Gula merah atau yang biasa dikenal dengan gula aren adalah salah satu produk lokal Indonesia. Produksi gula merah mungkin masih sangat minim di setiap wilayah Indonesia, namun gula merah telah menjadi konsumsi masyarakat lokal yang laris terjual.
Namun, menjadi kebanggaan karena masyarakat di kabupaten Lebak, Banten, mampu menjadi produksi gula aren terbesar dunia. Menurut Kepala Seksi Program Mesin dan Kimia Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Lebak Sapei di Lebak, Jumat (19/8/2016). (Sumber: suara.com).
Menurutnya, perajin gula aren itu tersebar di Kecamatan Sobang, Panggarangan, Cigemblong, Bayah, Cihara, Cibeber, dan Muncang. Pada tahun 2015, produksi gula aren di Kabupaten Lebak tercatat 8.722.500 kg, dengan nilai produksi perguliran ekonomi Rp96 miliar lebih dari 5.815 unit usaha, dan menyerap tenaga kerja sebanyak 11.507 orang. (Suara.com).
Selain daerah Lebak, kabupaten Polewali Mandar juga termasuk penghasil gula merah yang dapat diandalkan. Ada beberapa daerah di Polewali Mandar yang menjadikan gula merah sebagai sektor pertanian mata pencaharian masyarakat, terutama di daerah pegunungan termasuk desa Todang-Todang itu sendiri.
Kondisi masyarakat desa Todang-Todang hampir seratus persen bekerja pada bidang pertanian dan peternakan. Namun, peternakan masih menjadi pekerjaan sampingan, sementara pertanian seperti kakao dan produksi gula merah menjadi pekerjaan utama dan nomor satu yang menjadi sumber penghidupan.
Dari 600 kepala keluarga di desa Todang-Todang, warganya hampir mencapai 70% bekerja memproduksi gula merah, tak terlepas ia juga sebagai petani kakao.
Gula merah di desa Todang-Todang menjadi mata pencaharian masyarakat sejak lama dan sudah terjadi secara turun-temurun. Bahkan proses dan pengemasannya pun masih sederhana, seperti yang telah dicontohkan orang-orang terdahulu masyarakat Todang-Todang. Sehingga hasil dari produksi gula merah Todang-Todang tidak ada pembaharuan modifikasi, baik persoalan produk maupun kemasan, apalagi masalah pemasaran.
Komoditas produksi gula merah di desa Todang-Todang belum menjadi badan milik desa, atau belum terkelola dengan desa seperti program BUMDES. Kondisi tersebut, sehingga masyarakat yang memproduksi gula merah belum mampu terakomodir secara merata dan pemasarannya pun belum tersalurkan dengan baik. Mungkin karena proses pemasaran gula merah di desa Todang-Todang masih mengandalkan para pedagang tengkulak.
Sistem pembelian yang dilakukan oleh para pedagang, tentu mereka dapat mempermainkan harga. Petani (produksi gula merah) hanya bisa ikut harga berdasarkan yang telah ditentukan para pedagang tengkulak tersebut. Sehingga kalau ditelisik lebih dalam, justru seharusnya harga gula merah lebih mahal ketimbang harga yang sudah dipatok para pedagang, atau istilahnya dapat mengikuti harga pasaran seperti di Marketplace dan sejenisnya.
Hal tersebut bisa saja diretas jika pemerintah setempat mampu menjadi wadah penampung dalam pemrosesan gula merah, pemerintah akan menyalurkannya langsung kepada perusahaan dengan harga yang cukup fantastis. Selanjutnya, mengoptimalkan peran digitalisasi pemasaran produk gula merah di desa Todang-Todang sangat penting juga untuk dikembangkan hari ini.
Apalagi kondisi sekarang, kita ketahui bahwa proses transaksi online sangat efektif untuk menambah prekonomian masyarakat. Melalui proses digitalisasi, maka petani dapat berhubungan langsung dengan konsumen atau perusahaan. Dengan demikian, maka gula merah dapat menjadi nilai ekspor dengan harga yang normal mengikuti harga pasar. Artinya terjadi keseimbangan antara proses kerja pembuatan gula merah dengan harga penjualannya.
Dengan memanfaatkan peran digitalisasi, maka proses pemasaran dapat dilakukan dengan Marketplace sebagai salah satu media transaksi digital (online). Misalnya platfrom seperti Shoopi, Lazada dan Tokopedia dalam melakukan pemasaran dengan lebih baik. Kemudian hal itu dapat juga dikembangkan dengan pembuatan aplikasi baru yang lebih afektif dan lebih bagus lagi.
Pemanfaatan digitalisasi yang baik, tentu sangat mendorong dalam mengembangkan potensi pemasaran produk gula merah yang dapat juga bersaing secara internasional dengan harga mempuni. Perkembangan globalisasi yang makin cepat, mestinya dibarengi juga dengan perkembangan segala sumber daya masyarakat, termasuk eksistensi gula merah sendiri.
Baca Juga
-
9 HP Kamera 0,5 Harga 1-2 Jutaan Terbaik 2025, Foto Ramean Jadi Full Team!
-
9 Rekomendasi Casing iPhone Terbaik 2025: Harga Mulai Rp 30 Ribuan
-
Guru Hebat Butuh Kebijakan yang Nggak Setengah-Setengah
-
Review ASUS Zenbook S16 OLED: Otak Einstein & Bodi Supermodel untuk Profesional
-
Generasi Z, UMKM, dan Era Digital: Kolaborasi yang Bikin Bisnis Naik Level
Artikel Terkait
-
Gula Aren Jadi Rahasia Rasa Enak Kopi Susu Kekinian, Tapi Beneran Lebih Sehat Gak Sih?
-
Kopi Susu Gula Aren, Minuman Kekinian dengan Akar Tradisi Indonesia
-
Alasan Kopi Susu Gula Aren Jadi Google Doodle Hari Ini, Ternyata Bukan Cuma Tren!
-
6 Resep Es Kopi Susu Gula Aren Kekinian, Ala Kafe hingga Kreasi Unik di Rumah
-
Lawan Modernisasi, Cerita Remaja Bulukumba Pelestari Tradisi Penyadap Nira
Kolom
-
Reshuffle Kabinet Merah Putih dan Janji Perubahan yang Masih Samar
-
Film Sore: Istri dari Masa Depan Melenggang dan Mengguncang Panggung Oscar
-
Kasus Ferry Irwandi, Patroli Siber dan Menyempitnya Ruang Demokrasi Digital
-
Pembongkaran Parkiran Abu Bakar Ali: Antara Penataan Malioboro dan Nasib Masyarakat
-
Kopinya Mahal, Tapi Gaji Barista Tetap Pas-pasan
Terkini
-
Blunder Klarifikasi Anak Menkeu Baru: Niatnya Minta Maaf soal Agen CIA, Malah Seret Ternak Mulyono?
-
Sutradara Beber Alasan Akhiri Kisah Duo Warren di The Conjuring: Last Rites
-
Review Film Siccin 8: Atmosfer Mencekam yang Gak Bisa Ditolak!
-
Dunia Terbelah: Media China Puji Stabilitas, Barat Cemas usai Prabowo Copot Sri Mulyani
-
iPhone Air Meluncur: Super Tipis dan Kencang, tapi Netizen Kok Malah Ngantuk dan Nyindir?