Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Muhammad Adib Rafi'i
Gedung Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Sabtu (12/3/2016). [Suara.com/Adhitya Himawan]

Sebagai garda terdepan pembangunan dalam urusan edukasi dan kultural, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah mengalami sejumlah pengembangan organisasional dalam rangka untuk mengikuti perkembangan revolusi 4.0 yang bersifat VUCA. Namun, untuk melakukan pengubahan yang berskala pengorganisasian dalam tubuh Kemendikbud ini bukan datang atas perintah Menteri. Arahan tersebut datang berdasarkan inisiatif Presiden yang ingin mengubah pengorganisasian kedua instansi tersebut agar dua tupoksi kelembagaan ini bisa ditangani oleh satu lembaga. 

Sebelum memasuki tahun 2021, Jokowi telah melakukan dua kali perubahan secara kelembagaan dari Kemendikbud. Dimulai dari tahun 2015 melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 14 Tahun 2015 saat Kemendikbud dilepaskan dari tanggung jawab terkait urusan Perguruan Tinggi dan dialihkan kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Kemudian pada tahun 2019 sebagaimana tertuang dalam Perpres No. 82 Tahun 2019, Presiden mengembalikan wewenang urusan Pendidikan Tinggi kepada Kemendikbud.

Sementara, Presiden membentuk satu organisasi riset yang dibuat atas peleburan 4 organisasi riset terdahulu, dikepalai oleh Menteri Riset dan Teknologi. Lembaga ini disebut sebagai Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN). Mengubah nomenklatur Kemenristek menjadi Kemenristek/BRIN. Sampai akhirnya pada bulan Juli 2021 silam, Presiden memutuskan untuk meleburkan Kemenristek dengan Kemendikbud melalui Perpres No. 62 Tahun 2021.

Signifikansi dari Perpres ini adalah penghapusan dari kelembagaan Kemenristek yang kini dibawah Kemendikbud dan pemisahaan antara Menteri Riset dan Teknologi dengan Kepala BRIN. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perubahan organisasi dalam hal formasi organisasi. Tentu saja kedua instansi tersebut mengalami proses konsolidasi yang berlanjut selama jangka waktu yang tentatif dari rilis Perpres tersebut. Namun, hal tersebut menimbulkan kecenderungan untuk resisten. Lantas, pertanyaannya adalah bagaimana Kemendikbud-Ristek bisa menunjang segala proses pada masa transisi?

Untuk mengetahui terlebih dahulu bagaimana upaya Kemendikbud-Ristek dalam melakukan pengembangan, perlu diketahui dulu bahwa kriteria sebuah organisasi yang melakukan pengembangan adalah organisasi yang merancang rencana untuk berskala organisasi (organization-wide), direncanakan oleh seorang atau sekumpul aktor pada top management, untuk meningkatkan efektivitas dan menjaga kelayakan organisasi, yang dicapai dengan cara mengintervensi kegiatan organisasi secara terencana menggunakan ilmu pengetahuan yang relevan (Beckhard, 2006).

Menurut Cummings & Worley (2008), pengembangan organisasi dibutuhkan untuk mengembangkan, meningkatkan, dan memperkuat strategi, struktur, dan proses. Bagian terakhir dari definisi menyatakan bahwa pengembangan organisasi berlaku untuk perubahan dalam strategi, struktur, dan proses. Hal tersebut menyiratkan pendekatan sistem, di mana terdapat fokus pada keseluruhan sistem organisasi.

Di dalam proses pengembangan organisasi, tentunya selalu diiringi oleh perubahan. Namun, sejatinya perubahan akan selalu diikuti dengan dua sumber kekuatan yang saling tarik-menarik. Kurt Lewin (dalam Cummings & Worley, 2008), berpandangan bahwa terdapat tiga tahapan untuk mengelola perubahan, mulai dari tahap unfreezing, changing, dan refreezing.

Lewin menjelaskan bahwa terdapat dua faktor yang mendorong kecepatan kapasitas organisasi dalam melakukan unfreezing. Pertama, pengaruh yang mencoba untuk mengubah keadaan (moving away from the status quo). Kedua, pengaruh yang menghambat pergerakan (forces that hinder move). Keduanya terjadi secara simultan dan ditentukan berdasarkan faktor psikologis individu yang terbentuk sebagai fenomena yang ada pada suatu organisasi. 

Dalam hal ini, dorongan atas pengembangan organisasi datang dari visi Jokowi untuk mendorong Reformasi Birokrasi pada instansi-instansi Pemerintahan, yang salah satunya diterapkan dengan melakukan perampingan pada Kementerian/Lembaga. Kedua, untuk menepati kondisi UU No. 39 Tahun 2008 pasal 14 yang membatasi kuota Kementerian sebanyak 34.

Keinginan Jokowi untuk menghidupkan kembali Kementerian Investasi dalam rangka mengupayakan visi percepatan investasi. Hal ini mendorong Istana untuk meleburkan kedua lembaga tersebut sebagai syarat administratif untuk dapat memuat Kementerian baru yang diusung. Kemudian, dukungan parlementer yang terlihat dengan tanggapan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas usulan Surat Presiden Nomor R-14/Pres/03/2021 terkait peleburan kedua instansi yang kemudian disetujui pada Rapat Paripurna 9 April 2021. 

Namun, faktor penghambat atas pengembangan organisasi pada instansi tersebut disebabkan mulai dari; Pertama, butuh waktu dan sumber daya untuk mengkonsolidasikan kedua entitas tersebut. Pada Perpres No. 62 Tahun 2021, secara jelas tercantum kalau urusan riset dan teknologi kini berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (yang sudah dikoordinasikan oleh Kemendikbud sejak 2019).

