Perempuan tidak pernah bebas dari kewaspadaan. Saat pulang kerja seorang diri, mereka sering merasa perlu mengirim lokasi real-time kepada teman terdekat, berpura-pura sedang menelepon seseorang, menggenggam kunci di antara jari-jari sebagai alat pertahanan darurat, atau memilih rute yang dianggap lebih aman meskipun memakan waktu lebih lama.
Praktik-praktik ini bukan sekadar kebiasaan, melainkan refleksi dari rapuhnya rasa aman serta kecemasan kolektif yang diwariskan dari pengalaman perempuan lain. Fenomena ini membuka ruang diskusi lebih luas tentang bagaimana perempuan tidak pernah benar-benar mendapatkan hak untuk bergerak bebas tanpa rasa takut.
Kecemasan Kolektif yang Dibentuk oleh Pengalaman Bersama
Kecemasan kolektif perempuan muncul bukan hanya dari pengalaman pribadi, tetapi dari rangkaian cerita, peringatan, dan pengalaman traumatis yang dibagikan turun-temurun. Setiap perempuan hampir pasti akrab dengan pesan “jangan pulang terlalu malam,” “jangan naik kendaraan sendirian,” atau “kabari kalau sudah sampai.”
Nasihat-nasihat tersebut sering dibingkai sebagai bentuk perhatian, namun sekaligus menunjukkan adanya asumsi bahaya yang selalu mengintai. Melalui pola komunikasi dan pengalaman sosial semacam ini, perempuan membentuk pemahaman bahwa tubuh dan ruang geraknya berada dalam posisi rentan sehingga kewaspadaan akhirnya menjadi sebuah kebiasaan yang hampir otomatis.
Dinamika ini diperkuat oleh media. Berita mengenai pelecehan, penculikan, atau kekerasan seksual terhadap perempuan menjadi narasi publik yang terus berulang. Akibatnya, rasa takut tidak hanya bersumber dari apa yang dialami secara langsung, tetapi juga dari apa yang terus-menerus dilihat, dibaca, dan didengar.
Ketakutan ini akhirnya membentuk kecemasan kolektif, yaitu emosi bersama yang membangun persepsi bahwa ancaman selalu dekat, bahkan ketika secara objektif seseorang sedang berada di tempat yang relatif aman.
Beban Keamanan yang Tidak Merata
Meskipun keamanan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, realitas menunjukkan bahwa perempuan sering dipaksa menanggung beban ini sendirian. Mereka diharapkan lebih berhati-hati, mengatur jam pulang, menghindari pakaian tertentu, hingga memodifikasi perilaku agar “aman.” Beban ini tidak pernah secara eksplisit dibahas, tetapi hadir dalam setiap keputusan kecil yang mereka buat.
Perempuan dibiasakan bertanggung jawab atas keselamatannya sendiri, seolah ancaman kekerasan adalah sesuatu yang harus mereka antisipasi, bukan sesuatu yang harus dicegah oleh lingkungan sosial secara kolektif.
Ketika kekerasan menimpa perempuan, respons yang muncul dari lingkungan sering kali bukan berupa dukungan, melainkan pertanyaan yang menyiratkan kesalahan pada korban, seperti, “Kenapa pulang malam?” atau “Kenapa lewat jalan itu?” Pola respons semacam ini mencerminkan cara pandang masyarakat yang cenderung menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus mengantisipasi bahaya, bukan menyoroti perilaku pelaku atau kondisi lingkungan yang tidak aman.
Akibatnya, perempuan terbiasa memikul beban keamanan secara individual, sementara struktur sosial yang seharusnya melindungi justru melepaskan tanggung jawabnya.
Ketidakadilan Struktural yang Membentuk Rasa Aman Perempuan
Rasa aman perempuan tidak hanya dipengaruhi oleh pengalaman individu, tetapi juga oleh struktur sosial yang masih mengandung bias gender. Minimnya penerangan jalan, transportasi publik yang tidak ramah perempuan, hingga aparat penegak hukum yang kurang responsif terhadap laporan pelecehan, semuanya memperkuat kecemasan kolektif.
Ketika sistem tidak melindungi, perempuan hanya bisa mengandalkan strategi pribadi, yang sebenarnya justru menunjukkan kegagalan struktur sosial dalam menjalankan fungsinya.
Selain itu, budaya patriarki juga memengaruhi bagaimana masyarakat memaknai ancaman terhadap perempuan. Perilaku mengontrol, meremehkan ketakutan perempuan, atau memaklumi tindakan pelaku sebagai “hal biasa” menyebabkan perempuan merasa bahwa kegelisahan mereka tidak valid.
Ketidakadilan struktural ini membuat kecemasan perempuan tidak hanya menjadi persoalan psikologis, tetapi juga persoalan sosial dan politik. Kecemasan kolektif akhirnya menjadi respons rasional terhadap kondisi yang secara sistematis tidak aman.
Kecemasan kolektif perempuan bukanlah bentuk ketakutan yang berlebihan, melainkan refleksi dari kenyataan sosial yang belum memberikan rasa aman secara adil. Beban keamanan yang ditanggung perempuan, baik melalui pengalaman pribadi maupun narasi yang diwariskan, menandakan bahwa ruang publik masih belum setara dalam memberikan kebebasan bergerak.
Baca Juga
-
Merosotnya Kepercayaan Publik dan Pemerintah yang Tak Mau Mengalah
-
Migrasi Sunyi Nelayan: Ketika Laut Tak Lagi Menjanjikan Pulang
-
Blue Carbon: Harta Karun Tersembunyi di Pesisir Indonesia
-
Perundungan Tak Kasat Mata: Saat Covert Bullying Menghancurkan Tanpa Suara
-
Stigma di Tengah Krisis Iklim: Potret Ketidakadilan di Pesisir Demak
Artikel Terkait
-
Janji Kesetaraan Tinggal Janji, Pesisir Masih Tak Aman bagi Perempuan
-
Mural Agni Maitri sebagai Simbol Kebersamaan dan Kreativitas di Ruang Publik
-
Perempuan Hebat, Masyarakat Panik: Drama Abadi Norma Gender
-
5 Rekomendasi Novel yang Menyinggung Isu Kekerasan terhadap Perempuan
-
Kekerasan Terus Meningkat, Ini Cara Pemerintah Lindungi Anak dan Perempuan
Kolom
-
Dari Pesisir Malang Selatan, Cerita tentang Penyu dan Kesadaran
-
Peer Preasure dan Norma Feminitas: Ketika Bullying Halus Menyasar Perempuan
-
Sekolah Darurat Pembullyan, Kritik Film Dokumenter 'Bully'
-
Korban Bullying Memilih Bungkam, Ada Sebab Psikologis yang Jarang Disadari
-
Pejabat Asal Bicara: Apakah Tanda Krisis Retorika yang Tumpul?
Terkini
-
4 Rekomendasi Laptop Touchscreen Terbaik 2025, Cocok untuk Aktivitas Online dan Presentasi
-
Reforestasi Bukan Sekadar Menanam Pohon, Ini Upaya Memulihkan Ekosistem
-
Elegi Timnas Indonesia, Erick Thohir dan Jejak Mengenaskan Pelatih Skuat Garuda Pilihannya
-
4 Rekomendasi HP dengan Kamera Terbaik di Akhir 2025, Hasil Foto dan Video Setara Kamera Profesional
-
Alwi Farhan dan Ubaidillah, Masa Depan Sektor Tunggal Putra Indonesia