Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Fathorrozi Ledokombo
Ilustrasi mengunjungi kuburan (Unsplash)

Selepas meninggalnya salah satu warga desa sebelah yang dikenal terpandang dengan gelimang harta serta kewibawaan yang dibangun dengan kekayaannya, saya mendapat ilmu baru dari percakapan kakek kurus berkumis putih dan pelayat tambun yang di kopyah putih bagian kirinya terdapat sisa tanah kuburan. Barangkali jejak saksi saat menggali kubur tadi yang masih membekas. Keduanya berjalan beriringan. Saya menyimak di belakang mereka.

“Ustaz Mahmud tadi benar beri pengumuman di toa masjid,” kakek membuka pembicaraan.

“Kenapa begitu?” tanya laki-laki gendut di sampingnya.

“Haji Dulgani yang meninggal barusan memang betul-betul meninggal dunia. Dunia yang dimilikinya benar-benar berlimpah. Mobil terbarunya saja empat. Bulan kemarin membelikan mobil mewah untuk menantunya sebagai ucapan selamat ulang tahun. Sawahnya luas tertebaran. Belum lagi kebun kopi dan gudang tembakau yang dipasrahkan kepada anak-anaknya. Dan banyak lagi kekayaan lainnya. Tapi sayang, sekarang ia telah meninggal dunia. Meninggalkan dunianya.”

“Jadi, kalau yang meninggal itu orang kaya disebut meninggal dunia?”

“Iya, benar. Sementara jika yang meninggal orang tak punya apa-apa, berarti meninggal usia (tutup usia). Memang ada perbedaan. Yang ngasih pengumuman harus mafhum soal itu agar anak keturunannya tidak resah.”

“Kenapa bisa membuat resah?”

“Ya resah, jika kematiannya diumumkan sama kayak orang tak berharta. Prestise keluarga yang selama ini dipertahankan bisa jeblok.”

Demikianlah inti kisah di pagi yang muram itu.

Kisah di atas menyodorkan ‘pencerahan baru’ bagi penulis. Bahwa untuk mengumumkan perihal kematian harus tengok dulu kondisi harta kekayaannya. Jika kaya, disebut meninggal dunia. Tetapi, jika dari golongan papa, diumumkan meninggal usia atau tutup usia.

Perbedaan ini barangkali hanya berlaku di desa tersebut, atau hanya urun istilah dari kakek berkumis putih itu. Wallahu a’lam. Namun, benang merahnya adalah sekalipun betapa hartanya bertumpah ruah, jika meninggal dunia, maka tak secuil pun harta kekayaannya ikut ke dalam kubur. Meski seorang miliuner, tak serupiah pun uangnya menemani ke liang lahat.

Oleh karena itu, orang kaya bertabur uang sekalipun, saat meninggal dunia, kain kafannya tetap tak bersaku. Artinya, tak ada tempat harta benda untuk membersamainya di alam kubur. Ia tak membawa apa-apa selain kain putih yang menutupi tubuhnya. 

Teman Mayit di Alam Kubur

Sebuah hadis dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Yang mengikuti mayit ke kubur ada tiga. Dua akan kembali dan satu tetap bersamanya di kubur. Yang mengikutinya adalah keluarga, harta dan amalnya. Yang kembali adalah keluarga dan hartanya. Sedangkan yang tetap bersamanya di kubur adalah amalnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis yang lain, Rasulullah bersabda, “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, (yaitu) sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa dari anak yang shalih.” (HR. Muslim).

Dua hadis di atas dapat dijadikan bahan renungan bahwa yang menemani mayit di liang kubur ialah amal, baik amal dari investasi sedekah jariyah atau amal dari buah ilmunya yang disebar. Amal menemaninya dengan wujud keindahan, wangi semerbak, dan jiwa kedamaian yang berbalut cahaya.

Keutamaan Amal Sedekah

Sedekah harta dan sedekah ilmu, fadilahnya tak hanya dapat dituai saat di dunia. Sebagaimana kita ketahui, keutamaan sedekah tak cuma menolak bala’, melancarkan rezeki, memperpanjang umur, serta menyembuhkan penyakit, namun juga menghapus dosa dan sebagai naungan di hari kiamat kelak.

Yusuf Mansur dalam bukunya, The Miracle of Giving, mengemukakan tentang kehebatan sedekah. Sedekah bisa mendatangkan ampunan Allah, menghapus dosa, dan menutup kesalahan dan keburukan. Sedekah bisa mendatangkan ridha Allah dan bisa mendatangkan kasih sayang dan bantuan Allah. Subhanallah, inilah sekian fadhilah sedekah yang ditawarkan Allah bagi para pelakunya.

Dengan bersedekah, seseorang telah membuktikan kebenaran imannya. Sedekah membimbing pelakunya menjalankan agama dengan benar. Hal ini senada dengan keterangan Ustaz Masykur Arif dalam buku Hidup Berkah dengan Sedekah; sedekah berasal dari shadaqa yang berarti benar atau jujur. Ini tersirat makna bahwa orang yang bersedekah telah menjalankan agama dengan benar atau jujur. Dengan kata lain, sedekah menjadi bukti pembenar bagi keimanan seorang muslim.  

Oleh karena, marilah kita bermunajat kepada Allah. Semoga pintu ilmu, hikmah, taufiq dan hidayah-Nya selalu dibuka untuk kita, sehingga kita bisa beragama dengan baik dan benar, serta menjadi hamba yang mukhlishin, beribadah semata karena Allah Swt. 

Marilah kita bersedekah hanya dengan berharap ridha Allah, bukan niat pamer, minta pujian dan sanjungan orang lain. Kita sadari, para pendahulu kita, jika tangan kanannya memberi, maka tangan kiri tidak tahu. Saking rahasianya. Saking tinggi tingkat keikhlasannya. Sementara kita, ketika tangan kanan memberi, tangan kiri meraih handphone untuk selfi. Astaghfirullah...

Terakhir, renungi filosofi kain kafan yang tak bersaku! Kain kafan tak bersaku menandakan saat mati tak ada harta yang ikut meski selama hidup kita mati-matian mencarinya. Kain kafan tak bersaku mengandung makna kita mati tak bisa bernegosiasi mengemis dispensasi kepada malaikat. Sekian.

Fathorrozi, penulis lepas tinggal di Jember, alumnus Pascasarjana UIN KHAS Jember.

Fathorrozi Ledokombo