Pagi-pagi di Jakarta, sebelum matahari mulai mengelupas aspal, roda-roda ekonomi sudah bergerak. Tapi bukan di gedung-gedung tinggi Sudirman atau ruang rapat ber-AC. Justru di pinggir jalan, pasar-pasar tumpah, kaki lima, ojek pangkalan, hingga warung kopi gerobak menjadi saksi betapa sektor informal itu bukan pinggiran ekonomi, tapi jantungnya.
Sebut saja Mang Ujang, penjual gorengan keliling yang mungkin tak pernah mendengar istilah “PDB”, tapi tahu betul bagaimana bertahan hidup saat harga minyak goreng naik.
Ia tak tercatat di statistik APBN, tak dipotret dalam proyeksi makroekonomi, tapi tiap sore, uang dari lapaknya menyekolahkan anaknya, membayar cicilan motor, dan menyambung hidup keluarganya. Jadi kalau ada yang bilang ekonomi informal itu cuman “anomali”, mungkin perlu diajak minum kopi di emperan bersama Mang Ujang.
Sektor informal kini bukan hanya penyangga, tapi arus utama. Bukan karena ia menggantikan yang formal, tapi karena yang formal sering kali gagal hadir.
Di saat dunia terus berbicara tentang ekonomi digital, transformasi industri 4.0, dan unicorn startup, realitas di banyak tempat tetap keras dan sederhana, yaitu orang butuh kerja, bukan jargon. Dan sektor informal-lah yang menyediakan itu.
Ketika Negara Absen, Sektor Informal Hadir
Mari kita akui. Banyak warga bekerja di sektor informal bukan karena pilihan ideologis, tapi karena tidak ada pilihan lain. Negara terlalu sibuk merancang cetak biru ekonomi yang rumit, padahal rakyat cuma butuh peta jalan menuju warung makan berikutnya.
Menurut Khokhlova (2024), sektor informal menyerap tenaga kerja yang tidak mampu menembus sektor formal. Bukan karena mereka bodoh atau malas, tapi karena sistemnya terlalu sempit untuk manusia yang kompleks.
Bayangkan, seseorang harus punya ijazah, pengalaman kerja, sertifikasi pelatihan, dan “relasi”—untuk bisa jadi pegawai. Sementara sektor informal? Modal nekat dan kreativitas sudah cukup untuk mulai jualan.
Fenomena ini bukan hanya di Indonesia. Di Italia, bahkan di tengah negara industri, pekerja informal masih mendominasi dalam sektor rumah tangga, jasa, hingga pertanian kecil. Karena di situlah ada ruang—ruang yang tidak diisi negara, diisi oleh rakyat sendiri.
Jangan salah, sektor informal bukanlah lubang hitam ekonomi. Ia bernapas, berinovasi, dan adaptif. Saat pandemi mengguncang sektor formal, para pelaku informal justru menemukan celah.
Mereka berjualan masker kain, antar barang pakai sepeda, atau jadi penjual makanan online dadakan. Mereka tak butuh stimulus miliaran, cukup tidak digusur dan dikejar-kejar Satpol PP.
Bukan Masalah Legalitas, Tapi Ketimpangan
Kalau setiap diskusi tentang sektor informal ujung-ujungnya soal “mereka tidak bayar pajak”, maka kita sedang melihat pohon, bukan hutannya. Apa gunanya legalitas jika formalitas itu sendiri eksklusif? Apakah sertifikat badan usaha bisa dibeli dengan semangat kerja keras?
Alih-alih memaksa formalisasi seragam, negara seharusnya melihat, "kenapa orang lebih nyaman di luar sistem?". Mungkin karena sistemnya cacat. Mulai dari birokrasi berbelit, pungli, hingga minimnya perlindungan. Kalau membuka usaha secara legal butuh modal besar dan syarat administrasi setumpuk, siapa yang punya waktu dan tenaga?
Menurut Adihartono (2023), sektor informal memberikan penghasilan bagi keluarga miskin dan migran, bahkan menjadi penguat ekonomi rumah tangga. Artinya, ada fungsi kesejahteraan yang tak dipenuhi oleh negara, tapi dijalankan oleh sektor yang sering kali dicibir itu.
Ironisnya, pelaku informal sering dianggap “beban” hanya karena mereka tak tercatat dalam sistem fiskal. Tapi coba kita jujur. Berapa banyak perusahaan besar yang juga lari dari pajak lewat celah hukum, konsultan keuangan, dan offshore account? Kalau sektor informal dianggap “nakal” karena tidak patuh aturan, maka konglomerat cerdik yang menyiasati pajak seharusnya juga disebut “bandit kelas wahid”.
Inovasi Lahir dari Jalanan
Pernah dengar istilah “inovasi grassroots”? Itu bukan istilah dalam seminar mahal, tapi kenyataan yang muncul dari jalanan. Dari penjual makanan dengan sistem pre-order via WhatsApp, tukang ojek yang berubah jadi kurir barang, hingga pengrajin lokal yang mengandalkan Instagram untuk menjangkau pasar luar negeri—semua itu lahir dari sektor informal.
Langry & Rena (2023) mencatat bahwa sektor informal cenderung lebih tahan terhadap guncangan ekonomi makro. Kenapa? Karena mereka lincah. Mereka tidak terpaku pada SOP, tidak terikat kontrak jangka panjang, dan bisa pivot (berubah arah) lebih cepat dari perusahaan besar. Ketika ekonomi formal perlu konsultan untuk berubah strategi, pelaku informal cukup ganti etalase atau posting di TikTok.
