Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Mahadir Mohammed
Ilustrasi sedekah. (Pexels.com/Jon Tyson)

Sehabis makan sate di sebuah warung bersama teman-teman kerja, datang seorang wanita paruh baya yang tampak tidak berdaya, "Sedekahnya, Nak." Begitulah kira-kira ucapannya. Saya tidak terlalu ingat pasti. Sembari ia menyodorkan wadah sumbangan, seperti bekas plastik permen, tampaknya.

Teman-teman saya saling pandang, sembari memeriksa isi kantong celana. Ada yang mengeluarkan uang dua ribuan ada juga yang uang lima ribuan. Setelah kami kumpulkan, dengan sigap kami berikan ke wanita paruh baya itu.

"Terimakasih, Nak. Makanlah yang banyak, ya. Saya belum makan dari pagi, tapi masi kuat untuk mencari rezeki. Allah selalu memberikan rezeki kalau kita mau berusaha," dan banyak lagi untaian kata-kata hikmah lainnya.

Di tengah-tengah nasehat keagamaan yang baik dari wanita paruh baya itu,  saya sepontan mau berucap, tapi kawan sebelah saya sepertinya sadar gerak-gerik kalau saya ingin bergumam. Tangannya langsung menyengol saya, ucapan saya menjadi tertahan. Selesai dia memberikan tausiyah-tausyiah baiknya, ia pun beranjak pergi.

Sebenarnya waktu itu ingin sekali saya mengatakan, " Terimakasih, Ya, Bu. Mudah-mudahan Ibu dapat pekerjaan yang layak dan tidak turun lagi ke jalan untuk meminta-minta." Mungkin jika waktu itu terucap terdengar agak sedikit kasar atau kurang ajar, tapi memang dari awal saya menentang orang-orang meminta-minta dengan membawa dalih-dalih agama.

Karena bagi saya pribadi, itu sebuah perbuatan untuk meruntuhkan atau mencoreng entitas agama, yang semula dalih-dalih agama sebagai penggerak dan daya dobrak untuk manusia ke arah yang lebih baik, justru menjadi arah meminta-minta agar orang-orang simpatik.

Entah mengapa, sampai saat ini saya tidak bisa terima, terkhusus bagi orang-orang yang  beragama Islam sendiri. Mungkin karena dari awal saya terlahir dari kultur keluarga yang bisa dikatakan dalam kondisi tidak berpunya, tapi 'meminta-minta' bukanlah jalan yang dicontohkan oleh orang tua.

***

Peristiwa ini membuat saya kembali teringat dulu saat mengenyam pendidikan tinggi di salah satu kampus swasta di Yogyakarta. Kehabisan uang dan tidak adanya makanan di kos, membuat saya sempat numpang kerja jualan es krim. 

Memang gaji dari kerja ini tidak seberapa, tapi setidaknya saya menempuh jalan untuk tidak menadahkan tangan di pinggir-pinggir jalan atau meminta-minta dengan membawa entitas dan dalil-dalih keagamaan.

Termasuk sering saya jumpai, orang-orang yang menggunakan atribut-atribut yang melambangkan agama, seperti pakai peci, baju koko yang biasa untuk pergi kajian, justru digunakan untuk menadahkan tangan dan menebar nasehat-nasehat keagamaan, padahal dalam kondisi meminta-minta. Memang itu tidak salah, mungkin. Namun, saya kira itu kurang tepat. 

Agama ini lahir untuk melakukan perbaikan-perbaikan bagi umat manusia, sebagai energi penggerak yang mencerahkan. Setidaknya jika tidak bisa turun andil di dalamnya, jangan sampai ikut mencoreng nama agama (Islam) itu sendiri.

Dan mayoritas yang saya temui meminta-minta itu adalah umat Islam. Benarlah nasihat guru saya dulu, yang jika tidak salah saya beliau sempat memetik nasehat tersebut dari sebuah buku Syekh Sakib Arsalan. Dengan judul yang sangat mengiris pikiran, “Limadza ta’akhkhara l-muslimuna wa limadza taqaddama ghayruhum?” Mengapa umat Islam jauh tertinggal dari umat-umat yang lain?

