Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Rial Roja Saputra
Ilustrasi guru mengajar. (Pixabay/aditiotantra)

Coba kita intip sejenak pemandangan di banyak ruang kelas atau ruang keluarga hari ini. Seorang siswa duduk dengan buku terbuka di hadapannya, namun matanya terpaku pada layar ponsel yang menyala terang. Jempolnya menari lincah, menggulir puluhan video, gambar, dan status dalam hitungan menit.

Bagi banyak orang tua dan guru, ini adalah pemandangan yang memicu alarm bahaya. Media sosial dianggap sebagai monster pencuri waktu, biang keladi turunnya konsentrasi, dan ancaman nyata bagi prestasi akademik.

Namun, di tengah kepanikan ini, mari kita berhenti sejenak dan mengajukan sebuah pertanyaan radikal. Bagaimana jika kita salah melihatnya? Bagaimana jika di dalam lautan distraksi itu, sebenarnya tersembunyi sebuah arena latihan untuk bakat-bakat yang belum kita sadari?

Di Balik Candu Gulir Layar: Ada Ekonomi Perhatian yang Bekerja

Sebelum menyalahkan siswa sebagai generasi yang malas atau tidak bisa fokus, kita perlu memahami medan pertempuran yang mereka hadapi setiap hari.

Media sosial bukanlah produk biasa, ia adalah sebuah mahakarya rekayasa psikologis yang dirancang untuk satu tujuan, yaitu merebut dan menahan perhatian kita selama mungkin. Konsep ini dikenal sebagai ekonomi perhatian.

Ratusan insinyur dan psikolog brilian dibayar mahal untuk membuat setiap notifikasi, setiap warna, dan setiap algoritma terasa begitu personal dan adiktif.

Jadi, ketika seorang siswa sulit lepas dari ponselnya, itu bukan semata-mata karena ia kurang disiplin. Ia sedang berhadapan dengan salah satu teknologi persuasi paling kuat yang pernah diciptakan.

Mengakui hal ini adalah langkah pertama yang penting. Ini menggeser fokus kita dari menyalahkan karakter anak menjadi memahami lingkungan digital yang begitu kuat mencengkeram mereka.

Kurator Konten, Manajer Proyek, dan Pembangun Jaringan: Bakat Tersembunyi di Dunia Maya

Inilah saatnya kita mengubah sudut pandang. Alih-alih hanya melihat aktivitas siswa di media sosial sebagai buang-buang waktu, mari kita coba berikan label profesional pada kegiatan mereka.

Seorang siswa yang mengelola sebuah akun penggemar atau akun dengan tema tertentu secara konsisten sebenarnya sedang berlatih menjadi seorang kurator konten dan manajer merek pribadi. Ia belajar memilih konten yang relevan, menulis keterangan yang menarik, dan berinteraksi dengan audiensnya.

Siswa yang aktif mengorganisir teman-temannya untuk bermain gim daring bersama sebenarnya sedang mengasah kemampuan manajemen proyek dan membangun jaringan. Ia harus mengatur jadwal, membagi peran, dan menyelesaikan konflik.

Bahkan, siswa yang piawai membuat video TikTok yang sedang tren sejatinya sedang belajar tentang produksi video singkat, analisis tren, dan pemasaran viral. Ini adalah bakat-bakat nyata yang sangat relevan dengan dunia kerja modern.

Menjembatani Dua Dunia: Tugas Sekolah yang Berbicara Bahasa Media Sosial

Jika kita sudah mengakui adanya bakat-bakat ini, langkah logis berikutnya adalah menjembatani dunia mereka dengan dunia pendidikan. Melarang media sosial secara total sering kali tidak efektif dan hanya akan membuat siswa semakin menjauh.

Ide baru yang lebih konstruktif adalah mengintegrasikannya ke dalam proses belajar. Bayangkan jika tugas meringkas buku tidak lagi dalam bentuk tulisan tangan yang panjang, tetapi dalam format video ulasan singkat ala BookTok.

Bayangkan jika tugas pelajaran Sejarah adalah membuat sebuah utas di media sosial seolah-olah mereka adalah seorang tokoh sejarah yang menceritakan peristiwanya secara langsung.

Pelajaran sains bisa menjadi proyek membuat video pendek untuk membantah hoaks kesehatan yang beredar di grup keluarga. Dengan cara ini, kita tidak hanya membuat pembelajaran menjadi lebih relevan dan menarik, tetapi juga secara sadar mengasah keterampilan digital mereka dalam kerangka akademis yang terstruktur.

Guru sebagai Navigator, Bukan Sekadar Polisi Digital

Perubahan pendekatan ini tentu menuntut evolusi peran seorang guru. Peran guru sebagai polisi digital yang tugasnya hanya merazia ponsel dan memblokir situs web sudah tidak lagi memadai. Di tengah lautan informasi dan interaksi yang kompleks ini, siswa tidak butuh polisi, mereka butuh seorang navigator yang berpengalaman.

Guru masa kini memiliki tugas krusial untuk membimbing siswa dalam menavigasi dunia maya. Ini berarti mengajarkan mereka tentang etika digital, cara membedakan informasi yang kredibel dan yang menyesatkan, cara mengelola jejak digital mereka, dan yang terpenting, cara menyeimbangkan kehidupan daring dan luring. Fokusnya bergeser dari sekadar melarang akses menjadi membangun kapasitas berpikir kritis dan resiliensi digital.

Pada akhirnya, perdebatan tentang media sosial sebagai bakat atau ancaman akan menjadi usang. Media sosial adalah sebuah kenyataan, sebuah lingkungan baru tempat siswa kita tumbuh dan bersosialisasi.

Pilihan ada di tangan kita, para pendidik dan orang tua. Apakah kita akan terus melihatnya sebagai musuh yang harus diperangi, atau kita akan mulai melihatnya sebagai sekutu yang potensial, sebuah arena yang jika diarahkan dengan benar, bisa mengubah gulir jempol yang tanpa arah menjadi prestasi jempolan yang membanggakan.

Rial Roja Saputra