Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Dyan Arfiana Ay
Ilustrasi resign, berhenti bekerja. (Shutterstock)

Carut marut dunia kerja, mau tak mau menyeret kita pada penjara bernama fluktuasi rasa. Ada kalanya merasa begitu semangat, sampai jam pulang pun tidak ingat. Rela memberikan yang terbaik, hingga tawaran lembur tidak mampu ditampik. Semua demi membesarkan perusahaan, tempat kita menghasilkan cuan. Tapi ada kalanya juga kita berada pada titik jenuh yang kemudian membuat tak ada gairah untuk berkarya. Wajar. Namanya juga manusia.

Biasanya, perasaan jenuh akan diiringi dengan sebersit keinginan untuk resign. Meski tentu saja, kalau kita berbicara tentang resign, jenuh hanyalah sedikit dari sekian banyak faktor pendorong, seperti: Tawaran yang lebih baik di tempat lain, ingin pengalaman baru, maupun terjadi masalah internal dengan rekan kerja yang lain. Tapi, proses menuju resign yang kaffah tidaklah sesingkat jumlah katanya yang hanya 6 huruf itu. Selalu saja ada pertempuran batin di sana.

Pertempuran batin menuju keputusan resign ibarat susu dalam secangkir kopi hitam. Ah, kalau kamu bukan peminum kopi hitam, pasti sulit membayangkan cocokologi ini. Tapi tak apa. Saya dengan senang hati menjelaskan. Begini. Pertama, anggaplah kamu adalah pecinta kopi hitam. Kamu selalu senang mengawali hari dengan aroma kopi yang menguar. Tapi, diantara 365 hari dalam setahun, ada kalanya kamu pasti tergoda untuk menuangkan susu ke dalam cangkir kopi. Membayangkan sensasi gurih dan manis dari susu membuat godaan itu semakin nyata.

Sayangnya, ketika sampai pada keputusan menambahkan susu dalam secangkir kopi, belum tentu rasanya lebih nikmat seperti apa yang selama ini dibayangkan. Aroma asli dari biji kopi yang selama ini menceriakan hari, tak ada lagi. Belum soal manisnya susu yang ternyata membuat perut jadi eneg. Lalu diam-diam, penyesalan itu datang. Kamu mulai merindu kopi hitammu. Itu menyesakkan.

Begitu pula dengan resign pekerjaan. Butuh pemikiran dan perencanaan yang matang agar rencana resign kita tidak berujung pada penyesalan. Setidaknya, jangan sampai keputusan resign kerja dibuat saat kita sedang dibalut emosi sesaat. Lebih baik, beri waktu sejenak untuk menenangkan diri. Saat itu, mungkin kita hanya sedang lelah. Maka, yang kita butuhkan hanyalah upaya untuk me-recharge energi kita. Dengan ambil cuti, misalnya. 

Kalaupun ternyata setelah mengambil jeda, rasa untuk resign itu masih ada, barulah kita berusaha untuk mencari peluang. Mulai menggali informasi perusahaan baru yang sekiranya sesuai dengan bidang yang kita sukai. Atau mau berwirausaha? Boleh saja. Asal perencanaan sudah matang dan tentu saja, lagi-lagi harus siap menerima resiko akan kemungkinan munculnya penyesalan. Bila telanjur susu telah dituangkan ke kopi, bukankah tak ada pilihan lain selain kita berusaha untuk menikmatinya? 

Dyan Arfiana Ay