Tokoh Semar dalam pewayangan adalah salah satu tokoh yang cukup nyentrik dan menarik perhatian. Hampir semua orang pasti tahu seperti apa fisik Semar. Ada sebuah cerita unik yang menyangkut asal-usul fisik Semar seperti yang sering kita lihat saat ini.
Saat itu, 3 bersaudara yang terdiri dari Togog, Semar, dan Batara Guru mengadakan kompetisi untuk menentukan siapa yang paling pantas menggantikan posisi Sang Hyang Tunggal.
Mereka bertiga menyepakati bagi siapa saja yang berhasil makan gunung, maka dialah yang pantas menggantikan posisi Sang Hyang Tunggal. Togog maju pertama kali, ia makan gunung dengan cara langsung melahapnya. Karena tidak muat, hal tersebut membuat bibir Togog robek.
Semar yang telah melihat hal tersebut kemudian sadar bahwa gunung tidak bisa dilahap mentah-mentah. Semar lantas menggunakan cara lain, ia memakan gunung sedikit demi sedikit.
Hal tersebut kemudian berakibat pada perut Semar yang menggemuk. Saat Batara Guru hendak memakan gunung, mereka bertiga akhirnya ketahuan oleh ayah mereka. Mereka pun dimarahi lalu diusir ke bumi.
Ini merupakan cerita versi naskah Purwacarita seperti yang diungkapkan oleh Dr. H. Fahruddin Faiz, S.Ag., M.Ag. Melalui cerita tersebutlah akhirnya kita tahu mengapa Togog dalam pewayangan digambarkan mulutnya begitu besar, dan mengapa Semar bertubuh gemuk.
Terlepas dari cerita tersebut ternyata Semar memiliki banyak filosofi. Filosofi di sini bukan tentang apa yang diajarkan Semar, melainkan apa yang ada pada diri Semar itu sendiri. Berikut filosofi Semar menurut Dr. H. Fahruddin Faiz, S.Ag., M.Ag.
1. Filosofi Nama
Semar memiliki nama asli Ismaya, artinya maya atau samar. Semar, bila hanya dilihat dengan mata telanjang, ia nampak tidak jelas/semu secara ilmu dan kebijaksanaan. Namun, bila diselami ternyata Semar menyimpan banyak mutiara pengetahuan yang sangat berharga.
Berbanding terbalik dengan Batara Guru, ia mempunyai nama asli Manikmaya, di mana nama tersebut bermakna mutiara yang semu. Secara lahiriah, Batara Guru tampak seperti mutiara.
Namun, bila diselami lebih dalam, Batara Guru tidak bisa mengimbangi mutiara pengetahuan yang tersimpan dalam diri Semar. Oleh sebab itulah, bila terjadi perdebatan antara keduanya, Semar selalu menjadi pemenang.
Semar juga memiliki nama lain, yakni Badranaya. Nama Badranaya tersebut mengacu pada fungsi atau peran Semar. Bila dikupas, nama Badranaya berasal dari kata Badra/Bebadra (artinya membangun dari bawah) dan Naya (artinya utusan dari atas).
Sederhananya, Semar ini adalah utusan tapi juga orang biasa. Dalam proses mencari pengetahuan, Semar melakukan dengan upayanya sendiri sekaligus mendapat bantuan dari atas.
Pak Fahruddin Faiz mengungkapkan bahwa para wali biasanya ‘Naya’, maksudnya mereka sering mendapat pengetahuan yang berasal dari ilham yang diberikan oleh Allah swt. Sementara itu masyarakat awam pada umumnya ‘Badra’, mereka belajar dan mencari hikmah sendiri.
2. Filosofi Fisik
Ada beberapa hal menarik dari gambaran fisik tokoh Semar yakni.
a. Semar itu bukan laki-laki, juga bukan perempuan. Masyarakat selama ini menganggap bahwa Semar adalah laki-laki. Sebenarnya, secara tidak sadar hal tersebut merupakan kesan yang ditimbulkan oleh kentalnya budaya patriarki.
b. Tangan kanan ke atas, tangan kiri ke bawah. Hal seperti ini mirip dengan yang ada pada tarian sufi Jalaluddin Rumi (disebut juga dengan Whirling Dervishes). Makna dari simbolisme tersebut adalah menunggu anugerah dari yang di atas, dan ketika sudah dapat maka jangan lupa untuk membaginya pada yang di bawah. Secara tidak langsung ini merupakan ajaran supaya kita semua tidak menjadi pribadi yang egois, supaya kita menjadi pribadi yang selalu berkenan berbagi.
c. Memiliki kuncung rambut seperti anak-anak, tetapi berwajah tua. Ini merupakan syarat yang harus dimiliki oleh ‘insan kamil’ (manusia sempurna). Maksudnya, untuk mencapai derajat ‘insan kamil’, seseorang harus memiliki sisi kejernihan (seperti yang dimiliki anak-anak) sekaligus sisi kematangan (seperti yang dimiliki orang tua).
Matanya digambarkan seolah menangis, tapi bibirnya menyiratkan tawa. Ini merupakan gambaran isi kehidupan, yakni momen duka dan momen suka. Semua itu pasti terjadi pada setiap orang, dan itu tak terhindarkan.
Baca Juga
-
Menggugat Sekolah yang 'Tak' Bersalah
-
Film Encanto: Tak Ada Keluarga yang Benar-benar Sempurna
-
Doctor Strange MoM: Menyelamatkan Dunia Bukan Perkara yang Membahagiakan
-
Privilese Spider-Man dan Batman serta Korelasinya dengan Konsep Berbuat Baik
-
Imam Al Ghazali dan Tuduhan Soal Penyebab Kejumudan Berpikir
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel Kereta Semar Lembu, Karya Pemenang Sayembara Novel DKJ 2021
-
5 Makanan Khas Kerinci, Nikmatnya Menggugah Selera
-
Best 5 Oto: Daihatsu Gelar Pameran di Rest Area, Semar Proto Paling Irit se-Asia, Cara Mengurus STNK Hilang
-
Semar Proto, Purwarupa Mobil Listrik Paling Irit se-Asia Karya Mahasiswa UGM
-
Ulasan Buku Semar Gugat di Temanggung: Menggugat Berbagai Ketimpangan Sosial
Kolom
-
Mengupas Tantangan dan Indikator Awal Kredibilitas Pemimpin di Hari Pertama
-
Mempelajari Efektivitas Template Braille pada Pesta Demokrasi
-
Transparansi Menjaga Demokrasi di Balik Layar Pemilu, Wacana atau Nyata?
-
Polemik KPU Menghadapi Tekanan Menjaga Netralitas dan Kepercayaan Publik
-
Coffee Shop Menjamur di Era Sekarang, Apakah Peluang bagi Para Pengusaha?
Terkini
-
Jadwal F1 GP Qatar 2024: Masih Menantikan Juara Dunia Konstruktor
-
ADOR Tuntut Belift Lab Minta Maaf Atas Kasus Perundingan Hanni NewJeans
-
Mahasiswa Universitas Lampung Ajak Warga Gotong Royong Peduli Lingkungan
-
Thailand Mulai Kehilangan Taring, Kabar Gembira untuk Timnas Indonesia?
-
Indonesia Perlu Waspadai Myanmar di AFF Cup 2024, Jadi Tim Kuda Hitam?