Hidup memang penuh dengan perjuangan dan permasalahan. Setiap orang memiliki ceritanya sendiri tentang hidup. Sebagian orang memilih untuk tetap bertahan, namun sebagian yang lain memilih menyerah atau 'menghilang' demi mengulang kembali hidup.
1. Definisi jouhatsu
Mengutip pendapat Sosiolog Hiroki Nakamori dalam BBC (8/9/2020), istilah jouhatsu mulai digunakan untuk merujuk orang-orang yang memutuskan menghilang pada tahun 1960. Jouhatsu juga memiliki arti lain yakni 'menguap'. Mungkin dari sinilah istilah jouhatsu dipakai untuk mengungkapkan seseorang yang menghilang tanpa jejak.
Meskipun demikian, jouhatsu tidak termasuk ke dalam tindak kriminal layaknya penculikan atau 'pelenyapan' seseorang secara paksa oleh pihak tertentu. Seseorang melakukan jouhatsu atas keinginannya sendiri demi memulai hidup baru. Tentu saja keputusan semacam ini dilandasi oleh berbagai problematika kehidupan. Mulai dari ekonomi, sosial, dan sebagainya.
2. Tidak hanya terjadi di Jepang
Fenomena jouhatsu tidak hanya terjadi di Jepang, tetapi di negara lain. Menyadur dari BBC (8/9/2020), di seluruh dunia seperti Amerika, Inggris, dan Jerman ada orang-orang yang memutuskan menghilang dari kehidupan mereka. Sejalan dengan itu, Figaro melansir dalam corrier.jp, di Prancis sebanyak 13.000 orang setiap tahun memutuskan menghilang.
Bagi penyuka teori konspirasi, pasti tidak asing dengan teori yang menyatakan bahwa tokoh X atau artis Y sebenarnya masih hidup dan memalsukan kematian mereka. Mereka melakukan itu demi memulai hidup baru yang lebih tenang. Meskipun hanya sebatas teori, dari sini dapat disimpulkan bahwa keinginan 'memulai hidup baru secara rahasia' sudah cukup umum menjadi anggapan banyak orang. Oleh karena itu, siapa pun bisa saja merealisasikan keinginan tersebut.
3. Memilih jouhatsu karena berbagai alasan
Sugimoto membagikan pengalaman serta alasannya melakukan jouhatsu pada BBC. Walaupun terlahir sebagai pewaris bisnis lokal terkemuka, Sugimoto tak merasa bahagia. Justru ia merasa tertekan dengan tuntutan tersebut.
Berbeda halnya dengan Saita yang memutuskan jouhatsu karena kekerasan yang ia alami. Pada intinya, jouhatsu dijadikan alternatif usaha untuk memperbaiki hidup dengan 'melepas' kehidupan sebelumnya dan menggantinya dengan kehidupan baru terlepas dari apapun alasan yang mendasarinya.
4. Perusahaan yang menyediakan layanan jouhatsu
Disadur dari BBC (8/9/2020), di Jepang ada perusahaan khusus yang membantu para pelanggannya untuk melakukan jouhatsu. Pelayanan tersebut sudah termasuk dengan penyediaan rumah tinggal baru secara rahasia.
Pelayanan ini disebut dengan "pindahan malam". Tidak menutup kemungkinan kalau perusahaan semacam ini juga bisa ditemukan di negara lain, mengingat keinginan untuk 'menghilang' bukan hanya dirasakan oleh orang Jepang.
5. Jouhatsu dari perspektif keluarga yang ditinggalkan
Ketika seseorang memutuskan jouhatsu, itu berarti ia akan meninggalkan segala hal terkait dengan kehidupan lamanya. termasuk keluarga ataupun orang-orang terdekat. Bukan hal yang mudah bagi keluarga dan orang terdekat saat mengetahui seseorang yang dicintainya menghilang, seperti yang diungkap seorang wanita yang tak disebutkan namanya pada BBC.
Ia mengaku kehilangan putranya yang berusia 22 tahun. Ia menduga alasan sang putra menghilang adalah karena kegagalannya dalam karier atau berusaha menghindari penguntit. Ia juga menambahkan bahwa dirinya tak mampu berbuat banyak karena kepolisian Jepang tidak dapat membantu menangani kasus hilangnya orang semacam ini, kecuali jika ada kaitannya dengan bunuh diri.
Hal serupa juga dialami Pascal. Figaro melansir dalam corrier.jp (2/4/2021), Pascal bersikeras agar kepolisian mengusut tuntas hilangnya sang istri karena ia yakin pasti ada hal buruk yang menimpa istrinya. Ia khawatir menghilangnya sang istri bukan semata-mata atas kehendak pribadi.
Seharusnya ia dan istrinya bertemu di restoran, tapi Betty sang istri tidak datang dan menghilang. Meskipun demikian, pihak kepolisian lagi-lagi tidak dapat berbuat lebih dan menganggap istri Pascal menghilang atas dasar keinginannya sendiri. Pada akhirnya Pascal dihantui rasa takut kalau-kalau harus menemui jasad istrinya di sungai yang mengalir melalui kota, ketika berjalan bersama keempat anaknya.
