalah tidak menutup kemungkinan bahwa aka nada suara kritis dari public atau aktivis lingkungan yang akan terbungkam. Padahal partisipasi masyarakat sudah seharusnya menjadi hal prioritas untuk adanya transparasi kebijakan.
Kedua pasal tersebut hanyalah sebagian kecil dari banyaknya aturan yang menjadi kontrovesional. Dampak dari adanya tambang ini mungkin tidak dirasakan di masa sekarang, namun di masa yang akan datang. Sudah banyak laporan dari berbagai daerah menunjukkan hutan yang rusak akibat tambang terbuka, sungai yang tercemar limbah, hingga konflik agraria yang tak kunjung usai.
UU Baru, Masalah Lama
Sementara itu, saat UU Minerba masih jauh dari kesempurnaan, DPR telah baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (RUU Minerba) menjadi Undang-Undang melalui rapat paripurna pada bulan Februari lalu.
Pada saat pengesahannya, banyak suara-suara kritis yang disampaikan dari berbagai pihak. Salah satunya adalah WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) yang menyampaikan bahwa ada setidaknya 5 poin yang memprihatinkan atas perubahan UU Minerba ini.
Pertama, UU ini fokus pada pengendalian konsesi tanpa penguatan pengelolaan; kedua, liberalisasi dan privatisasi sumber daya alam; ketiga, pelemahan pengawasan; keempat, pemberian konsesi kepada ormas keagamaan dan UMKM; kelima, dampak lingkungan yang semakin parah tanpa penguatan pengelolaan lingkungan.
Dari kelima poin itu saja penulis menilai bahwa UU Minerba ini dapat berupaya untuk memperburuk krisis lingkungan apabila tidak diawasi dengan suara publik yang sudah sadar.
Seruan yang Belum Nyata
Ironi ini semakin terasa ketika seruan “Merdeka untuk Bumi” hanya bergaung sebagai slogan, sementara bumi sendiri masih terjajah oleh regulasi longgar. Berkaca pada aturan yang jauh dari kata sempurna ini, penulis memahami bahwasanya bumi ini masih jauh dari kata merdeka. Bumi yang kita tempati ini masih dibelenggu oleh kepentingan jangka pendek yang mengorbankan keberlanjutan hidup generasi mendatang.
Sebagai generasi muda, sudaat satnya kita semua untuk menunjukkan kepedulian rakyat terhadap bumi yang kita tempati sendiri. Selain itu, sudah saatnya juga negara benar-benar berani mengoreksi arah kebijakan jika memang hal tersebut diperlukan.
Bagi penulis, Merdeka untuk bumi bukan hanya memastikan perilaku kita terhadap alam, namun kita juga harus memastikan regulasi berpihak pada kelestarian lingkungan, bukan hanya pada keuntungan ekonomi.
Baca Juga
-
Janji Negara Menjaga Bumi: Suara Kritis atas Lemahnya Penegakan Hukum
-
Ulasan Nine Puzzle, Duet Kim Da Mi dan Son Suk Ku Pecahkan Kasus Pembunuhan
-
3 Rekomendasi Drakor yang Dibintangi Go Soo, Terbaru 'Parole Examiner Lee'
-
71 Ribu Perempuan Indonesia Pilih Childfree: Bukan Pemberontakan, tapi Pilihan!
-
Curi Perhatian di Family by Choice, Inilah 3 Rekomendasi Drakor Seo Ji Hye
Artikel Terkait
-
Bancakan Pitulasan: Tradisi Unik Ramaikan HUT RI yang Menyatukan Perbedaan
-
Kalah 2-1, Timnas Indonesia U-17 Kerepotan Ladeni Permainan Mali yang Ganas
-
Menjaga Sungai Lewat Dayung: Ketika Rafting Jadi Aksi Lingkungan
-
Rekor! Ragunan Diserbu 46 Ribu Pengunjung saat Libur Panjang HUT ke-80 RI
-
Timnas Indonesia U-17 Gagal Kasih Kado Istimewa di HUT RI ke-80
Kolom
-
Bancakan Pitulasan: Tradisi Unik Ramaikan HUT RI yang Menyatukan Perbedaan
-
Dinamika Budaya Bookfluencer: Eksistensi Bookstagram dan BookTok
-
Menjaga Sungai Lewat Dayung: Ketika Rafting Jadi Aksi Lingkungan
-
Kamu Bukan Sekadar Penonton: Saatnya Jadi Suara untuk Alam
-
Janji Negara Menjaga Bumi: Suara Kritis atas Lemahnya Penegakan Hukum
Terkini
-
Sempat Absen, Anna Faris dan Regina Hall Akhirnya Balik ke Scary Movie 6
-
Sinopsis Series Ratu Ratu Queens, Tayang di Netflix September Tahun Ini
-
4 Sheet Mask Berbahan Peptide, Rahasia Kulit Kencang dan Bebas Garis Halus!
-
Kalah 2-1, Timnas Indonesia U-17 Kerepotan Ladeni Permainan Mali yang Ganas
-
Ulasan Buku Sophie's Perfect Birthday, Pentingnya Kepedulian kepada Sesama