Hayuning Ratri Hapsari | Ernik Budi Rahayu
Ilustrasi Perempuan Alami Bullying (pexels.com/RDNE Stock project)
Ernik Budi Rahayu

Bullying di sekolah sering kali digambarkan sebagai masalah individu, ada pelaku jahat dan korban yang lemah serta ada penonton yang diam. Namun, persoalah bullying sebenarnya ada lebih jauh ketika menyangkut perempuan.

Baik anak, dewasa, atau remaja perempuan selalu dihantui dengan komentar sinis, body shamming atau pengucilan sosial. Di balik hal itu ada norma feminitas dan peer preasure yang tak terduga. Kedua hal tersebut membentuk standar sosial yang memaksa perempuan menjadi “ideal” versi masyarakat agar tak dipinggirkan.

Peer Preasure dan Norma Feminitas

Dilansir dari UNIS HANOI, Peer Preasure adalah pengaruh teman sebaya adalah fenomena yang mencakup pengaruh yang diberikan teman sebaya terhadap sikap, keyakinan, dan tindakan satu sama lain. Hal ini dapat terwujud melalui berbagai cara, termasuk membujuk teman untuk ikut serta dalam kegiatan berisiko, mematuhi standar kelompok, atau mengubah sudut pandang seseorang agar selaras dengan teman sebaya.

Dalam kalangan remaja, peer preasure tak selalu muncul dalam bentuk tekanan langsung melainkan ekspetasi untuk memaksa perempuan agar berpenampilan cantic, sopan, kurus, tidak rebut, harus lembut dan sebagainya. Ekspetasi ini sepele namun menjadi landasan perilaku bullying.

Nah, disitu lah norma feminitas membentuk perilaku bullying. Peer preasure dan norma feminitas berkerja sebagai mekanisme sosial unruk mengoreksi para perempuan.

Bentuknya tindakannya pun bermacam-macam. Bisa lewat bisik-bisik saat jam istirahat, menghindari mengajak bicara seseorang, atau menyebarkan rumor. Banyak kasus perundungan emosional pada remaja perempuan justru berakar dari “standar cantik” yang diproduksi oleh media dan budaya populer. Mereka yang tidak masuk kategori ini rentan ditertawakan atau direndahkan.

Ironisya adalah pelaku bullying sering kali adalah remaja perempuan yang juga tertekan atas standar yang sama. Mereka saling menyerang untuk mempertahankan posisi sosial mereka.

Peer Preasure Tidak Dianggap Serius di Berbagai Lingkungan

Bullying pada perempuan tentang norma feminitas sering tidak dianggap serius. Hal-hal itu dibungkus sebagai standar sosial perempuan biasa. Padahal, bentuk candaan karena standar ini bisa asangat merusak. Hal ini terjadi karena patriarki yang mengajarkan perempuan untuk saling dibandingkan alih-alih saling mendukung.

Dalam lingkungan sekolah, perundungan berbasis standar feminitas justru tidak terdeteksi karena tidak selalu terlihat. Tidak ada dorongan, tidak ada pukulan. Yang ada hanyalah tatapan menghakimi, komentar sarkastik soal badan, atau pengucilan yang dilakukan diam-diam.

Namun dampak psikologisnya bisa jauh lebih berat dari kekerasan fisik. Perempuan yang mengalami bullying jenis ini tumbuh dengan rasa takut untuk tampil apa adanya. Mereka belajar bahwa kepercayaan diri bisa dihukum, dan perbedaan bisa membuat seseorang tersingkir.

Dalam sisi lain, lingkungan sekitar pun demikian. Perempuan selalu di remehkan bahkan ketika mereka mulai mengeluh. Masalah akan terus berkembang jika terhubung dengan norma feminitas yang terlalu sempit.

Peer Preasure adalah Bullying Halus

Jika ditelusuri, dampak dari peer preasure adalah bullying halus. Akarnya adalah bentuk control sosial. Norma feminitas membuat perempuan sibuk menyesuaikan diri dengan standar yang dibuat masyarakat. Ketika seseorang tidak bisa mengikuti aturan maka beberapa individu atau kelompok menggunakan tekanan (bullying) agar sesuai dengan standarnya.

Walaupun perempuan berusaha keluar dari peer preasure maka tekanan yang diberikan akan lebih tinggi dan keras. Peer Preasure di sini bekerja bukan sebagai kebaikan, melainkan untuk memastikan perempuan tetap berada dalam jeratan patriarki.

Memutus Siklus Peer Preasure

Untuk memtus siklusnya, dalam lingkungan sekolah misalnya perlu mengakui bahwa bullying tidak selalu terlihat. Perlu ada safe space untuk membahas standar sosial yang merugikan anak perempuan. Untuk lingkungan lainya, kita bisa memulai edukasi tentang empati dan relasi sehat harus menjadi bagian dari kurkulum, bukan hanya slogan yang ditempel di dinding kelas.

Saatnya membebaskan perempuan dari baying-bayang peer preasure yang mengkang. Remaja perempuan perlu tahu bahwa menjadi diri sendiri bukan lah hal yang salah. Dan kita semua, sebagai masyarakat perlu berhenti menganggap bullying halus seperti peer preasure sebagai hal kecil. Karena dampaknya tetap besar khususnya bagi para perempuan.