Kekhawatiran keluarga dan orang terdekat memang masuk akal. Tidak ada yang tahu seandainya ada orang-orang jahat yang menyusun skenario seakan-akan seseorang hilang secara sukarela, padahal kenyataannya tidak demikian. Atau murni orang tersebut mengalami kecelakaan tak terduga.
Kisah Pascal sedikit mirip dengan kasus Gabriel Nagy yang menghilang sejak Sabtu, 21 Januari 1987 hingga hampir seperempat abad lamanya. Laman List Verse melansir (9/8/2019), Nagy sebelumnya memberitahu istrinya akan pulang cepat lewat telepon, tetapi setelah panggilan tersebut, ia benar-benar menghilang.
Robinson, detektif yang menangani kasus tersebut akhirnya berhasil menemukan Nagy yang ternyata kehilangan ingatannya. Diduga Nagy telah diserang (atau mungkin mengalami kecelakaan) tak lama setelah menghubungi istrinya yang menyebabkan luka pada kepalanya.
Setidaknya itulah yang ia ingat. Oleh sebab itu, tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada orang-orang yang hilang. Apa benar mereka hilang atas dasar keinginan pribadi? Ataukah mereka tertimpa musibah dan ingin segera ditolong?
6. Bukan tanpa penyesalan
Walaupun telah berhasil memulai hidup baru, Sugimoto kepada BBC mengakui dirinya menyesal atas keputusannya melakukan jouhatsu. Putra sulungnya adalah satu-satunya orang tahu kebenaran mengenai dirinya. "Keputusan Ayah adalah hidup Ayah, dan aku tidak bisa mengubahnya." Kata-kata bijak putranya itulah yang selalu Sugimoto ingat.
Lain halnya dengan Brenda Heist yang memiliki kisah lebih ironis. List Verse melansir (9/8/2019), Brenda yang tengah mengalami depresi berat akibat perceraian memutuskan menerima ajakan tiga orang asing dan pergi meninggalkan kedua putrinya kurang lebih 11 tahun. Pada akhirnya ia menyesali perbuatannya tersebut dan berusaha membangun hubungan kembali dengan kedua putrinya namun sayang, mereka menolak keinginan Brenda.
Hidup memang tak pernah bisa jauh dari masalah yang seringkali begitu berat dan rasanya tak mungkin untuk ditanggung. Keinginan untuk 'lari' atau 'menghilang' memang wajar saja.
Meskipun demikian, selama masih ada orang-orang yang benar-benar peduli dan masih membutuhkan kehadiran kita tidakkah itu membuat kita untuk lebih mempertimbangkan kalau memang sangat sulit untuk hidup demi diri kita sendiri, tidak bisakah kita hidup demi mereka?
Sumber Referensi:
- BBC
- Listverse
- Courrier
Baca Juga
-
4 Rekomendasi Novel Yoshikawa Eiji, Penggemar Samurai dan Ninja Wajib Baca!
-
Leo Tolstoy: Penyebar Kebajikan Lewat Cerita
-
Mengenal Lebih Jauh Yakuza dalam Budaya Pop Jepang
-
Menggali Makna Ikigai: Konsep Kesenangan dan Filosofi Kehidupan ala Jepang
-
Sake dan Nomikai di Mata Masyarakat Jepang: Penuh Makna, Tak Cuma Penghilang Stres Belaka
Artikel Terkait
-
3 Bek Timnas Jepang yang Diprediksi Jadi Tembok Kokoh Saat Jumpa Indonesia
-
Yuta NCT Off The Mask: Berani Tampil Apa Adanya Tanpa Peduli Omongan Orang
-
Jelang Lawan Jepang, Elkan Baggott Ungkap Rasa Syukur: Senang Bisa Kembali
-
Waspada Timnas Indonesia! Pelatih Jepang: Skuat Garuda Mengerikan
-
Mengemis Digital di TikTok: Ketika Harga Diri Menjadi Komoditas
Kolom
-
Tantangan Literasi di Era Pesatnya Teknologi Informasi
-
Tren Media Sosial dan Fenomena Enggan Menikah di Kalangan Anak Muda
-
Mengemis Digital di TikTok: Ketika Harga Diri Menjadi Komoditas
-
Guru dan Masa Depan yang Dikorbankan: Refleksi Profesi yang Terabaikan
-
Soroti Pernyataan Mendikti, Alumni LPDP Tidak Harus Pulang, Setuju Tidak?
Terkini
-
Ulasan Novel Buku-Buku Loak, Bernostalgia Melalui Sastra Lama
-
Resmi Dijadikan Anime, Mr. Yano's Ordinary Days Kisahkan Romansa di Sekolah
-
Rebutan Gelar, Pecco Bagnaia dan Jorge Martin Merasa Tak Perlu Bermusuhan
-
Ulasan Film The Black Phone: Penculikan Misterius Laki-Laki Bertopeng
-
3 Bek Timnas Jepang yang Diprediksi Jadi Tembok Kokoh Saat Jumpa Indonesia