Masalahnya, dalam struktur organisasi Kemenristek/BRIN yang terdahulu, terdapat Unit Eselon I yang serupa dengan struktur Kemendikbudristek, dalam hal ini adalah Sekretariat Jenderal. Kesamaan ini membuat Menristekdikbud untuk perlu memikirkan kembali bagaimana proses konsolidasi antar kedua lembaga dan bagaimana bisa memberikan win-win solution kepada pejabat di jajaran Kemenristek/BRIN agar tidak merasa di non-job setelah dileburkan yang tentunya dapat menimbulkan konflik lebih lanjut.

Kedua, peleburan kedua instansi justru dapat menyebabkan ambiguitas peran. Sebelum menjadi kesatuan entitas kembali, Kemendikbud dan Kemenristek dipisah pada Periode I dengan harapan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan kualitas riset di Indonesia. Namun, faktanya justru menyakitkan, melihat laporan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menemukan hanya 43,74% dari total anggaran riset yang benar-benar digunakan untuk kegiatan penelitian.

Pemborosan ini juga yang membuat RI I murka, dan membentuk BRIN untuk menyatukan tujuh (7) organisasi riset di bawah satu payung lembaga terpadu, yang mana menurut Perpres No. 74 Tahun 2019 dipimpin oleh Kemenristek. Namun, Presiden memutuskan untuk memisah Kemenristek (di bawah Kemendikbud) dengan BRIN yang menyebabkan kesimpangsiuran bagaimana koordinasi terhadap pengaturan kebijakan penelitian dan pengembangan (litbang) ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang sebelumnya di bawahi satu lembaga Kemenristek/BRIN, kini diatur oleh kedua lembaga yang sekarang terpisah.

Ketiga, peleburan kedua instansi justru akan menurunkan peran riset. Secara administratif, memang peleburan dilakukan untuk memberi ruang bagi Kementerian Investasi. Namun, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) berpendapat bahwa implikasi dari tindakan tersebut dapat mempersempit ruang lingkup riset hanya terbatas pada level pendidikan, dan kurang dapat mengeruk potensi riset. 

Jika dilihat berdasarkan perencanaannya, urgensi untuk meleburkan kedua instansi tersebut tidak didukung dengan urgensi yang signifikan, padahal sebelum melakukan transformasi, Anderson & Anderson (2010) menyarankan alangkah baiknya apabila organisasi perlu menetapkan tujuan yang jelas agar proses perubahannya selanjutnya dapat berjalan lancar, kemudian bagaimana ruang lingkup perubahan yang mencakup nilai-nilai normatif (values) seperti budaya organisasi, perilaku anggota, serta pola pikir anggota dapat dirombak ulang secara signifikan diatas kertas, tetapi belum tentu bisa diterapkan oleh seluruh anggota organisasi.

Anderson & Anderson (2010) juga menjelaskan bahwa masa transisi adalah momen yang ditunjukkan dengan upaya untuk merombak kondisi yang lama untuk menciptakan kondisi baru yang diinginkan, sesuai perencanaan, dan dalam suatu periode tertentu. 

Masa Transisi Kemendikbudristek

Rencana untuk peleburan kembali kedua instansi tersebut sudah diusulkan dari 2019. Hal ini senada dengan salah satu visi Presiden, tentang peningkatan SDM yang dibayangkan Presiden akan berhasil apabila sudah terintegrasi sistem pendidikan dari mendasar hingga pendidikan tinggi. Pada aspek pendidikan sendiri, Kemendikbud-Ristek sudah mulai mendapatkan dukungan masyarakat, terutama pada penyelenggaran Merdeka Belajar untuk peningkatan kapasitas SDM yang mandiri dan juga mendorong keterlibatan siswa/i maupun mahasiswa/i dengan dunia usaha atau industri (DU/DI). Kemudian juga proses sinkronisasi sistem seleksi dari pendidikan menengah menuju pendidikan tinggi yang saat ini sudah dikelola melalui Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) dibawah naungan Kemendikbud-Ristek. 

Penekanan terhadap aspek pengembangan riset, teknologi, dan inovasi yang seharusnya tercatat dalam Renstra Kemendikbud 2020-2024 belum mencakup perincian kebijakan pada litbang di 7 lintas sektor IPTEK yang sebelumnya dibahas dalam Renstra Kemenristek/BRIN. Menandakan belum ada kejelasan antara konsolidasi dari pihak Kemenristekdikbud dengan BRIN. Kemendikbudristek sendiri telah mengklaim bahwa pengorganisasian regulasi dalam bidang riset IPTEK menjadi kewajiban Kemendikbud-Ristek sebagaimana dijelaskan dalam Permendikbud No. 28 Tahun 2021 pasal 154.

Namun, pada Perpres BRIN terbaru, yakni No. 78 Tahun 2021 pasal 20 dinyatakan bahwa tugas perumusan dan penetapan di bidang riset menjadi tanggung jawab BRIN. Hal ini mengimplikasikan bahwa kedua kebijakan dapat berbenturan sehingga langkah yang perlu dilakukan Kemendikbud-Ristek adalah membahas ini dengan Kementerian Pemberdayagunaan dan Aparatur Negara (KemenPAN-RB), serta BRIN untuk mensegmentasi batasan otonomi antara kedua lembaga tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, D., & Anderson, L. S. (2010). Beyond Change Management: How to Achieve Breakthrough Leadership Through Conscious Change Leadership. San Fransisco: Pfeiffer.

Beckhard, R. (2006). What is Organization Development. Dalam J. V. Gallos, & E. H. Schein, Organization Development (hal. 3-12). California: Jossey-Bass.

Cummings, T. G., & Worley, C. G. (2009). Organization Development & Change. Australia: South-Wester.

Muhammad Adib Rafi'i