Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Raditya
Ilustrasi Covid-19. (Shutterstock)

Kata pahlawan berkaitan erat dengan sosok yang rela berkorban demi kebaikan dan keselamatan orang banyak. Ia lahir dan hidup dari masyarakat yang mewariskan cerita kepahlawanan dari masa ke masa.

Sosok pahlawan biasanya identik dengan pejuang kemerdekaan hingga karakter fiksi seperti para superhero. Namun, sejak kehadiran internet, sosok kepahlawanan semakin beragam dengan cerita-cerita yang dirayakan di media sosial.

Berbagai cerita yang ditampilkan di internet selalu menarik simpati publik, menandakan bahwa kita begitu mencintai hero stories.

Pahlawan di Masa Pandemi

Pandemi COVID-19 juga melahirkan —atau mempertegas keberadaan— tenaga kesehatan sebagai pahlawan yang berjasa bagi masyarakat. Mereka menjadi garda terdepan penanganan pandemi yang rela bertaruh nyawa demi merawat orang-orang yang terpapar COVID-19.

Pengorbanan mereka begitu nyata, di mana per 9 Juli 2021, sebanyak 1.207 nakes telah gugur selama pandemi (Sumber: LaporCovid-19). Jumlah tersebut begitu banyak dan menjadi kehilangan besar bagi Indonesia, mengingat mereka adalah orang-orang terlatih yang perannya begitu krusial di tengah pandemi.

Dengan pengabdian yang tulus, ditambah risiko kematian yang begitu besar, kita semua rasanya sepakat jika tenaga kesehatan berhak menjadi pahlawan masa kini. Kontribusinya yang begitu besar patut mendapat apresiasi dan penghormatan dari seluruh masyarakat.

Sayangnya, tenaga kesehatan di Indonesia masih berhadapan dengan berbagai permasalahan dan situasi yang merugikan. Lantas, bagaimana sebaiknya kita menyikapi dan “membalas budi” jasa tenaga kesehatan di masa pandemi? 

Bagai Dua Sisi Koin yang Berdampingan

Hemat saya, salah satu yang bisa kita lakukan adalah dengan mengibaratkan tenaga kesehatan sebagai dua sisi koin yang saling berdampingan. Pada satu sisi, tenaga kesehatan merupakan pahlawan yang yang telah berkorban dengan menjadi garda terdepan penanganan pandemi.

Sosok pahlawan dalam tenaga kesehatan menghadirkan semangat dan harapan bagi masyarakat bahwa pandemi ini dapat dilalui. Mereka juga menjadi simbol perjuangan masyarakat di mana perjuangan ini harus dilakukan dengan beriringan dan saling percaya satu sama lain.  

Namun, pada satu sisi lainnya, kita juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa tenaga kesehatan hanya manusia biasa. Berdasarkan informasi yang disadur dari Suara.com, Ketua Prodi Magister Kedokteran Kerja, Dokter Dewi Soemarko mengungkapkan bahwa 83 persen tenaga kesehatan saat ini mengalami burn out atau lelah mentah dan fisik akibat stres menangani pandemi.

Keadaan tersebut harus dipahami bahwa mereka (nakes) mempunyai batas kemampuan, sehingga perannya perlu dimanusiakan. Tenaga kesehatan bukan superhero yang kerap digambarkan sebagai sosok berkekuatan super yang begitu kuat dan tidak mempunyai celah.

Dalam hal ini, tenaga kesehatan merupakan korban, karena idealnya mereka mendapat dukungan yang optimal baik secara moral hingga material. Memanusiakan tenaga kesehatan menjadi upaya yang bisa kita lakukan untuk mendukung perjuangan mereka.

Selain itu, masyarakat juga sebaiknya menyikapi permasalahan penanganan pandemi sebagai masalah sistematis. Senada dengan penjelasan sebelumnya, tenaga kesehatan bukanlah pihak yang bertanggung jawab jika ada kebijakan atau sistem penanganan yang kurang memadai.

Kritik sebaiknya ditujukan kepada pemangku kebijakan karena mereka yang memiliki kekuasaan dalam mengelola penanganan pandemi di negeri ini. Dengan pemahaman tersebut, kita dapat menghindari upaya mengkambing hitamkan tenaga kesehatan dari lingkaran permasalahan pandemi.

Selama pandemi, peran tenaga kesehatan bak The Avengers yang menyelamatkan dunia. Namun, sama seperti kita, mereka juga manusia yang patut untuk dimanusiakan.

Referensi:

https://amp.suara.com/news/2021/07/09/184224/sudah-1207-nakes-wafat-saat-pandemi-laporcovid-19-sembilan-nakes-gugur-tiap-hari

https://amp.suara.com/news/2021/01/11/172055/stres-kasus-corona-makin-parah-83-persen-nakes-di-indonesia-alami-burn-out

Raditya

Baca Juga