Kehebatan Leo Tolstoy sebagai penulis besar Rusia sudah tak disangsikan lagi di dunia internasional. Tak hanya mampu menciptakan karya-karya yang menggugah, tetapi juga terselip pelbagai hikmah yang mungkin sederhana, namun terkadang terlupakan.
Profil singkat Tolstoy
Disadur laman Wikipedia, Pangeran Lev Nikolayevich Tolstoy atau lebih dikenal dengan Leo Tolstoy lahir pada 9 September 1828 di Yasnaya Polyana, Kekaisaran Rusia dan meninggal pada 20 November 1910 di Astapovo, Kekaisaran Rusia.
Nama Tolstoy banyak dikenal orang lewat novel karyanya yang fenomenal, War and Peace dan Anna Karenina. Meskipun demikian, Tolstoy juga banyak menulis cerita-cerita pendek. Selain diakui sebagai sastrawan besar, Tolstoy juga merupakan seorang pembaharu sosial serta pemikir moral.
Menghargai waktu dan selalu berbuat baik pada siapaun
Pada cerpen berjudul Tiga Pertanyaan, Tolstoy mengajak pembaca untuk tidak menyia-nyiakan waktu dan senantiasa berbuat baik pada siapapun tak terkecuali orang asing.
Tiga Pertanyaan berkisah tentang seorang raja yang sangat yakin bahwa pemerintahannya dapat berjalan mulus apabila ia tahu tiga hal yakni: kapan saat yang tepat melakukan segala sesuatu, siapa yang paling penting, serta hal apa yang paling penting untuk dilakukan.
Demi mengetahui jawaban atas tiga pertanyaan itu, sang raja mengadakan sayembara. Sayangnya, tak ada jawaban yang memuaskan. Akhirnya sang raja pergi ke hutan untuk bertanya pada petapa dengan menyamar layaknya rakyat jelata.
Alih-alih mendapat jawaban dari si petapa, sang raja malah memperoleh jawaban dari tindakannya sendiri. Tindakan raja tersebut adalah membantu petapa menggali tanah dan merawat luka orang asing yang kebetulan lewat.
Tanpa ia duga, pertolongannya pada petapa telah menghindarkannya dari rencana pembunuhan yang hendak dilakukan musuhnya. Secara kebetulan, orang asing yang ia rawat ternyata adalah musuhnya yang sedari tadi sedang mengejarnya, namun di tengah perjalanan diserang oleh pengawal sang raja. Berkat pertolongan sang raja, musuhnya malah menawarkan diri untuk menjadi abdi yang paling setia.
Berdasarkan pengalaman itulah, sang raja akhirnya belajar bahwa kapan saat yang paling tepat untuk melakukan segala sesuatu adalah saat ini, karena hanya saat inilah kita memiliki kuasa. Lalu siapa yang paling penting adalah orang yang bersama kita pada suatu waktu, sekalipun itu adalah orang asing, karena kita tidak pernah tahu apakah orang tersebut nantinya memiliki andil dalam hidup kita atau tidak.
Terakhir, hal apa yang paling penting adalah selalu berbuat kebaikan karena hanya kebaikanlah yang akan mendatangkan hal baik.
Tuhan selalu tahu waktu yang tepat untuk rencana terbaik-Nya
Kesabaran dan ketabahan adalah pelajaran berharga kedua yang dapat diambil dari cerpen berjudul Tuhan Tahu, tapi Menunggu. Cerpen tersebut bercerita mengenai seorang pria baik, namun pemabuk bernama Aksionov yang dituduh menjadi tersangka pembunuhan hingga akhirnya ia dipenjara selama 26 tahun.
Selama di penjara Aksionov hanya bisa pasrah, surat permohonannya pada Tsar tak kunjung dibalas bahkan istrinya pun percaya kalau dia memang melakukan kejahatan. Hari-harinya ia habiskan dengan menjalani hukuman, membuat sepatu bot, dan berdoa kepada Tuhan. Tanpa diduga, Aksionov dipertemukam dengan tersangka pembunuhan yang sebenarnya, Semyonich.
Semyonich masuk penjara karena dituduh mencuri kuda dari sebuah kereta padahal sebenarnya ia berniat untuk melepaskannya setelah ia gunakan untuk pulang. Semyonich merasa seharusnya ia tidak dipenjara karena kusir kereta itu temannya sendiri. Ia lalu bercerita bahwa dulu ia pernah melakukan kesalahan, namun tidak ketahuan. Sepanjang Semyonich bercerita, Aksionov akhirnya tahu bahwa Semyonichlah pelaku pembunuhan yang menjerat namanya itu.
