Scroll untuk membaca artikel
Bimo Aria Fundrika
PLTG Cilegon dikabarkan terbakar (Istimewa)

Gangguan pasokan gas sejak awal 2024 menimbulkan kepanikan industri. Dari kaca, keramik, baja, petrokimia hingga pupuk, semua mengeluhkan kuota terbatas dan harga melambung pada periode HGBT 13–31 Agustus 2025.

PHK massal kini menjadi ancaman nyata karena industri harus berhadapan dengan energi yang semakin mahal sekaligus tidak stabil.

Kondisi ini menelanjangi rapuhnya pondasi energi nasional yang masih bertumpu pada gas. Krisis gas yang terjadi, menurut Greenpeace, membuktikan Indonesia tidak mungkin mencapai ketahanan energi sebagaimana dicita-citakan Presiden Prabowo dalam pidato Nota Keuangan 15 Agustus lalu, jika tetap bergantung pada energi fosil.

Namun di tengah krisis, pemerintah justru menambah ketergantungan dengan mempercepat pembangunan pembangkit listrik tenaga gas.

Dalam RUPTL 2025–2034 tercatat rencana penambahan 10,3 GW, dengan 9,3 GW di antaranya akan dibangun hanya dalam lima tahun ke depan. Direktur Utama PT PLN (Persero), Darmawan Prasodjo, menjelaskan rencana itu sebenarnya sudah dikurangi dari semula 15,2 GW, namun tetap membuka peluang impor LNG di masa depan.

Ilustrasi PLTGU Tambak Lorok

“Jika Pemerintah dan PLN telah menyadari bahwa penambahan pembangkit gas baru hanya akan meningkatkan ketergantungan Indonesia pada gas dan akan membawa risiko impor, maka seharusnya tidak ada penambahan pembangkit gas baru dalam RUPTL tahun ini,” tegas Greenpeace.

Produksi gas domestik sendiri terus menurun sejak 2013. Studi APEC memperkirakan Indonesia akan menjadi net importir gas pada 2040 jika permintaan domestik meningkat, terutama dengan hadirnya PLTG baru.

Studi CERAH juga mencatat penambahan 10,3 GW PLTG akan membebani keuangan PLN hingga Rp155,8 triliun per tahun hanya untuk bahan bakar.

Di saat gas penuh risiko, energi surya justru belum dimanfaatkan serius. Indonesia memiliki potensi 3.200 GW, tetapi kapasitas yang digunakan baru 270 MW atau kurang dari 1% pada 2024. Padahal tenaga surya lebih stabil karena tidak bergantung pada pasar global yang rentan, sekaligus sejalan dengan agenda Swasembada Energi pemerintahan Prabowo.

Transisi energi bersih juga membuka peluang ekonomi baru. Greenpeace dan CELIOS memperkirakan ekonomi hijau bisa menciptakan 19,4 juta lapangan kerja dalam satu dekade, jauh lebih banyak dan sehat dibanding industri fosil.

Karena itu Greenpeace mendesak pemerintah menghentikan ilusi “gas sebagai solusi transisi energi”. Gas terbukti mahal, pasokannya rapuh, dan cadangan dalam negeri terus menyusut. Jika ketahanan energi benar-benar ingin dicapai, Indonesia harus lepas dari ketergantungan pada gas dan mempercepat pembangunan energi terbarukan.

Penulis: Muhammad Ryan Sabiti