Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Aji Putra Perdana
Gambaran wilayah perkotaan - Pemerintah Cergas Hadapi Pandemi COVID-19 (Pexels/Tom Fisk)

Seberapa banyak implementasi konsep Kota Cergas atau Smart City, dan kemampuan Pemerintahan Cergas bertahan serta bangkit di tengah pandemi COVID-19? Pertanyaan ini tampaknya menjadi renungan bagi pemerhati kota, geografer, perencana wilayah kota, dan berbagai kalangan lainnya.

Kita dapat melihat dari kenyataan bahwa situasi pandemi COVID-19 telah memantik percepatan penggunaan teknologi digital, terutama di Kota Cergas. Mulai dari pemetaan, hingga pemantauan mobilitas penduduk, semua bisa dilihat dari kacamata teknologi.

Di sisi lain, tata kelola pemerintahan saat ini, yang mengusung konsep Agile Governance atau pemerintahan cergas, tentunya membuka peluang dan tantangan tersendiri. Sektor pemerintahan dituntut untuk lebih cergas, tangkas, dan cepat. Hal ini menjadi salah satu prinsip dari reformasi birokrasi. Akan ada upaya penyederhanaan birokrasi pelayanan publik agar lebih efektif dan efisien.

Bahkan, kebijakan menghadapi pandemi COVID-19 dan optimalisasi teknologi informasi benar-benar diuji. Kebijakan publik yang kerap memantik kontroversi pun langsung mendapat respons balik dan cepat. Salah satunya melalui media sosial, diketahui apa-apa jadi cepat viral. Benarkah pengambilan kebijakan benar-benar berbasis pada pengetahuan dan data-driven based policy, serta tata kelola pemerintahan yang cergas?

Nah, kita tilik ke masa sebelum pandemi COVID-19. Sejumlah konsep Kota Cergas cenderung menitikberatkan pada upaya pemerintah dalam keterbukaan informasi, transparansi, dan pemanfaatan infrastruktur digital, untuk efisiensi maupun efektifitas tata kelola kinerja pemerintahan. Pintu masukan dari masyarakat melalui berbagai platform digital pun mulai dibuka.

Di tengah pandemi COVID-19, maka pemanfaatan Internet of Things (IoT), big data, kecerdasan buatan, hingga penguatan partisipasi masyarakat dalam membangun Kota Cergas, tak lagi sekadar konseptual dan penerapan yang parsial. Pandemi COVID-19 disadari ataupun tidak, dianggap berhasil memaksa pemerintah untuk mengelaborasikan teknologi dan partisipasi masyarakat secara kolaboratif.

Seorang kawan dalam sebuah Seminar Informasi Geospasial menyampaikan bahwa DKI Jakarta merupakan salah satu Kota Cergas di Indonesia yang mampu mengelaborasikan konsep Kota Cergas dengan Informasi Geospasial, dalam menghadapi pandemi COVID-19. Indikasi yang digunakannya adalah keberadaan situs web Jakarta Open Data sebagai portal data terbuka milik pemerintahan.

Melalui portal tersebutlah, kita dapat menelusuri berbagai topik terkait, yang terkini tentunya berkaitan dengan COVID-19 dan Kesehatan. Selain tentunya dapat dipantau langsung via situs web corona.jakarta.go.id. Keberadaan portal satu data tersebut dianggap sebagai bagian dari integrasi Kota Cergas dan Informasi Geospasial.

Lalu, saya bertanya saat waktu diskusi tiba, "adakah selain DKI Jakarta yang mampu dijadikan penelitian terkait implementasi integrasi konsep Kota Cergas dan Informasi Geospasial?"

Kawan saya tersebut mengutarakan bahwa kompleksitas DKI Jakarta dan keterikatan warganya terhadap teknologi masih relatif tinggi dibanding kota-kota lain di Jawa maupun Luar Jawa.

Ditambah permasalahan lingkungan DKI Jakarta yang sangat kompleks, dari mulai kemacetan, polusi, kualitas air, banjir, kesenjangan ekonomi, dan sebagainya, menjadi tantangan dalam menilai seberapa cepat tanggapnya DKI Jakarta merespons hal tersebut.

