Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Christof
Ilustrasi sukses (energepic/Pexels).

Meritokrasi merupakan sebuah mimpi indah bagi mereka yang memiliki keahlian, kecakapan, dan prestasi kerja baik. Sekaligus menjadi mimpi buruk bagi mereka yang menaikkan kadar hidupnya hanya dengan berbekal mencari kedekatan dan pencitraan semata, tanpa perlu banyak berusaha memperbaiki kualitas maupun nilai diri.

Sistem ini memang secara adil menitikberatkan pada potensi dan kecakapan seseorang dalam sebuah bidang profesi, sehingga mendapatkan kesejahteraan juga nasib baik di masa depan. Hal inilah yang sedang diupayakan oleh pemerintah dengan melakukan rekonstruksi pada sistem penerimaan aparatur Negara serta sistem penilaian dan budaya kerja di birokrasi Indonesia.

Jika dijalankan secara berkelanjutan dan kondusif, sistem ini akan menumbuhkan iklim persaingan sehat, mendorong seseorang untuk maju, memotivasi mengejar prestasi, dan disiplin membangun diri.

Akhirnya sistem ini nantinya membuka jalan bagi mereka yang memiliki potensi besar dan kecakapan luar biasa. Para pegawai dan karyawan akan memiliki pemikiran, bahwa tidak ada pilihan lain meniti dan sukses di puncak karier selain meningkatkan kompetensi serta nilai diri.

Jika pemerintah dan dunia kerja serius menegakkan sistem meritokrasi, maka kultur budaya kolonial maupun feodal yang masih mengakar kuat pada birokrasi di Indonesia akan perlahan terkikis.

Budaya kerja dan birokrasi yang dulunya sarat dengan nuansa KKN, penyogokan, penyuapan, mencari muka, menjilat, menindas, menjatuhkan, memanfaatkan jabatan , membeli pangkat, dan perilaku negatif lainnya, bawaan kolonial perlahan akan luntur .

Dengan digalakkan sistem meritokrasi, mau tak mau, tak ada lagi anak buah yang mencari kedekatan, mencari muka, atau menyuap dengan cara apapun. Sementara di sisi atasan, mereka tidak boleh lagi menjatuhkan penilaian atas dasar suka dan tidak suka, faktor kedekatan dan kekariban, subyektifitas ataupun permainan politik kantor.

Dengan sistem ini, hubungan antara atasan dan bawahan tidak lagi bersifat layaknya juragan dan pesuruh, namun keduanya berjalan setara sebagai mitra kerja yang saling menumbuhkan serta membangun.

Dengan sistem ini, kemungkinan besar tidak akan ada lagi taktik mengambil hati atasan dengan prinsip Asal Bapak Senang (ABS) ,atau pengangkatan jabatan yang bersandar pada faktor kedekatan, politik identitas, serta alasan suka atau tidak suka.

Iklim bekerja macam inilah yang sebenarnya sejalan dengan kompetisi di era globalisasi dan revolusi industri generasi keempat, yang seolah ingin menjaring gen-gen pemenang serta yang terbaik di bidangnya masing masing. Dengan sistem ini, tentu akan memudahkan pula menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat.

Sementara bagi mereka yang belum memenuhi kualifikasi, masih bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan banyak belajar serta menempa diri. Perlu juga keluar dari zona nyamannya.

Tentunya sistem meritokrasi bukan kartu mati bagi mereka yang masih dalam proses berkembang dan belajar. Pasalnya, masih terbuka peluang untuk mengejar perbaikan jika memiliki kemauan dan kemampuan. 

Sistem ini pada akhirnya memihak kepada mereka yang memiliki kapasitas dan kompetensi di bidang pekerjaanya, baik dalam hal mendapatkan pengakuan, perlakuan  setimpal, penghargaan, status kepegawaian hingga perjalanan karienya.

Harapannya tentu,  sostem ini tak hanya menjadi mimpi indah dan pemanis di bibir semata, namun benar benar direalisasikan serta diwujudkan dengan keseriusan maupun keberanian.

Christof