Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Rial Roja Saputra
Illustrasi Guru Mengajar. (Pixabay/aditiotantra)

Setiap kali sebuah video perundungan atau kekerasan antar siswa di sekolah menjadi viral, dada kita terasa sesak. Ada campuran amarah, kesedihan, dan ketakutan yang sulit dijelaskan. Kita bertanya-tanya, apa yang salah dengan anak-anak kita? Apa yang salah dengan sekolah kita? Pertanyaan yang paling sering menggema adalah, apakah situasi kekerasan di lingkungan sekolah ini sudah bisa disebut darurat? Jawabannya, dengan tegas, adalah iya. Namun, darurat yang dimaksud bukan hanya soal angka kejadian yang meningkat. Ini adalah darurat tentang kondisi di balik layar yang secara sistematis mengubah lingkungan yang seharusnya aman menjadi sebuah panci presto, tempat tekanan menumpuk hingga akhirnya meledak dalam bentuk kekerasan.

Ketika Prestasi Menjadi Dewa dan Empati Dikesampingkan

Salah satu sumber tekanan terbesar dalam panci presto ini adalah obsesi kita yang berlebihan terhadap prestasi akademik. Dalam sistem pendidikan yang mendewakan peringkat, skor ujian, dan medali olimpiade, pelajaran tentang kemanusiaan sering kali dikesampingkan. Kurikulum hati, yang berisi empati, welas asih, dan cara menyelesaikan konflik, dianggap tidak sepenting rumus matematika atau hafalan tanggal sejarah.

Ketika siswa terus-menerus dikompetisikan satu sama lain untuk memperebutkan gelar juara, mereka secara tidak sadar diajari untuk melihat teman sebayanya bukan sebagai kawan seperjuangan, melainkan sebagai saingan. Iklim hiperkompetitif ini mengikis rasa solidaritas dan menciptakan lahan subur bagi perundungan, di mana siswa yang dianggap lemah atau berbeda menjadi target yang mudah untuk disingkirkan.

Ruang Kosong Emosional: Saat Siswa Tak Punya Saluran untuk Stres

Tekanan akademik yang tinggi, kecemasan akibat media sosial, hingga masalah di rumah adalah uap panas yang terus mengisi panci presto kejiwaan seorang siswa. Masalahnya, banyak sekolah tidak menyediakan katup pelepasan yang aman dan sehat. Ada sebuah ruang kosong emosional yang besar di lingkungan pendidikan kita. Layanan bimbingan konseling sering kali masih dipandang sebelah mata atau hanya diakses ketika masalah sudah terlanjur parah.

Kegiatan ekstrakurikuler pun terkadang menjadi ajang kompetisi lain yang menambah tekanan. Sudah saatnya sekolah secara sadar menciptakan saluran bagi siswa untuk melepaskan beban emosional mereka. Ini bisa berupa program kesadaran penuh atau mindfulness, sesi berbagi dalam kelompok kecil yang aman, atau bahkan sekadar menyediakan lebih banyak waktu bermain yang tidak terstruktur di mana siswa bisa menjadi dirinya sendiri tanpa dinilai.

Lingkaran Setan Penonton: Peran Pasif yang Menguatkan Pelaku

Fokus kita selama ini sering kali hanya tertuju pada pelaku dan korban. Padahal, ada pihak ketiga yang perannya sangat krusial, yaitu para penonton. Sebuah aksi perundungan jarang terjadi di ruang hampa, ia butuh audiens. Inilah yang bisa kita sebut sebagai lingkaran setan penonton. Ketika siswa lain hanya menonton, menertawakan, atau bahkan merekam kejadian dengan ponsel mereka, secara tidak langsung mereka memberikan panggung dan kekuatan kepada si pelaku. Sikap diam mereka adalah bentuk persetujuan.

Oleh karena itu, salah satu ide baru yang paling mendesak untuk diterapkan adalah program yang secara aktif mengubah penonton menjadi pembela. Siswa perlu dilatih cara untuk berani angkat bicara, cara melaporkan dengan aman, dan cara membangun budaya di mana perundungan dianggap sebagai sesuatu yang memalukan, bukan sesuatu yang keren untuk ditonton.

Hukuman Bukan Jawaban, Restorasi Adalah Jalan ke Depan

Respons paling umum terhadap kasus kekerasan adalah hukuman, seperti skorsing atau bahkan pengeluaran dari sekolah. Namun, hukuman sering kali hanya memadamkan api sesaat tanpa pernah menyentuh sumber apinya. Ia bisa menumbuhkan dendam dan tidak memberikan pelajaran yang sesungguhnya. Pendekatan baru yang perlu kita pertimbangkan secara serius adalah keadilan restoratif. Alih-alih hanya menghukum pelaku, pendekatan ini fokus pada proses pemulihan hubungan dan perbaikan atas kerugian yang ditimbulkan.

Ini melibatkan mediasi yang difasilitasi antara pelaku, korban, dan bahkan komunitas sekolah. Pelaku didorong untuk memahami dampak perbuatannya dan bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Tujuannya bukan untuk mengucilkan si anak nakal, tetapi untuk menyembuhkan luka yang ada di dalam komunitas sekolah itu sendiri.

Pada akhirnya, menjawab kondisi darurat ini tidak cukup dengan menambah kamera pengawas atau memperketat aturan. Kita harus berani membongkar sistem panci presto itu sendiri. Kita perlu menurunkan suhunya dengan mengurangi tekanan kompetisi, memasang katup pelepasan emosi yang sehat, memperkuat dindingnya dengan memberdayakan para siswa untuk saling menjaga, dan memiliki mekanisme restorasi untuk memperbaiki setiap keretakan yang terjadi. Ini adalah pekerjaan besar, tetapi jika kita ingin sekolah benar-benar menjadi tempat yang aman untuk bertumbuh, kita tidak punya pilihan lain selain memulainya sekarang.

Rial Roja Saputra