Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Christof Nata
Ilustrasi Vaksin Covid-19. (Pexels// Artem Podrez)

Upaya vaksinasi kini menjadi salah satu langkah pengendalian pandemi Covid-19 disamping upaya kedisiplinan protokol kesehatan seperti halnya mencuci tangan, memakai masker, menjauhi kerumunan dan memakai hand sanitizer. Namun upaya vaksinasi yang kini sedang digalakkan pemerintah tidak berjalan mulus dan lancar seperti yang dibayangkan.

Di media sosial dan jagat dunia maya, bersebaran hoaks anti vaksin yang akhirnya membuat masyarakat mengalami demotivasi dan mengalami degradasi kepercayaan terhadap kemanjuran dan daya kerja vaksin. Plus hilangnya rasa kepercayaan terhadap penyelenggara vaksin yakni pemerintah.

Tentu jika hoaks anti vaksin terus  meluas maka pikiran dan sikap masyarakat akan terus tergerus hingga pada saatnya memunculkan perilaku paranoid dan bahkan bersikap apatis, abai dan anti terhadap vaksinasi. 

Hoaks yang memang sengaja disebar di jagat media sosial dan internet ini memang sudah dirancang untuk meruntuhkan sikap optimistis dan rasa percaya bahwa vaksin bisa menangkal atau setidaknya membendung serangan Covid-19 di dalam tubuh.

Hoaks yang disebar ini memang jauh dari riset, kajian, dan fakta ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan sehingga mengacaukan persepsi  masyarakat dan akhirnya bersikap skeptis dan ragu bahkan pada tingkat tertentu justru merasa takut dan kawatir.

Hembusan fakta palsu bahwa vaksin merupakan salah satu aksi konspirasi global, vaksin yang membuat lumpuh dan merusak gen manusia, menyebabkan kematian mendadak, hingga vaksin yang mengandung zat yang merusak bergemuruh bagai angin topan yang meluluhlantahkan keyakinan dan pikiran waras manusia ke arah bias, rancu dan kacau. 

Jika mau dianalisa lebih mendalam, vaksin yang sudah diproduksi massal, sebenarnya telah melalui penelitian dan sebuah proses uji coba empiris dan melalui prosedur ilmu pengetahuan yang sangat ketat. Vaksin yang diproduksi telah melalui serangkaian metode uji klinis dan riset laboratorium yang sistematis dan juga telah diuji cobakan kepada hewan percobaan dan selanjutnya kepada relawan.

Selain itu, zat dan senyawa yang dipergunakan dalam vaksin ini sebenarnya juga telah diukur dan ditakar secara cermat agar tidak menimbulkan efek samping dan efek lanjutan pada tingkat yang membahayakan. 

Harus diyakini pula, bahwa hampir semua program vaksin dan imunisasi pasti akan menimbulkan efek samping sebagai reaksi alami tubuh yang menerima stimulan baru di dalam sistem tubuh. Harus diakui bahwa vaksin polio dan campakpun menimbulkan reaksi awal seperti halnya merasa pegal, kantuk, sedikit pusing, demam kecil dan sebagainya. Sehingga sangat mustahil jika ada pihak yang berharap adanya vaksin yang tidak menimbulkan efek samping apapun.

Selain itu vaksin Covid-19 yang sudah diproduksi massal seperti halnya SinoVac, Moderna, Pfizer dan AstraZenneca juga sudah dirancang untuk memperkuat anti bodi menghadapi sejumlah varian virus yang pasti akan bermutasi.

Dengan demikian sebenarnya tidak ada alasan untuk menyangkal atau ragu dengan efektifitas dan kemanjuran vaksin menangkal Covid-19. Sehingga kondisi tubuh manusia yang telah divaksin dan yang belum divaksin tentu akan sangat berbeda.

Tentunya kerentanan untuk menghadapi keparahan terhadap virus akan lebih besar kepada mereka yang tidak divaksin. Ini terbukti dari bersebarannya studi bahwa orang yang belum menerima vaksin 11 kali lipat beresiko terkena Covid-19. 

Tidak mudah memang , menangkal derasnya serangan hoaks anti vaksin yang menderu deru bagai mesin perang di media sosial. Budaya dan sikap masyarakat yang kurang mampu menyaring informasi secara benar. Kurangnya sikap untuk memilah sumber dan narasumber yang valid dan berkompeten. Dan juga sikap terburu buru mencerna informasi tanpa dibandingkan dengan literatur dan referensi lain yang lebih akurat ikut mendorong hoaks anti vaksin ini merusak pikiran sehat masyarakat.

Dengan demikian literasi atau prinsip untuk mendapatkan kesahihan sebuah informasi atau berita saat ini sungguh diperlukan untuk menyaring mana kabar bohong dan palsu atau fakta sebenarnya yang justru dibutuhkan masyarakat di masa pandemi. (NATA)

Christof Nata