Aksionov pada awalnya sangat membenci Semyonich, namun ia memutuskan bungkam soal rencana Semyonich untuk kabur. Semyonich yang tahu Aksionov telah melindunginya dari hukuman, meminta maaf, dan hendak mengakui kejahatannya di masa lalu.
Aksionov yang sudah memaafkan Semyonich dan menerima takdir hidupnya tak lagi memiliki penyesalan apapun, ia sudah tidak ingin pulang ke rumah. Ia hanya ingin berpulang ke sisi Tuhan. Tuhan pun menjawab doa-doa Aksionov selama ini, ia akhirnya wafat dengan tenang pada hari pembebasannya.
Jadilah pemeluk agama yang beradab tanpa memandang rendah keyakinan orang lain
Agama memang merupakan isu yang sangat sensitif bagi sebagian besar orang. Meskipun demikian, Leo Tolstoy berusaha mengingatkan manusia yang beragama terlepas dari apapun agamanya untuk tidak menjadi sombong serta menjelek-jelekkan pemeluk agama lain. Begitulah kira-kira pesan yang ingin disampaikannya dalam cerpen berjudul Rumah Kopi Di Surat.
Rumah Kopi di Surat menceritakan berdebatan sekelompok orang dengan berbagai macam agama mengenai agama siapa yang paling benar. Perdebatan tersebut akhirnya berakhir damai setelah seorang murid Konfusius menengahi dan menasihati mereka bahwa tidak seharusnya saling menjelekkan satu sama lain.
Ia menceritakan kisah perumpamaan tentang matahari. Menurut sudut pandang manusia matahari hanya tampak menyinari satu negeri saja, tapi itu tidak benar. Matahari tidak hanya menyinari satu negeri, tetapi seluruh semesta. Layaknya Tuhan yang selalu hadir untuk setiap hamba-Nya bukan sebatas untuk seseorang dengan keyakinan tertentu.
Maka dari itu, janganlah bersitegang dengan orang lain hanya karena perbedaan keyakinan. Sejatinya, Tuhan akan selalu ada dan tinggal dalam hati setiap orang yang beriman.
Masih banyak cerpen lain karya Leo Tolstoy dengan segudang pesan moral yang begitu mengena. Tolstoy tidak hanya menghibur para pembaca lewat tulisan-tulisannya, tetapi juga menegur serta mengingatkan untuk menjadi manusia seutuhnya dengan menerapkan nilai-nilai kebaikan.
Sumber referensi:
- Wikipedia
- Tolstoy, Leo. (2020). Tuhan Tahu tapi Menunggu. Yogyakarta: Basabasi.
Baca Juga
-
4 Rekomendasi Novel Yoshikawa Eiji, Penggemar Samurai dan Ninja Wajib Baca!
-
Jouhatsu: Mencoba Memulai Kembali Hidup dari Nol
-
Mengenal Lebih Jauh Yakuza dalam Budaya Pop Jepang
-
Menggali Makna Ikigai: Konsep Kesenangan dan Filosofi Kehidupan ala Jepang
-
Sake dan Nomikai di Mata Masyarakat Jepang: Penuh Makna, Tak Cuma Penghilang Stres Belaka
Artikel Terkait
-
3 Pesan AntiBullying dalam Buku Cerita Surat Dalam Balon
-
Cara Cegah Stroke Berulang, Wajib Rajin Olahraga Setiap Hari?
-
Ulasan Buku 'Kitab Kawin', Kumpulan Cerpen tentang Sisi Gelap Pernikahan
-
Seorang Perempuan Iran Copot Baju Protes Polisi Moral, Kini Hilang Misterius
-
3 Pesan Moral yang Didapat dari Novel "Duduk Dulu" Karya Syahid Muhammad
Kolom
-
Tantangan Literasi di Era Pesatnya Teknologi Informasi
-
Tren Media Sosial dan Fenomena Enggan Menikah di Kalangan Anak Muda
-
Mengemis Digital di TikTok: Ketika Harga Diri Menjadi Komoditas
-
Guru dan Masa Depan yang Dikorbankan: Refleksi Profesi yang Terabaikan
-
Soroti Pernyataan Mendikti, Alumni LPDP Tidak Harus Pulang, Setuju Tidak?
Terkini
-
3 Bek Timnas Jepang yang Diprediksi Jadi Tembok Kokoh Saat Jumpa Indonesia
-
Bentala Stella: Bisnis Licik dan Sayuran Gemas 'Pengungkap' Perasaan
-
Dua Ganda Putra Indonesia Gagal Lolos Babak 8 Besar Korea Masters 2024
-
Yuta NCT Off The Mask: Berani Tampil Apa Adanya Tanpa Peduli Omongan Orang
-
Ulasan Buku 'Kitab Kawin', Cerpen Pemenang Singapore Book Awards Tahun 2020