Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Muthmainnah Hadi
Ilustrasi masyarakat perkotaan. (Shutterstock)

Toxic masculinity, mungkin kita sering mendengar dua kata tersebut. Namun, apakah kita tahu arti sebenarnya mengenai hal itu. Semakin banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia, mungkin penggunaan kata toxic masculinity semakin familiar di telinga.

Namun sejatinya, jauh sebelum itu, toxic masculinity memang sudah mengakar sejak lama. Selama lingkungan melanggengkan buadaya patriarki, maka selama itu pula usia toxic masculinity itu ada. Artikel ini dibuat agar kata tersebut digunakan dengan tepat dan bukan untuk menjatuhkan serta memberikan pandangan buruk mengenai pihak lain. 

Sebagai manusia kita ingin memiliki kehidupan yang baik dan aman tanpa gangguan apa pun. Namun, kenyataan yang terjadi terkadang tidak seindah yang kita kira. Sebagai perempuan, tentunya kita ingin ke luar rumah dengan aman tanpa bahaya yang mengincar, menggunakan pakaian yang cantik tanpa takut menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual, serta berteman dengan laki-laki tanpa takut hal buruk terjadi. 

Namun, tahukah kalian bahwa laki-laki mengalami kesulitan yang sama juga?

Nyantanya, toxic masculinity yang mengangungkan peran laki-laki sebagai superior, tak lantas membuat laki-laki terhindar sebagai korban dari toxic masculinity itu sendiri. Sebab, agar diakui secara sosial oleh masyarakat, laki-laki dituntut untuk menunjukkan identitas maskulin setiap harinya, dengan memenuhi ekspektasi gender dan norma-norma tradisional yang telah ditetapkan. Sejak kecil, mereka diajarkan untuk mengambil sikap agresif yang dapat mengakibatkan bahaya bagi fisik, kesehatan mental, dan keselamatannya.

Mereka dibesarkan dengan menyembunyikan dan menekan emosi yang dimiliki, sedangkan yang mengungkapkannya dianggap lemah dan bahkan menjadi bahan olok-olok yang lain. Laki-laki diajarkan bahwa untuk menjadi laki-laki sejati, mereka harus menunjukkan kekuatan dan kontrol emosional yang dimiliki. 

Toxic Masculinity muncul dalam gerakan pria pada tahun 80an yang diciptakan oleh profesor Shepherd Bliss, pengajar psikologi di Universitas John F. Kennedy.  Istilah tersebut diciptakan untuk mendefinisikan sifat maskulinitas militer dan otoriter yang dimiliki ayahnya. Beliau menggunakan istilah medis karena percaya bahwa setiap penyakit pasti memiliki penawarnya. Seiring berkembangnya waktu, pada awal 2000an toxic masculinity berkembang menjadi bahan literatur akademis, dan kebijakan yang lebih luas.

Literatur tersebut mengemukakan bahwa hubungan ayah-anak yang jauh secara emosional menghasilkan toxic masculinity pada laki-laki. Oleh karena itu, anak laki-laki membutuhkan figur ayah yang baik untuk menghindari menjadi pria yang memiliki toxic masculinity. Anak laki-laki membutuhkan pandangan yang tepat mengenai maskulinitas dan hal tersebut tidak dapat diberikan oleh ibu. 

Jadi sebenarnya apa itu toxic masculinity?

Toxic Masculinity adalah sebuah keadaan di mana laki-laki dipaksa untuk bersikap dan berperilaku secara tertentu untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan gender maupun norma agar diterima di lingkungan mereka berada. 

Banyak pendapat mengenai kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh beberapa laki-laki dianggap karena toxic masculinity yang dimilikinya. Menurut diskusi yang dilakukan oleh Raewyn Connel mengenai hegemoni maskulin sebagai area posisi dan praktik-diskursif, kita dapat mengetahui bahwa terdapat laki-laki yang melakukan penolakan mengenai toxic masculinity karena dapat mengurangi kebebasan yang dimilikinya. 

Penyebab utama terjadinya toxic masculinity adalah lingkungan yang buruk dan pola asuh orang tua yang salah. Kita mungkin sering mendengar mengenai pembicaraan laki-laki yang melewati batas, seperti yang diungkapkan pada buku “The Man They Wanted Me To Be” karya Jared Yates, 

  • Saya pernah mendengar laki-laki bercanda mengenai keinginan untuk memerkosa perempuan.
  • Saya pernah mendengar pria menggambarkan pertemuan seksual mereka dengan sangat detail dan memalukan.
  • Saya pernah mendengar pria menggunakan setiap cercaan, makian, rasial atau lainnya, yang dapat anda bayangkan.
  • Saya pernah mendengar pria mengekspresikan keyakinan rasis dan seksis mereka yang paling mendasar, telah mendengar mereka bernafsu kekuatan otoriter, mengatakan mereka akan baik-baik saja menghilangkan semua minoritas, dan sebagainya.

Dari pernyataan tersebut, kita setidaknya mengetahui bagaimana sebenarnya lingkungan yang dimiliki oleh laki-laki, di mana pembicaraan tersebut mungkin dianggap sebagai hal yang wajar dan normal oleh laki-laki. Namun, kenyataannya hal tersebut yang menjadi alasan terjadinya pertumbuhan perilaku toxic masculinity.

Sebab, terbiasa dengan lingkungan seperti itu, mereka tumbuh dengan sifat tidak terbebani oleh hati nurani atau emosi yang lemah. Selain itu, pola asuh orang tua yang pilih kasih dan bersifat otoriter kepada anak laki-laki juga menjadi penyebab terjadinya toxic masculinity

Dari penjelasan di atas, maka kita bisa mengetahui bahwa terlepas dari gender apa pun, semua bisa menjadi pelaku dan korban toxic masculinity itu sendiri. 

Muthmainnah Hadi