Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Tommy
Ilustrasi uang (pixabay.com/EmAji)

Diberitakan sebelumnya di laman berita Suara.com (29/08/2021), Bupati Jember bersama Sekretaris Daerah (Sekda), Plt Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan Kepala Bidang Kedaruratan dan Logstik BPBD Kabupaten Jember, menerima honor sebesar Rp 282 juta dari pemakaman jenazah Covid-19.

Setiap pemakaman satu jenazah Covid-19, pejabat tersebut menerima Rp 100.000. Sementara jumlah warga yang meninggal karena Covid-19 di kabupaten tersebut cukup banyak. Alhasil, dari total pemakaman jenazah Covid-19, keempat pejabat ini mendapat honor sejumlah Rp 70,5 Juta per orang.

Bupati Jember Hendy Siswanto telah meminta maaf dan mengembalikan total uang yang diterimanya. Ia berdalih, praktik honorarium anggota tim pemakaman sudah lama dilakukan dan hanya sebatas meneruskan saja.

Dalam tim pemakaman jenazah  Covid-19, Hendy Siswanto duduk sebagai pengarah. Penanggung jawab adalah Sekda. Ketua adalah Kepala BPBD. Selain itu, ada 30 anggota petugas pemakaman.

Komposisi tersebut sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Jember Nomor: 188.45/107/1.21/2021 tertanggal 30 Maret 2021 tentang Struktur Tim Pemakaman yang ditandatangi oleh sang bupati.

Meski sudah meminta maaf, skandal honor pemakaman jenazah Covid-19 tetap dilaporkan oleo Aliansi Government Anti Korupsi Hope (Angak Ho) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Koordinator Aliansi Government Anti Korupsi Hope, Rully Efendi mengatakan, pencairan honor tim pemakaman jenazah Covid-19 yang menggunakan payung hukum SK Bupati Jember tersebut termasuk perbuatan korupsi dan sangat membahayakan.

"Saya mendapat referensi dari ICW (Indonesia Corruption Watch), bahwa korupsi yang paling berbahaya mencuri uang negara dengan tameng peraturan, dan bang Adnan Topan (Koordinator ICW) menyebutnya model seperti ini yang dinamakan korupsi yang dilegalkan," terang Rully seperti dikutip dari malang.suara.com (31/082021)

Terlepas dari persoalan, apakah kasus ini merupakan pelanggaran hukum atau persoalan moralitas dan kepantasan semata? Sangat penting juga ditanyakan apakah praktik honorarium pemakaman jenazah Covid-19 tersebut hanya terjadi di Kabupaten Jember saja? 

Tidakkah ini fenomena gunung es, ketika kita hanya meributkan kasus yang ketahuan atau kebetulan terangkat ke permukaan. Sedangkan praktik yang tersembunyi dan melanggeng secara senyap di daerah lain terbiarkan.

Bisa saja honor pemakaman jenazah Covid-19 yang dikantongi pejabat di suatu daerah lebih besar daripada yang dianggarkan pejabat di Pemerintah Kabupaten Jember.

Dalih Bupati Jember yang mengaku  honorarium pemakaman untuk pejabat itu sudah lama dilakukan, menguatkan kecurigaan bahwa praktik yang sewujud kemungkinan besar berlaku pula di tempat lain.

Dugaan itu berangkat dari networking kelembagaan antar pemerintah daerah selama ini sangat dekat dan aktif dalam mendiskusikan persoalan pemerintahan. Apalagi yang berkaitan  dengan pendapatan atau honorarium,  pasti cepat direspons dan diadopsi pemerintah daerah lainnya.

Menko PMK Muhadjir Effendy pun dalam tanggapannya mengatakan, tidak ada regulasi yang secara khusus mengatur pemberian honor pemakaman jenazah Covid-19. Akan tetapi di dalam  ketentuan pemberian honor itu diperbolehkan. Ia meminta kepala daerah bijak dalam membuat kebijakan terkait honor tersebut.

Pernyataan Muhajir tersebut seolah menguatkan keyakinan pejabat daerah bahwa tak ada pelanggaran hukum bila menerima honor  dari pemakaman jenazah Covid-19. Jika moralitas dan kepantasan yang dianggap berada di luar aturan hukum jadi pijakan dalam membuat sebuah kebijakan, yakinlah semua itu sudah pasti akan diabaikan oleh sebagian besar pejabat kita. Lah, yang melanggar ketentuan aja bisa dan biasa mereka siasati, apalagi yang dibolehkan.

Moralitas dan  kepantasan tak akan menghilangkan rasa malu pejabat yang menerima honor kematian warganya. Tak mengikis rasa risih pejabat yang menjadi endorse merk obat Covid-19. Serta tak menghapus rasa rikuh pejabat yang meminta vitamin dari miliaran uang rakyat.

Sepanjang aturan itu tidak melarang dan membatasi suatu kebijakan, selama itu pula mereka tidak malu menikmati setiap keuntungan dari anggaran pemerintah.

Adagium yang mengatakan "Semakin kacau keadaan masyarakat, maka semakin mudah orang-orang yang berkuasa mengambil keuntungan dari keadaan itu", seakan melegitimasi tabiat buruk pejabat di tengah pandemi.

Situasi darurat menjadi alasan untuk bertindak "force majeur" di mana kebijakan anggaran dan pengawasan dilonggarkan, sehingga memungkinkan aksi rasuah dilakukan.

Tak beda jauh apa yang terjadi di kala pandemi saat ini. Ketika  masyarakat butuh uluran tangan, duit bantuan malah diembat pejabat negara. Tak peduli rakyat susah, yang penting mereka nikmat dan cuan.

Tengok saja korupsi yang dilakukan Juliari Batubara, eks Menteri Sosial bersama anak buahnya berkongsi menggerogoti hak rakyat. Kemudian ada kasus  korupsi pengadaan barang tanggap darurat bencana pandemi Covid-19 oleh eks  Bupati Bandung Barat Aa Umbara Sutisna. Lalu kasus korupsi pengadaan masker di Dinas Kesehatan Provinsi Banten, dan masih banyak lagi kasus korupsi anggaran pandemi yang dilakukan mulai dari level pejabat pemeritah pusat hingga kepala desa.

Tidak semua praktik cari untung di tengah pandemi itu berujung menjadi kasus hukum korupsi. Bisa karena praktiknya tidak dipersoalkan aparat hukum, atau memang belum  terdeteksi adanya pelanggaran hukum.

Sepanjang  tidak ada penangkapan, tuntutan dan proses hukum, selama itu pula motif dan praktik itu terjadi. Selagi keuntungan itu cukup menjanjikan, semasa itu pula mereka tak hirau  jeritan dan tangisan masyarakat. Tak perduli hidup rakyat sedang perih akibat pandemi.

Tommy