Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Armand IS
Ilustrasi bendera Korea Selatan.[Unsplash/Stephanie Nakagawa]

Dinamika pergerakan sosial di Korea Selatan merupakan hal yang menarik untuk kita perhatikan. Korea Selatan yang selama ini kita kenal sebagai negara adidaya secara sosial-ekonomi, ternyata menyimpan segudang isu-isu sosial, terutama dalam permasalahan kesenjangan yang dialami oleh rakyatnya. 

Meskipun modernitas menguasai segala aspek kehidupan di Korea Selatan, masih dapat kita temukan banyak orang yang mencari jawaban atas permasalahan hidup. Mereka mencari jawaban melalui jalan spiritual dan religius. 

Korea Selatan merupakan salah satu negara di Asia Timur yang memiliki pengaruh Kekristenan yang kuat. Hal ini dibuktikan dalam sejarah masuknya Kekristenan di Korea dan bagaimana ajaran Gereja masuk ke dalam pergolakan masyarakat.

Ajaran Gereja diusung oleh banyak cendekiawan modern sebagai nilai-nilai yang menjadi dasar untuk menjawab masalah sosial. Salah satunya dapat kita soroti gerakan yang berbasis keagamaan yakni gerakan ‘Minjung.’

Gerakan Minjung adalah sebuah paham teologis yang berupaya mengusung konsep keadilan sosial di tengah masyarakat Korea Selatan yang kapitalistik dan kompetitif antara satu sama lain. Gerakan ini membangun semangat gotong royong antar rakyat di tengah persaingan individu, seperti yang terjadi di masyarakat Korea Selatan.

Kata Minjung sendiri diambil dari dua aksara Tionghoa yakni Min dan Jung. Aksara Min mewakili kata ‘rakyat’ dan aksara Jung mewakili ‘banyak’ atau ‘kelompok’. Oleh sebab itu, kata Minjung berarti dapat diartikan sebagai sebuah kesadaran berkelompok atau di masyarakat Indonesia sering kita kenal sebagai semangat gotong-royong.

Gerakan ini dipelopori oleh para agamawan yang juga merupakan para akademisi di berbagai perguruan tinggi di Korea Selatan. Teologi Minjung mengambil beberapa intisari ajaran Gereja, terutama pada ajaran cinta dan kasih sebagai semangat ataupun dasar dari gerakan sosial, untuk membangun masyarakat yang sejahtera. Gerakan ini mengambil keteladanan dari Yesus Kristus dalam kehidupannya yang penuh cinta kasih kepada rakyat jelata. 

Gerakan ini muncul pada tahun 1950 dan 1960. Tahun-tahun tersebut adalah fase yang sulit bagi rakyat Korea Selatan maupun Korea Utara, akibat terdampak perang Korea yang masih terus terjadi hingga detik ini.

Gerakan ini diperkenalkan oleh para agamawan dan misionaris Protestan yang prihatin dengan kondisi rakyat jelata, terutama mereka yang terdampak secara langsung oleh perang Korea. Seperti para janda yang ditinggal mati suaminya akibat perang, yang terjadi dan tidak memiliki kemampuan untuk menghidupi keluarganya. 

Gerakan ini berkembang melalui berbagai perkumpulan para agamawan yang menghimpun berbagai lapisan masyarakat. Mereka memiliki kepedulian terhadap permasalahan kesenjangan sosial yang terjadi di Korea Selatan. Mereka mengadakan perkumpulan dan saling berbagi cerita dan keluh kesah yang mereka alami, dan bagaimana kehidupan modern menyiksa mereka.

Melalui perkumpulan tersebut, mereka membangun sebuah deklarasi dan persetujuan yang memuat ajaran-ajaran Minjung serta seruan akan keadilan sosial untuk disebarluaskan ke publik.

Gerakan ini masih eksis dan bertahan hingga sekarang. Gerakan ini tetap masih menyuarakan ketidakadilan dan kesenjangan yang dialami oleh rakyat Korea Selatan. Gerakan ini juga masih sering dibicarakan di ranah akademis dan menjadi kajian bagi para mahasiswa maupun akademisi yang mempelajari gerakan sosial dan filsafat. Tidak terkecuali para akademisi di Indonesia. 

Referensi

  • Douglas J. Elwood. 2006. Teologi Kristen Asia; tema-tema yang tampil ke permukaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
  • Huang, William. 2020.. "Korean Christianity: Thriving in Megachurches, Deserted by Youth"
  • Kim Yong Bock. 1981. Minjung Theology; people as the subjects of history. Singapore: The Commission on Theological Concerns.
  • Scott W. Sunquist, 2001. A Dictionary of Asian Christianity. Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company.

Armand IS