Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Muhammad Hafizh
Ilustrasi Bahan Bakar. (Pexels//Marcin Jozwiak)

Dalam mengatasi permasalahan emisi karbon yang berdampak pada lingkungan, hidrogen mendapatkan banyak perhatian dan disebut-sebut sebagai bahan bakar masa depan. Hal ini dikarenakan bahan bakar hidrogen dapat digunakan untuk transportasi, memanaskan rumah, dan menghasilkan daya untuk proses produksi industri seperti pembuatan baja.

Sejumlah negara juga sudah mulai berinvestasi pada bahan bakar hidrogen, seperti Jepang, Australia, Uni Eropa, Arab Saudi dan Portugal. Awal juli 2021 lalu, Estonia bahkan memperkenalkan bus otonom antar jemput bertenaga hidrogen yang pertama di dunia menurut pengembangnya. 

Bus ini berbentuk mungil yang terdiri dari 6 kursi saja. Pengisian bahan bakarnya hanya membutuhkan dua menit. Setelah itu, bus dapat menempuh perjalanan selama  hingga 7 jam. Teknologi self-driving pada bus ini juga bisa dikoreksi dengan remote control jika diperlukan. Katanya sih, ada beberapa keuntungan dari penggunaan bahan bakar hidrogen ketimbang bahan bakar fosil.

Lantaran dianggap sebagai pembawa energi, bahan bakar hidrogen harus diubah menjadi tenaga listrik dengan menggunakan sel bahan bakar (full cell). Nah, sel bahan bakar hidrogen inilah yang disebut-sebut tidak menghasilkan polusi atau emisi gas berbahaya. Ketika hidrogen bereaksi secara elektrokimia dengan oksigen dalam sel bahan bakar, produk yang dihasilkan hanya berupa listrik, panas, dan air saja. 

Sel bahan bakar hidrogen juga lebih hemat energi. Kendaraan yang ditenagai sel bahan bakar hidrogen menggunakan motor listrik, konsumsi bahan bakarnya disebut 50% lebih sedikit.

Pengisian sel bahan bakar hidrogen pun hanya membutuhkan waktu kurang dari lima menit. Kualitas dari sel bahan bakar hidrogen yang ramah lingkungan dan efisien inilah yang katanya bisa jadi solusi transportasi jarak jauh.

Tapi, apakah bahan bakar hidrogen ini benar-benar menjanjikan di masa depan? Permasalahannya ada pada produksi untuk menghasilkan hidrogen yang berkelanjutan. Sebenarnya, hidrogen tidak berwarna, tapi hidrogen dilambangkan dengan warna berdasarkan proses produksinya agar dapat dibedakan.

Nah, saat sebagian besar adalah hidrogen abu-abu yang diproduksi dari bahan bakar fosil seperti gas alam dan batu bara dengan proses produksi yang ‘kotor’. Dilansir dari laman resmi PBB, 30 Mei 2021. Lebih dari 95% hidrogen diproduksi melalui steam methane reforming dari bahan bakar fosil dengan menggunakan katalis untuk mereaksikan metana dan uap air sehingga menghasilkan hidrogen.

Produksi dengan metode tersebut tetap melepaskan jumlah emisi karbon yang sangat banyak. Satu-satunya cara agar lebih ramah lingkungan dan tidak menghasilkan emisi karbon adalah memproduksi hidrogen hijau, yaitu melalui proses elektrolisis dengan sumber terbarukan seperti matahari dan angin.

Tapi, saat ini kurang dari 0,1% hidrogen diproduksi dengan cara seperti itu. Soalnya biaya untuk memproduksi hidrogen hijau lebih mahal daripada memproduksi hidrogen abu-abu.

Dilansir dari The Conversation, 31 Maret 2021, Tom Baxter, Dosen Senior Kehormatan Teknik Kimia dari Universitas Aberdeen, Skotlandia mengatakan ada bias dalam mempromosikan hidrogen ini sehingga tidak ada ruang untuk memberikan bukti atas kekurangan dari bahan bakar hidrogen tersebut.

Muhammad Hafizh