“Jangan lupa self-care!” Kalimat ini sering kita temui di media sosial, biasanya disertai foto lilin aromaterapi, skincare mewah, atau tiket liburan ke destinasi eksotis. Self-care, yang awalnya bermakna merawat diri agar sehat secara fisik dan mental, kini sering dipersempit menjadi aktivitas konsumtif. Masalahnya, apakah benar self-care adalah bentuk penyembuhan diri, atau justru strategi kapitalisme untuk membuat kita terus belanja dengan dalih “merawat diri”?
Fenomena ini menjadi sesuatu yang menarik, karena self-care seharusnya dilakukan dengan cara yang sederhana, seperti istirahat cukup, makan bergizi, dan menjaga kesehatan mental. Namun, di era digital, konsep ini berubah menjadi gaya hidup penuh estetika. Self-care dipasarkan melalui iklan, influencer, dan konten media sosial, hingga sulit dibedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Lalu, apakah kita benar-benar butuh semua ini untuk sembuh, atau kita hanya terjebak dalam jebakan konsumsi yang terlihat indah?
Self-care dan Komodifikasi Ketenangan
Kapitalisme punya cara cerdas memanfaatkan tren. Saat masyarakat lelah oleh tekanan hidup, muncullah industri yang menjual ketenangan. Dari spa mahal hingga subscription aplikasi meditasi, semua dikemas sebagai “investasi untuk diri sendiri”. Akhirnya, self-care tidak lagi soal istirahat, tetapi tentang membeli produk atau layanan tertentu agar diakui sedang merawat diri.
Tidak hanya itu, kita pun sering melihat konten sosial media mengenai “self-care routine” di Instagram atau TikTok, mulai dari masker wajah seharga ratusan ribu, lilin aroma terapi impor, hingga liburan dadakan ke Bali. Narasinya jelas, “kamu butuh ini agar hidupmu lebih baik”. Padahal, apakah ketenangan bisa dibeli? Atau justru kita semakin stres karena dompet menipis demi memenuhi standar self-care yang dibuat industri?
Dari Kebutuhan Menjadi Budaya Konsumsi
Awalnya, self-care lahir dari kebutuhan mendasar yakni menjaga tubuh dan pikiran tetap sehat. Namun, media sosial mengubahnya menjadi budaya konsumsi. Semakin estetis aktivitas self-care yang ditampilkan, semakin tinggi nilai sosialnya. Akhirnya, orang lebih fokus mengejar citra “healing” daripada benar-benar sembuh.
Tekanan ini diperkuat oleh algoritma yang terus menampilkan konten serupa. Jika kamu menonton satu video tentang self-care, kamu akan dibombardir dengan rekomendasi produk baru seperti lotion organik, buku jurnal, diffuser. Ini menciptakan ilusi bahwa untuk merasa bahagia, kita harus membeli lebih banyak. Inilah titik ketika self-care kehilangan makna aslinya dan menjadi alat kapitalisme.
Healing atau Hedonisme yang Terselubung?
Apakah kita benar-benar butuh belanja besar untuk merasa tenang? Jawabannya belum tentu. Self-care sejatinya tidak mahal, dapat melalui tidur cukup, olahraga ringan, atau sekadar mematikan notifikasi ponsel bisa jauh lebih menenangkan. Namun, narasi kapitalisme membuat hal sederhana tampak tidak cukup, seakan tanpa belanja kita tidak pantas merasa “terawat”.
Ironisnya, banyak orang justru merasa bersalah ketika tidak bisa melakukan self-care versi media sosial. Mereka merasa gagal karena tidak mampu membeli skincare tertentu atau liburan ke destinasi populer. Padahal, esensi merawat diri adalah membebaskan diri dari tekanan, bukan menambah tekanan dengan standar yang ditentukan industri.
Self-care adalah konsep yang penting, tetapi kapitalisme mengemasnya menjadi produk yang harus dibeli. Kita perlu kembali ke makna awal bahwa merawat diri bukan soal mengikuti tren, melainkan tentang memberi ruang untuk pulih dari tekanan hidup. Healing sejati tidak membutuhkan keranjang belanja penuh, hanya butuh kesadaran bahwa ketenangan tidak bisa dikomersialisasi.
Pada akhirnya, kebahagiaan bukan berasal dari jumlah produk yang kita miliki, tetapi dari kemampuan kita untuk menerima diri apa adanya. Jadi, sebelum menambah barang di keranjang belanja, mungkin yang perlu kita tambahkan adalah jeda untuk bernapas dan menghargai kesederhanaan.
Baca Juga
-
Beban Ganda dan Resiliensi: Kisah Perempuan Pesisir di Tengah Krisis Iklim
-
Eco-Anxiety Bukan Penyakit: Saat Kecemasan Iklim Menggerakkan Perubahan
-
Saat Emosi Mengendalikan Ingatan: Mengenal Fenomena Mood-Congruent Memory
-
Hope Theory: Rumus Psikologi di Balik Orang yang Tidak Mudah Menyerah
-
Distorsi Kognitif yang Membentuk Cara Kita Melihat Dunia
Artikel Terkait
-
Ketika Nafsu Belanja Tak Terbendung, Bumi Menjerit Lewat Cuaca Ekstrem
-
Padel Jadi Gaya Hidup Baru, Turnamen di Jakarta Gabungkan Olahraga dan Self-Care
-
Budaya Konsumtif Perparah Krisis Iklim, Saatnya Berubah dari Hal Kecil
-
Wellness Tourism Naik Daun! The Westin Surabaya Tawarkan 6 Zona Healing Unik, Tertarik Coba?
-
Bikin Optimis! Ulasan Buku Seorang Wanita yang Ingin Menjadi Pohon Semangka di Kehidupan Berikutnya
Kolom
-
Merawat Ruang Digital dari Praktik Bullying yang Mengakar di Kolom Komentar
-
Cyberbullying: Kenapa Dampaknya Nyata dan Bagaimana Kita Menghadapinya
-
Nasib Masyarakat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Cengkeraman Ekskavator
-
442 Nyawa Melayang: Masalahnya di Cuaca atau Sistem yang Gagal?
-
Efek Domino Bullying di Sekolah: Prestasi Turun hingga Trauma Jangka Panjang
Terkini
-
5 Sepatu Lari Nuansa Merah dengan Desain Trendy ala Anak Muda
-
Kurang dari Seminggu, 3 Hal Tentang Ujian JLPT Ini Perlu Kamu Ketahui!
-
Ulasan Novel Izinkan Aku Mencintaimu: Menemukan Cinta Sejati dan Jati Diri
-
Review Anime Yuru Camp Season 3, Menjelajah Destinasi Baru
-
Bukan Soal Pakaian Mahal, Profesionalisme Dimulai dari 10 Kebiasaan Ini