Perkembangan arus media sosial dan teknologi digital dalam menyebarkan konten hiburan, informasi atau berita kini semakin pesat. Banyak platform kini menjadi wahana dan media besar yang menyuguhkan tayangan dalam berbagai bentuk dan rupa seperti YouTube atau TikTok.
Beberapa di antaranya menyajikan konten berkualitas, layak saji, dan mengandung kandungan nilai edukasi nan membangun. Namun, tak sedikit pula di YouTube atau TikTok banyak bertebaran konten negatif. Konten itu membawa dampak yang kurang baik bagi perkembangan mental dan psikologis seseorang, terutama remaja dan anak muda.
Konten negatif yang kini seolah sedang mewabah yakni bertema ‘prank’ atau lelucon, menjahili, dan mengisengi orang. Namun, ada pula ‘extreme challenge’ (tantangan di luar batas). Konten ini merebak buah dari derasnya sensasi dan kontroversi para pembuat konten yang memang sengaja mengejar like, subscriber atau viewer dalam target tertentu.
Jika ingin dikaji, konten negatif yang dipaparkan terus menerus akan mendekam dalam memori penontonnya. Ini akan mempengaruhi dan mengacaukan mindset yang sudah terlanjur tersusun rapi di kepala . Hal ini mungkin menggeser cara kerja pikiran, yang selama ini dianggap tabu, menjadi biasa dan menyenangkan. Secara perlahan pikiran akan , menginterpresentasikan sesuatu hal yang tadinya aneh, ganjil , tak lazim, hingga sedikit menyimpang, menjadi sesuatu yang wajar, boleh dilakukan, bahkan mengasyikkan.
Mereka yang menjadi penikmat dan pembuat konten seperti ini akan tenggelam dalam sensasi tersebut, dan terus mencari, maupun membuat ide ide baru yang lebih aneh serta ganjil. Jika ini yang terjadi, tentu konten ini akan menjadi racun yang kian lama bisa merusak mental sehat manusia.
Pada hakekatnya, baik sang konten kreator dan penontonnya tidak mendapatkan apa-apa dari hasil karya aneh tersebut. Keduanya tidak mendapatkan efek positif dalam pikirannya dengan membuat atau menikmati konten bernuanasa ‘prank’ atau ‘extreme chalenge’ ini.
Dengan demikian, anak anak muda dan remaja yang kini menjadi target pasar konten negatif itu, haruslah menanamkan kuat-kuat bahwa hal seperti itu tidak memberikan efek maupun dampak apapun bagi mental serta psikis diri sendiri. Untuk itu, kalangan muda harus bisa memfilter konten mana yang layak dikonsumsi dan mana yang tidak. Jangan sampai pemikiran baik bentukan keluarga, sekolah atau lingkungan menjadi berbelok menjadi sesuatu yang justru merusak. (NATA)
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Segini Harga Langganan Konten Eksklusif Pemain Timnas Indonesia, Mees Hilgers Paling Laris?
-
Lintasarta Resmikan AI Merdeka, Adopsi Teknologi AI Bagi Masa Depan Digital Indonesia
-
Teknologi Honda yang Satu Ini Bisa Perpanjang Jarak Tempuh Kendaraan Listrik 2 Kali Lipat
-
Indonesia Disebut Surga Baru untuk Teknologi Blockchain di Asia Tenggara
-
Viral Earbuds Berdarah, Ini Batas Aman Volume untuk Mendengarkan Musik
Kolom
-
Seni Menyampaikan Kehangatan yang Sering Diabaikan Lewat Budaya Titip Salam
-
Indonesia ke Piala Dunia: Mimpi Besar yang Layak Diperjuangkan
-
Wapres Minta Sistem Zonasi Dihapuskan, Apa Tanggapan Masyarakat?
-
Ilusi Uang Cepat: Judi Online dan Realitas yang Menghancurkan
-
Dukungan Jokowi dalam Pilkada Jakarta: Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Terkini
-
Byeon Woo Seok Nyanyikan Sudden Shower di MAMA 2024, Ryu Sun Jae Jadi Nyata
-
Pep Guardiola Bertahan di Etihad, Pelatih Anyar Man United Merasa Terancam?
-
3 Drama Korea yang Dibintangi Lim Ji Yeon di Netflix, Terbaru Ada The Tale of Lady Ok
-
Review Ticket to Paradise: Film Hollywood yang Syuting di Bali
-
Ulasan Novel Under the Influence Karya Kimberly Brown, Kisah Cinta dan Kesempatan Kedua