Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Adinda Fauzia
Teti, ponsel pintar andalanku untuk menerjang era digital (dok. pribadi)

Halo, Tenet (Teman Internet)! Aku Adin, seorang mahasiswi tingkat akhir yang kebetulan sedang hidup di dunia yang cukup penuh dengan resah dan gelisah. Apa Tenet juga merasakan dan mempunyai opini yang sama perihal itu? Alasanku pribadi cukup klasik, pertama, pandemi virus Covid-19 yang belum kunjung berhenti, lalu yang kedua, aku belum kunjung lulus dari kampus tercinta, dan yang ketiga, aku belum juga jadi kaya raya. 

Tepat 17 Agustus kemarin, kami bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke-76. Sudah hampir satu abad bangsa Indonesia lepas dari tangan-tangan penjajah yang ingin merampas kekayaan yang dimiliki tanah air tercinta, namun kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi tidak dapat dipungkiri masih dapat dilihat dengan kasat mata. 

Digitalisasi yang semakin digencarkan pemerintah dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, menjadi tuntutan bagi masyarakat untuk semakin mengikuti perkembangan teknologi dari masa ke masa, terutama teknologi digital. Masa pandemi yang telah menyekat ruang gerak masyarakat untuk mengais pundi-pundi rupiah sebagai upaya bertahan hidup, akhirnya membuat masing-masing kepala keluarga, bahkan seluruh anggota keluarga harus memutar otak kembali agar dapat menemukan cara bertahan hidup lain.

Aku menjadi salah satu manusia yang sangat beruntung dengan masih mempunyai kemampuan untuk memiliki sebuah perangkat elektronik. Perangkat elektronik ini dapat dibilang sebagai salah satu kebutuhan, terlebih untuk masyarakat kota yang saat ini menjadi tokoh utama dari perkembangan era yang semakin digital. 

Perangkat elektronik tersebut adalah smartphone atau ponsel pintar. Smartphone yang aku miliki mempunyai beberapa fitur yang sangat membantu keseharianku sebagai mahasiswa tingkat akhir dari generasi yang disebut-sebut millenial. Contoh paling sederhana adalah saat aku harus menjalani magang menjadi seorang wartawan di salah satu media swasta digital, sedangkan aku tidak memiliki kamera, ataupun alat perekam suara yang merupakan perangkat dasar dari seorang pewarta. Hal ini teratasi dengan perangkat digital yang aku miliki, yakni smartphone. Smartphone mengatasi kedua permasalahan tersebut dengan fitur kamera, serta alat perekam suara yang lengkap didalamnya. Tidak lupa juga dengan bentuknya yang ringan dan mudah untuk dibawa kemana-mana, sehingga aku dapat menyesuaikan pergerakan narasumber yang kerap kali rebutan spot atau tempat demi mendapatkan foto maupun rekaman suara yang jernih dan jelas. 

Ponsel pintar yang kunamakan Tuti (supaya Indonesia banget) juga membantuku untuk menambah literasi dari hal yang telah kuketahui maupun tidak terpikirkan secara global, seperti positivity rate atau tingkat positif Covid-19 di dunia hingga Mbah Kodok dari Solo yang menikahi sosok Peri dari alam gaib. Bukan hanya itu, dalam perjalanan menuju kelulusan yang sudah di depan mata, Tuti pun membantuku untuk mencari referensi jurnal digital yang dapat di akses melalui google scholar yang penuh dengan literasi digital ilmiah maupun non-ilmiah. 

Aku pun tidak akan lupa dengan jasa Tuti yang dapat menghubungkanku dengan sistem jualan online. Marketplace sebagai salah satu e-commerce yang dapat menghubungkan pihak penjual dan pembeli secara digital, seperti Shopee ataupun Carousell juga menjadi salah satu pemanfaatan Tuti untuk menjual barang di rumah yang sudah tidak terpakai, namun masih layak pakai. Dengan modal foto, kirim, dan menyantumkan harga, masyarakat digital dari seluruh pelosok negeri dapat melihat barang jualan yang aku jajakan. Selama ini, barang seperti, buku, tas, maupun baju sudah pernah laku dan telah terkirim ke kota-kota besar di pulau Jawa. 

Selain dari sifatnya sebagai sebuah perangkat, Tuti selalu hadir di kala bosan, letih, penat menghadang dan menyerang diriku. Tuti menyediakan media sosial yang dapat dengan mudah diakses, seperti Youtube (untuk menonton video hiburan), Twitter (untuk melihat perkembangan arah pasar global yang sedang mendunia), Instagram (untuk melihat unggahan-unggahan jenaka maupun serius perihal kabar terkini dari dunia maupun sekadar keseharian teman atau saudara).

Sebagai makhluk sosial yang terbatasi ruang geraknya akibat pandemi yang belum kunjung usai, aku merasakan manfaat dari media sosial yang dapat mengobati rasa rindu terhadap sanak saudara, teman, maupun pasangan yang berada jauh di luar daerah. Fitur seperti voice atau video call sangat membantu untuk menolong kerinduanku untuk bersosialisasi secara langsung. 

Tidak hanya berbagai hal yang telah kusebutkan di atas, Tuti juga menjadi pendukung untuk menyalurkan hobi dan kebolehanku dalam dunia tarik suara atau bernyanyi. Dengan bernyanyi dan mengunggahnya di platform digital seperti Youtube, Soundcloud, dan Instagram membuat rasa rindu untuk bernyanyi di atas panggung tersalurkan. Dengan cara mengunggahnya ke platform digital tersebut, seluruh manusia dapat mendengar aku bernyanyi dari sudut dunia manapun. 

Dengan segala bantuan dan eksistensi dari Tuti, aku menobatkan Tuti sebagai pahlawan kekinianku di dunia digital yang masih kujalani hingga detik ini dan aku yakini akan terus berkembang seiring waktu.

Aku sangat berharap ponsel pintar untuk masyarakat tidak mampu juga dapat diberikan dari pemerintah demi perubahan digital yang merata di seluruh pelosok, serta kesetaraan dan keseimbangan sosial ekonomi, khususnya di Indonesia. Sehingga bukan hanya masyarakat kota saja yang dapat merasakan manfaat dari "Pahlawan Masa Kini" pada era digitalisasi yang, namun seluruh rakyat Indonesia. Sesuai dengan sila ke-lima dari ideologi Pancasila tercinta, yang berbunyi, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Dirgahayu Indonesiaku yang ke-76, Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh. Merdeka!

Adinda Fauzia