Di tengah tantangan global dalam meningkatkan literasi, Malaysia ternyata memiliki langkah proaktif yang patut dicontoh oleh Indonesia untuk meningkatkan budaya literasi dan minat baca bagi generasi muda.
Dilansir dari Kompas.com, pemerintah Malaysia memberikan stimulus voucher buku senilai kisaran RM 100 hingga RM 250 (Rp 382.445 – Rp 956.112) kepada para pelajar di negaranya.
Kebijakan ini tentunya merupakan bagian dari upaya strategis untuk menumbuhkan kembali minat baca dan menjadikan buku sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat khususnya generasi muda.
Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah Malaysia memahami peran krusial buku dalam membentuk generasi masa depan yang cerdas dan kritis.
Pemberian voucher buku ini tentu bukan sekadar bantuan finansial biasa. Hal ini merupakan sebuah investasi pada modal intelektual bangsa.
Dengan nilai yang cukup signifikan, voucher ini memberikan daya beli langsung kepada para pelajar. Mereka kini memiliki kebebasan untuk memilih buku apa pun yang mereka inginkan, dari fiksi, non-fiksi, hingga buku pelajaran.
Otonomi dalam memilih ini sangat penting karena dapat menumbuhkan kecintaan terhadap membaca yang lebih tulus, bukan sekadar kewajiban.
Ketika seseorang membaca buku yang benar-benar mereka minati, proses belajar menjadi menyenangkan dan berkelanjutan.
Langkah ini juga memiliki dampak ekonomi yang positif bagi industri penerbitan. Dengan adanya jutaan pelajar yang memegang voucher buku, toko-toko buku dan penerbit akan mengalami peningkatan penjualan yang signifikan.
Hal ini akan memicu pertumbuhan industri, mendorong penulis untuk terus berkarya, dan menciptakan ekosistem buku yang lebih hidup.
Program ini juga membuktikan bahwa pemerintah bisa menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi kreatif sekaligus memajukan pendidikan.
Di sisi lain, kebijakan ini adalah pengakuan bahwa akses terhadap buku adalah kunci utama dalam mengatasi krisis literasi. Bagi banyak pelajar, terutama dari keluarga dengan ekonomi terbatas, harga buku sering kali menjadi penghalang.
Voucher ini efektif menghapus hambatan tersebut, membuat buku berkualitas dapat diakses oleh semua kalangan tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi. Ini adalah langkah nyata menuju demokratisasi pengetahuan.
Indonesia, yang menghadapi tantangan serupa dalam minat baca, dapat mengambil pelajaran berharga dari inisiatif Malaysia.
Meskipun sudah ada beberapa program sejenis, seperti voucher buku pada acara tertentu, implementasinya belum sekomprehensif dan sebersifat nasional seperti yang dilakukan Malaysia.
Pemerintah harus memberikan kemandirian kepada para pelejar untuk memilih buku yang ia baca dan tentunya yang sesuai dengan usia dan kebutuhannya.
Dengan memberikan tunjangan khusus buku atau jika memungkinkan memberikan buku gratis maka akan menjadi sebuah langkah yang progresif bagi peningkatan minat baca dikalangan anak muda.
Jika melihat besaran dana yang diberikan di Malaysia, tentunya dalam satu tahun para pelajar bisa membeli dan membaca kurang lebih lima sampai dengan sepuluh buku.
Di Indonesia, khususnya di Sulawesi Barat, telah ada kebijakan yang menetapkan bahwa pelajar SMA dan SMK diwajibkan membaca dan menamatkan 20 buku sebagai syarat kelulusan.
Langkah ini menjadi sebuah inovasi yang cerdas apabila diterapkan secara nasional, dan tentunya didukung oleh pemerintah agar dapat menjangkau pelajar yang lebih luas di berbagai daerah di Indonesia.
Program yang menjangkau seluruh pelajar dapat memberikan dampak yang jauh lebih besar. Ini adalah panggilan bagi kita untuk melihat buku bukan sebagai barang mewah, melainkan sebagai kebutuhan dasar yang harus difasilitasi oleh negara.
Dengan adanya stimulus voucher, Malaysia tidak hanya meningkatkan penjualan buku, tetapi juga menanamkan kebiasaan baik pada generasi muda.
Mereka membuktikan bahwa dengan kebijakan yang tepat, pemerintah bisa memimpin perubahan budaya literasi yang lebih baik.
Pada akhirnya, keberhasilan sebuah bangsa tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari seberapa kuat fondasi intelektual dan budayanya. Dan dalam konteks ini, buku adalah pilar utamanya.
Baca Juga
-
Paradoks Pengetahuan: Semakin Banyak Membaca, Semakin Merasa Bodoh
-
Sisi Lain Unggahan Buku: Bukan Pamer, Tapi Bentuk Dokumentasi dan Motivasi
-
Review Film Labinak: Praktik Sekte Kanibalisme dalam Keluarga Bhairawa
-
Belajar dari Denmark: Mengorbankan Pajak Buku Demi Cegah Krisis Literasi
-
Review Film Weapons: Horor Misteri yang Penuh dengan Teka-teki
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel Pulang Pergi: Sisi Gelap dan Mematikan Shadow Economy!
-
Ulasan Novel SagaraS: Sosok Orang Tua Kandung Ali Terungkap!
-
Ulasan Buku Melukis Pelangi: Menghapus Kata Takut dan Menyerah dalam Hidup
-
Tuai Kontroversi, Ayah Asal Malaysia Klarifikasi Panggilan Istri Kecil untuk Anaknya
-
Viral, Seorang Ayah di Malaysia Hobi Dandani Anaknya Bak Perempuan Dewasa dan Panggil Istri
Kolom
-
Suara Anak Muda untuk Bumi: Cinta Indonesia, Kok Masih Buang Sampah?
-
Sejauh Mana Film Memandang Materialistis Lewat Drama Percintaan?
-
Frugal Living Bukan Sekadar Hemat, Tapi Upaya Sederhana untuk Menjaga Bumi
-
Bank Indonesia Pangkas Suku Bunga: Apa Artinya bagi Kredit dan Investasi?
-
Dari Girlboss sampai Tradwife: Nostalgia Patriarki dalam Balutan Estetika
Terkini
-
Proker KKN Membuat Ganci dari Kain Perca: Edukasi Cinta Bumi Sejak Dini
-
Ulasan Novel Pulang Pergi: Sisi Gelap dan Mematikan Shadow Economy!
-
4 Gaya Shin Si A yang Bisa Jadi Ide OOTD Nongkrong yang Keren Banget!
-
Tidak Sepopuler Sepak Bola, Ini Alasan Futsal Masih Awam di Masyarakat
-
The Last of Us Season 2 Dihujani Kritik, Bella Ramsey Angkat Bicara