Contoh paling nyata adalah pandemi COVID-19. Saat mal tutup dan pabrik merumahkan karyawan, pelaku usaha informal tetap bertahan dengan inovasi sederhana, seperti jualan dari rumah, barter jasa, atau pakai sistem bayarnya nanti kalau gajian. Lihatlah tukang jahit yang menjelma jadi produsen masker, atau penjual jajanan sekolah yang pindah lapak ke marketplace.
Sayangnya, inovasi semacam ini jarang dihargai dalam narasi pembangunan. Padahal di sinilah letak kreativitas yang otentik—tidak dibuat-buat demi proposal proyek, tapi karena kebutuhan hidup. Sektor informal bukan kekurangan ide, mereka hanya kekurangan pengakuan.
Negara Harus Jadi Mitra, Bukan Hakim
Sudah saatnya negara berhenti melihat sektor informal sebagai “anak nakal” yang perlu dihukum atau ditertibkan. Pendekatan legal-formal tidak bisa lagi berdiri sendiri. Kita butuh pendekatan institusional-sosial, yang membangun, memberdayakan, bukan mengadili.
Bayangkan jika negara menjadi mitra, bukan wasit. Infrastruktur dasar seperti akses air bersih, listrik murah, dan internet cepat bisa menjadi insentif alami agar pelaku informal naik kelas. Bukan dengan paksaan, tapi dengan pembuktian bahwa masuk ke sistem memberikan keuntungan riil.
Transformasi haruslah sukarela dan bertahap. Formalitas akan datang sendiri jika para pelaku melihat ada manfaatnya. Bukan hanya untuk dapat izin usaha, tapi untuk tumbuh, berkembang, dan mendapat perlindungan hukum yang layak.
Pemerintah bisa mulai dari hal sederhana, seperti pelatihan usaha berbasis lokal, subsidi modal mikro, atau ruang usaha gratis di lingkungan padat. Tapi jangan berhenti di situ. Ada potensi besar di balik lapak-lapak kecil itu. Jika dikelola dengan visi, ia bisa menjadi tulang punggung ekonomi nasional—bukan semata “tambal sulam” dari kegagalan struktural.
Dan tolong, jangan hanya hadir menjelang pemilu.
Menjemput Masa Depan dari Trotoar
Ekonomi bukan cuma soal angka, tapi soal hidup manusia. Di trotoar-trotoar kota, di sudut pasar, di ruang sempit kos-kosan yang jadi dapur produksi, ada mimpi-mimpi kecil yang sedang bekerja keras. Mereka tidak menunggu janji kampanye atau pidato menteri. Mereka bergerak.
Maka, daripada sibuk mengurusi kelas menengah ke atas yang hobi investasi kripto dan ngopi latte 50 ribu, lebih baik negara serius mengurus pelaku ekonomi informal yang tiap hari bersentuhan langsung dengan masyarakat paling bawah. Di sinilah denyut sesungguhnya ekonomi kita. Bukan di ruang konferensi, tapi di ruang hidup.
Saat kita bicara tentang pertumbuhan inklusif, jangan lupa bahwa inklusi sejati adalah ketika yang kecil, yang tak tercatat, yang dianggap remeh, justru menjadi fokus utama kebijakan. Karena di sanalah letak keadilan ekonomi.
Dan kalau ada yang masih bertanya kenapa ekonomi informal harus diperhatikan, ajak saja mereka jalan-jalan pagi ke pasar tradisional. Lihat siapa yang benar-benar membuat ekonomi berputar. Bukan mereka yang punya gelar, tapi mereka yang punya tekad.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Racikan Kabinet Prabowo 'Tokcer' di Kuartal II 2025, BPS Blak-blakan Soal Data Ekonomi
-
Sulawesi Hingga Jakarta jadi Jawara Pertumbuhan Ekonomi Nasional
-
Ekonomi RI Tumbuh 5,12 Persen, Pemerintah Jadi Mesin Utama Pendorong Pertumbuhan
-
Di Luar Ekspektasi, Pertumbuhan Ekonomi RI Pada Kuartal II 2025 Tembus 5,12 Persen
-
Fenomena Rohana dan Rojali Sampai Kuping Bos OJK
Kolom
-
Abolisi dan Amnesti: Pengampunan Elit dan Biasnya Rasa Keadilan?
-
Siswa dan Media Sosial: Menjadikan Media Sosial Sekutu Bukan Musuh Prestasi
-
Kekerasan di Lingkungan Sekolah: Sudah Darurat?
-
Ketika Kesepian Menjadi Wajah Baru Krisis Sosial
-
Membaca Jadi Lebih Hidup: Dari Komunitas hingga Peran Media Sosial
Terkini
-
BRI Super League: Aji Kusuma Tak Kesulitan Adaptasi dengan Strategi Pelatih
-
BRI Super League: Bali United Terus Evaluasi Diri, Chemistry Belum Matang?
-
Ragnar Oratmangoen dan Cedera Tak Tepat Waktu yang Mengganggu Pengabdiannya bagi Skuat Garuda
-
Soobin TXT Sampaikan Pesan untuk MOA Usai Promosi Album Beautiful Strangers
-
BRI Super League: PSBS Biak Kembali Jadi Tim Musafir, Optimisme Tak Luntur?