Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Natalia Kristiani
Ilustrasi kekerasan seksual (freepik.com)

Beberapa minggu yang lalu tepatnya 2 Desember 2021, ada sebuah film yang diangkat dari buku dan membuat saya tertarik untuk membahasnya. Buku tersebut karya Eka Kurniawan, berjudul “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” dan berhasil difilmkan, dengan disutradarai oleh Edwin. 

Garis besar dari film dan buku ini terletak pada "burung" Ajo Kawir (pemeran laki-laki) yang tidak bisa "berdiri” akibat trauma masa lalu yang dialaminya. Akhirnya, Ajo Kawir bertemu dengan Iteung (pemeran perempuan), yang juga memiliki trauma masa lalu akibat pelecehan seksual yang dilakukan gurunya. Kejadian naas tersebut membuat Iteung haus akan hubungan seksual.

Saya sendiri ketika membaca dan menonton filmnya menggaris bawahi tentang Iteung yang mempunyai trauma. Meskipun diceritakan dalam bukunya bahwa Iteung menyenangi hal yang telah dilakukan oleh gurunya, nyatanya ketika dewasa hal tersebut menjadi hal yang tidak menyenangkan baginya. Iteung secara tidak langsung mempunyai amarah yang terpendam dalam dirinya, dan akhirnya ia keluarkan dalam bentuk berhubungan seksual dengan Budi Baik.

Layaknya Iteung, banyak sekali siswa-siswi, dan juga mahasiswa-mahasiswi yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, mereka mendapatkan pelecehan dan juga kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru ataupun dosen mereka sendiri. 

Kasus kekerasan seksual pun akhir-akhir ini terus mencuat di publik. Belum lama ini ada dosen di Universitas Negeri Jakarta yang melakukan sexting kepada mahasiswinya. Dosen tersebut merayu dan mengirimkan pesan-pesan yang membuat siswi tersebut risih. Di dalam utas mahasiswi yang sudah lulus tersebut, ketika ia tidak menaggapi sexting dosennya, dosen tersebut mengancam akan menyusahkan mahasiswinya untuk lulus. 

Dosen tersebut memakai kekuasaannya untuk memperalat mahasiswi bimbingannya untuk bisa berhubungan seksual dengannya, dari situlah mahasiswinya bisa tunduk dengan aturan yang dibuatnya.

Tidak hanya kasus di UNJ saja, ada juga kasus paling bejat, tempat yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman untuk perempuan tapi malah menjadi neraka. Kasus kekerasan seksual pesantren di Bandung yang dilakukan oleh Ustaz Herry Wirawan. Tampaknya ia sudah tidak pantas untuk menyandang status Ustaz, karena sudah memerkosa 13 santriwatinya.

Hal tersebut terjadi lagi-lagi karena adanya relasi kuasa yang dipegang oleh orang bejat tersebut. Ia menggunakan kekuasaannya untuk memuaskan hasrat seksualnya, serta dalih yang paling parah, ia berjanji untuk membiayai pendidikan santriwati yang telah ia perkosa.

Pendidikan, pengetahuan, dan kekuasaan menjadi sebuah hubungan yang menakutkan. para orang tua menjadi takut untuk menyekolahkan anak-anak mereka, mahasiswa takut untuk mendapat dosen pembimbing skripsi yang mesum, dan akhirnya yang terjadi, Indonesia tidak akan maju karena pendidikan sudah dikuasai oleh orang-orang yang “kotor” pikirannya.

Membicarakan pengetahuan dan kekuasaan, Michel Focault sudah mengkaji hal tersebut. Kekuasaan sendiri menurut Focault sebagai hubungan manipulasi dan bentuk penaklukkan kepada seseorang, layaknya yang dialami para korban santriwati khususnya bahwa mereka dimanipulasi dengan iming-iming dibiayai sekolahnya. 

Selain kekuasaan yang berhubungan dengan kekerasan seksual, pengetahuan seakan-akan dimanipulasi oleh orang yang berkuasa. Pengetahuan akhirnya dibentuk oleh orang yang berkuasa untuk mempengaruhi dan memaksakan kebenaran kepada seseorang, layaknya dosen dan juga Herry yang mereka menggunakan kekayaan intelektualnya untuk memaksakan seseorang mengikuti apa yang diinginkan.

Kekuasaan selalu menyebar di mana-mana, kekuasaan itu akan selalu berhubungan dengan pendidikan. Ketika pendidikan sudah dikuasai oleh orang-orang yang ingin menjaga nama baik institusi, maka disitulah sekolah, kampus, hingga pesantren sekalipun tidak akan menjadi tempat yang nyaman dan aman.

Institusi pendidikan pun akan memilih mana mahasiswa/i yang "baik" dan akan menjaga nama baik kampus serta tutup mulut terhadap kejadian kekerasan seksual yang telah dialami. Jika tidak sesuai dengan kriteria mahasiswa/i "baik" menurut institusi pendidikan, maka mereka akan sulit untuk lulus atau pun susah dalam berkegiatan di sekolah. Akhirnya, para penyintas pun enggan untuk sekolah dan pendidikan pun semacam hal yang menyeramkan bagi mereka.

Pendidikan yang seharusnya membuat orang memanusiakan manusia, pendidikan yang harusnya menjadi alat perubahan di dalam kehidupan, pada akhirnya menjadi momok yang menakutkan, dan seperti lorong gelap yang tidak ada ujungnya. 

Bukan hanya dendam saja yang harus dibayar tuntas, melainkan kekerasan seksual harus dibayar tuntas. Permendikbud adalah salah satu angin segar yang dilakukan oleh Nadiem dalam mengatasi kekerasan seksual di sekolah. Pemerintah perlu secepatnya men-sahkan Permendikbud No 30 tahun 2021 dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Dari adanya peran pemerintah dalam kebijakan, setidaknya mengurangi korban-korban kekerasan seksual lainnya seperti Iteung, mahasiswi di UNJ, serta santriwati yang ada di pesantren Bandung. 

Mari kita ciptakan dunia pendidikan sebagai ruang aman dan nyaman untuk belajar tanpa kekerasn seksual! Kami bersama korban!

Natalia Kristiani Maru’ao - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNJ 2019

Natalia Kristiani