Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | MOH RISQI F R null
Situasi ruang sidang rapat paripura di Gedung DPR RI, Selasa (24/9). (Suara.com/Novian).

Sistem demokrasi menganut prinsip kebebasan, siapa saja bisa menjadi pemimpin dan berada di lingkungan parlemen atau menjadi eksekutif. Selagi memiliki suara rakyat, tanpa melihat laki-laki atau perempuan, maka bisa menjadi pemimpin dan duduk di parlemen.

Namun, terkadang perempuan enggan maju dalam kontestasi politik di Indonesia. Ketika jumlahnya dalam legislatif sedikit, maka keterwakilan dan pemikiran dari perspektif perempuan justru akan hilang. Ketika laki-laki mendominasi di dalam legislatif, maka kemungkinan besar akan timbul sebuah sistem sosial yang disebut patriarki.

Di dalam buku Ade Irma Sakina, Dessy Hasanah Siti A. (2017). "Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia", disebutkan bahwa Patriarki berasal dari kata patriarkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya.

Sementara dalam buku Bressler, Charles E, "Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice 4th-ed" juga disebutkan bahwasannya patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominas dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.

Sistem patriarki dalam dunia politik bisa saja terbentuk. Pasalnya, dalam sistem demokrasi rakyat lah yang menjadi penentu. Oleh sebab itu, perlu mengutamakan demokrasi dalam setiap mengambil keputusan. 

Dalam menjalakan sistem pemerintahan di suatu negara demokrasi, maka harus mewakilkan keterlibatan perempuan dan menyerap aspirasi dari seluruh aspek masyarakat. Sebab pada dasarnya, aspirasi yang disampaikan merupakan sebuah kebutuhan yang diharapkan rakyat kepada pemerintah, demi kebaikan serta kemajuan bersama.

Pemerintah sebagai pengambil keputusan negara harus memperhatikan berbagai aspek masyarakat dan tidak boleh memihak. Di dalam sistem demokrasi Indonesia, suara rakyat diwakilkan oleh anggota legislatif atau anggota DPR.

Jika di dalam anggota legislatif keterlibatan perempuan masih kurang, maka bagaimana bisa suara dari kaum wanita bisa terwakilkan. Jika terjadi hal itu. maka sistem patriarki akan terbentuk.

Budaya patriarki ini harus dihilangkan dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam dunia politik. Sebab pada dasarnya, semua orang berhak untuk mendapatkan kesempatan dan jabatan dalam kontestasi politik, tanpa adanya legitimasi bahwasannya yang berhak untuk hal tersebut hanyalah laki-laki.

Keterlibatan perempuan dalam bidang politik harus diperjuangkan, agar nantinya mampu mengimplementasikan kemampuan yang dimiliki dalam bidang politik. Tujuannya agar nantinya terbentuk keseteraan gender dalam demokrasi.

Indonesia telah lama mengesahkan Undang-Undang terkait dengan Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan. Tepatnya dalam UU No. 68 Tahun 1958. UU tersebut mengatur terkait perwujudan kesamaan kedudukan atau non diskriminasi jaminan, persamaan hak memilih dan dipilih, jaminan partisipasi dalam perumusan kebijakan, kesempatan menempati posisi jabatan birokrasi, dan jaminan partisipasi dalam organisasi sosial politik.

Landasan yang kuat juga ada dalam UUD 1945 yaitu pasal 28 H Ayat (2) yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Ketentuan dalam UU maupun dalam UUD tersebut menjadi sebuah landasan yang kuat bagi semua kalangan dan golongan, baik laki-laki maupun perempuan, bebas dari segala diskriminasi, serta memiliki kesempatan yang sama baik dari segi aspek sosial, kehidupan, maupun politik.

Jika dilihat dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan: Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.

Juga di dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Pasal 6 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa: Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)”.

Namun pada faktanya, jika dilihat data di Komisi Pemilihan Umum, berdasarkan hasil pemilu tahun 2019, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional atau DPR RI berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI. Artinya amanat dari UU tersebut belum juga terpenuhi.

Keterwakilan perempuan di DPR harus diiringi dengan sebuah pengawalan dan perjuangan, berporos pada gender yang bisa berkelanjutan sama proses politik. Kurangnya kepercayaan dalam diri perempuan untuk bisa maju dan berpartisipasi dalam dunia politik, karena masih dipengaruhi oleh norma budaya dan masih melekatnya sistem budaya patriarki dalam kehidupan masyarakat.

Meskipun negara telah memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negaranya melalui amanat Undang-Undang, tetapi kaum perempuan merasa adanya sebuah diskriminasi secara tidak langsung yang mempengaruhinya. Mereka juga masih kurang dipercayai untuk bisa ikut ambil dalam kontestasi politik, sehingga menyebabkan keterlibatan perempuan masih rendah.

Kaum perempuan diharapkan bisa dipercaya dan diberi kesempatan untuk bisa duduk di legislatif, sehingga nantinya bisa tercipta sebuah sistem yang seimbang. Perempuan yang memiliki sifat lemah lembut harus diberi kesempatan yang sama dalam politik dan diberi kesempatan untuk menjabat serta menduduki posisi strategis di dalam bidang politik.

Hal itu agar nantinya bisa mengeksplorasi dan mengimplementasikan kemampuan maupun karakter dari perempuan itu sendiri. Dengan begitu, nantinya melalui kepemimpinan, perempuan bisa mensejahterahkan masyarakat melalui caranya.

*Moh. Risqi Fadjar Romadhani-Mahasiswa Fakultas Hukum, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang.

MOH RISQI F R null