Standar kecantikan kerap kali menjadi pengekang bagi perempuan. Banyak sekali tuntutan yang diberikan kepada perempuan untuk dianggap cantik oleh masyarakat. Tuntutan tersebut banyak sekali jumlahnya, dari harus memiliki kulit yang putih, badan langsing, rambut lurus, hingga kulit tiada cacat sekalipun. Tuntutan ini menjadi beban berat yang dikonstruksikan oleh masyarakat kepada perempuan.
Tanpa kita sadari, konstruksi standar kecantikan yang dijunjung oleh masyarakat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang dibawa oleh kolonialisme, khususnya di dunia ketiga. Superioritas bangsa kulit putih dari Eropa mendominasi dunia ketiga dan dunia timur, sekaligus mempengaruhi nilai kecantikan di masyarakat. Bagi mereka, proyeksi kecantikan diberikan kepada orang yang memiliki kulit terang dan tanpa noda.
Neokolonialisme peradaban Barat melalui industri dan media
Kolonialisme "gaya lama" berubah menjadi kolonialisme "gaya baru", atau sering disebut dengan neokolonialisme. Peradaban Barat kini tidak lagi memperlakukan perbudakan secara terang-terangan dan memonopoli dagang, melainkan memberikan pengaruh kapitalisme terhadap dunia ketiga yakni negara-negara berkembang. Mereka menguasai industri dan perekonomian global, termasuk industri kecantikan dan media massa.
Kedua hal ini erat kaitannya. Media massa kerap menampilkan selebriti berkulit terang sebagai wujud dari kecantikan yang hakiki. Sementara industri kecantikan kerap mengiklankan produk-produk kecantikan yang menjanjikan pemakainya untuk bisa mencapai standar, sebagaimana ditampilkan di media massa.
Hal ini sangat kentara dalam bagaimana negara-negara di Asia Timur seperti Jepang dan Korea mengonsepsikan kecantikan bagi perempuan. Kedua negara tersebut mendapatkan pengaruh yang besar dari bangsa Barat terutama pasca Perang Dunia II.
Hadirnya sekutu dari negara-negara Barat untuk menstabilkan politik pascaperang juga turut membawa industri dan pengaruh budaya pop. Hadirnya selebriti yang berkulit putih dan berbadan langsing di layar kaca kedua negara tersebut pada akhirnya mendominasi wacana kecantikan. Bahkan, turut mempengaruhi negara Asia Tenggara seperti Indonesia. Perusahaan-perusahaan kecantikan kerap mengundang selebriti berkulit cerah dan berbadan langsing untuk mengiklankan produk mereka ke negara-negara di Asia Tenggara.
Mengenal Istilah dekolonisasi
Istilah dekolonisasi merujuk pada upaya untuk menghapuskan segala unsur kolonialisme gaya lama maupun gaya baru. Upaya ini dilakukan dengan mengembalikan nilai-nilai asli dari negara bekas jajahan, tidak terkecuali nilai kecantikan. Pengembalian nilai-nilai tersebut ke publik dapat berupa edukasi dan pengenalan kembali unsur tradisional dan nilai-nilai yang semula dijunjung oleh masyarakat di negara bekas jajahan.
Wacana dan kampanye mendobrak standar kecantikan
Dekolonisasi dalam standar kecantikan sejatinya dilakukan dengan wacana mengenalkan kembali nilai kecantikan yang tradisional. Bentuk wacana tersebut dilakukan dalam bentuk kampanye yang menyerukan standar kecantikan yang lebih adil dan otentik sesuai dengan budaya lokal. Contoh konkretnya, dalam konteks masyarakat Indonesia, banyak sekali seruan seperti "cantik tidak harus putih" yang sering diutarakan oleh berbagai aktivis selebriti yang menggeluti aktivisme sosial.
Banyak sekali selebriti yang turut menyerukan wacana standar kecantikan yang lebih otentik dan merakyat. Salah satu contohnya bisa diambil sosok Tara Basro yang gemar menyerukan body positivity dan menolak standar kecantikan yang mengharuskan perempuan Indonesia untuk berkulit putih, berambut lurus, dan bertubuh langsing.
Artis keturunan Lampung dan Bugis tersebut rajin mengunggah foto dengan caption yang membanggakan tubuh berwarna gelapnya, sebagai upaya melawan konstruksi kecantikan yang sempit.
Upaya seperti yang dilakukan Tara Basro tersebut adalah salah satu wujud dari dekolonisasi kecantikan dan mengembalikan standar kecantikan perempuan yang tradisional dan otentik sesuai dengan bangsa Indonesia.
Wacana seperti ini telah memberikan kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk kembali lagi memperoleh status cantik yang merupakan hak mereka. Ke depannya, gerakan ini akan selalu berkembang dan pada akhirnya menghapus standar kecantikan yang tidak adil.
Tag
Baca Juga
-
Tips Ngabuburit dari Buya Yahya: Menunggu Berbuka tanpa Kehilangan Pahala Puasa
-
Mengenal Orang Tua Alyssa Daguise: Calon Besan Ahmad Dhani Ternyata Bukan Sosok Sembarangan
-
Profil Hestia Faruk: Tante Thariq yang Dahulu Sempat Dikenalkan ke Fuji
-
Menentukan Monster Sesungguhnya dalam Serial Kingdom: Manusia atau Zombie?
-
5 Langkah Awal Memulai Karier sebagai Desainer Grafis, Mulailah dari Freelance!
Artikel Terkait
Kolom
-
Grup 'Fantasi Sedarah', Alarm Bahaya Penyimpangan Seksual di Dunia Digital
-
Memperkuat Fondasi Bangsa: Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia
-
Menakar Ulang Peran Militer dalam Demokrasi Pascareformasi
-
Perjuangan Buruh Perempuan di Tengah Ruang Kerja Tak Setara
-
Fenomena Unpopular Opinion: Ajang Ujaran Kebencian di Balik Akun Anonim
Terkini
-
Venezia Terpeleset, Jay Idzes dan Kolega Harus Padukan Kekuatan, Doa dan Keajaiban
-
Ponsel Honor 400 Bakal Rilis Akhir Mei 2025, Usung Kamera 200 MP dan Teknologi AI
-
Gua Batu Hapu, Wisata Anti-Mainstream di Tapin
-
Jadi Kiper Tertua di Timnas, Emil Audero Masih Bisa Jadi Amunisi Jangka Panjang Indonesia
-
Realme Neo 7 Turbo Siap Meluncur Bulan Ini, Tampilan Lebih Fresh dan Bawa Chipset Dimensity 9400e