Salah satu tantangan saat ini, di tengah berita kehadiran La Nina adalah bagaimana DKI Jakarta sebagai Kota Cergas mampu bertahan, bangkit, dan tumbuh menghadapi ancaman bencana hidrometeorologi. Belum lagi di tengah situasi pandemi COVID-19 yang masih berpotensi adanya lonjakan sewaktu-waktu.

Diskusi tersebut mengingatkan saya pada salah satu tulisan yang pernah dibahas bersama istri saat mengerjakan tugas kuliah. Sebuah tulisan karya Klein, dkk (2017). Gambar yang masih saya ingat adalah dashbor dan sistem integrasi kewilayahan, hasil dari impelementasi cognivitve computing yang mengoptimalkan big data dalam pengambilan kebijakan.

Kesiapsiagaan menghadapi bencana hidrometeorologi di tengah pandemi COVID-19 mestinya dapat dipantau dalam satu dasbor peta. Gunanya untuk acuan pengambilan kebijakan. Sebagaimana kita ketahui bahwa pandemi COVID-19 telah melahirkan euforia penggunaan dasbor peta dan aplikasi mobile untuk pelacakan mobilitas penduduk.

Contoh dasbor peta dapat kita lihat di situs web Satgas COVID-19. Kemudian, contoh aplikasi mobile yaitu tracetogether di Singapura dan pedulilindungi di Indonesia. Teknologi data-driven, big data, dan sensor pada gawai tentunya menjadi jembatan bagi Pemerintah untuk menjadi lebih cergas dalam pengambilan kebijakan.

Jika DKI Jakarta dinilai sebagai satu-satunya kota yang mempunyai kompleksitas tinggi dan sumber daya Kota Cergas, maka semestinya pemerintahnya dapat bersinergi dengan berbagai pihak untuk bangkit serta tumbuh bersama hadapi bencana alam maupun non-alam.

Jika mencermati Daerah Aliran Sungai yang melintasinya, serta morfologi perkotaannya, maka DKI Jakarta menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dari Megapolitan Jabodetabekpunjur. DKI Jakarta diharapkan dapat menjadi percontohan sebagai kota responsif yang memiliki daya lenting tinggi untuk bangkit dan tumbuh di tengah pandemi COVID-19.

Melalui kebijakan berbasis pengetahuan dan analisis data-driven, serta dilengkapi partisipasi aktif masyarakat, diharapkan mampu menjadi kunci perwujudan integrasi kebijakan top-down dan bottom-up dalam merespons permasalahan.

Selain itu, saya yakin sejumlah kota lainnya seperti Kota Bandung, Kota Medan, dan Kota Makassar sebagai kota-kota yang masuk ke pemeringkatan dunia terkait Kota Cergas, sedang berupaya bangkit juga.

Saya melihat bahwa daya lenting Kota Cergas dan sistem pemerintahan yang cergas sedang diuji di tengah pandemi COVID-19. Problematika pelik yang kini dihadapi adalah peningkatan literasi digital melawan berbagai misinformasi disinformasi dan malinformasi.

Oleh karena itu, upaya edukasi teknologi melalui kolaborasi pentahelix yang melibatkan akademisi, sektor bisnis, komunitas, pemerintah, dan media, diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Langkah tersebut menjadi bagian dari daya lenting kota yang diperkuat dengan dukungan tata kelola pemerintahan yang cergas.

Oleh karena itu, besar harapan bahwa pemerintah pusat dan daerah sebagai regulator maupun fasilitator wilayah perlu makin bersinergi. Kolaborasi pemerintah dengan perguruan tinggi, praktisi, pelaku usaha, komunitas masyarakat, dan media, diharapkan dapat memulihkan perekonomian bangsa dengan melenting dan tumbuh bersama.

*Aji Putra Perdana Ph.D. Candidate Geo-Information Processing di Faculty of Geo-information Science and Earth Observation, University of Twente

Aji Putra Perdana