Menurut Arslan, beberapa sebab kemunduran Islam itu adalah kebodohan, ilmu yang tanggung, kemalasan, lemahnya semangat berkorban, dan hilangnya etos kerja, dinamisme, kepercayaan diri dan keberanian. Itulah penyebabnya.

Umat Islam, saya yakin memang tidak malas, atau tidak hilang etos kerja, tapi gagal dalam memahami etos kerja. Alhasil etos kerja ditunjukkan dengan cara-cara meminta-minta.

Hal tersebut memang banyak penyebabnya, semua itu berawal dari kurangnya pengetahuan, sehingga membuahkan hasil yang namanya kebodohan. Sehingga kita memang tampil percaya diri dengan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya itu membuat Islam semakin mundur. Seperti yang dijelaskan oleh Syekh Sakib Arslan di awal.

***

Mungkin kita bisa membenarkan perbuatan meminta-minta dengan argumen, "Ah, biar saja, dari pada dia mencuri." Hal itu memang benar. Islam sangat melarang mengekploitasi hak orang lain dengan cara seperti itu. Namun, yang saya takutkan dengan pernyataan seperti itu pula, lalu umat Islam tumbuh dengan tradisi sebagai pengemis. Bukankah Sang Mustafa, telah banyak memberikan teladan, melalui kisah-kisah teladannya terhadap pengemis.  

Sebut saja kisah ketika Baginda melayani pengemis setiap pagi di pasar. Dikisahkan di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi yang buta, setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis buta tersebut.

Dari peristiwa itu, kita melihat bahwa Sang Mustafa mencontohkan cara berbuat baik kepada semua orang dan memandangnya dengan kasih sayang. Berkat keluhuran akhlak, pada akhirnya pengemis buta itu lalu masuk Islam dan mengikuti ajarannya. Tapi jika dilirik dari fakta dan fenomena hari ini, orang-orang menjadi tidak tertarik dengan agama langit ini. Sebab bukan tangan kontribusi yang kita perlihatkan, melainkan tangan-tangan mengemis, kebanyakan.

Saya tahu, banyak faktor yang membuat orang terkadang turun ke jalan lalu menadahkan tangan. Bahkan bisa dikatakan terpaksa, tapi alangkah lebih baiknya memaksa diri untuk bekerja dari pada memaksa diri untuk meminta-minta.

Bukan berarti saya tidak merasa simpati dengan orang-orang yang datang meminta sedikit rezeki untuk sekedar bisa makan, tidak. Saya juga demikian merasa kasihan. Akan tetapi, justru rasa kasihan saya ini tidak ingin melanggengkan perbuatan meminta-minta menjadi sebuah tradisi bagi umat Islam.

Sehingga muncul 'mungkin' disebagian orang-orang yang meminta tadi sebuah pola pikir, meminta itu hasilnya lebih banyak dari pada bekerja yang hasilnya tidak seberapa.

Pola pikir itu yang sejak dari awal saya takutkan menjadi ideologi baru. Segala macam ketimpangan sosial memang tanggungjawab kita bersama, dan mari kita mulai dari diri kita terlebih dahulu untuk memperbaikinya, memulai untuk berjuang menjadi pribadi sebaik-baiknya. Pribadi dalam pengertian tetap berlaku baik kepada sesama, tidak menghardik orang-orang yang meminta-minta. Namun juga tidak menjadi pribadi yang meminta-minta, karena itulah ajaran yang diteladani oleh Sang Baginda. 

***

Walupun harus meminta-minta, bagi saya, ya minta saja, tidak perlu menunjukkan dalih-dalih atau simbol-simbol agama. Karena saya juga menyadari, setiap kita pasti pernah dalam masa sulit yang memaksa kita untuk 'meminta'. Namun jangan memanuflase masa sulit itu dengan simbol-simbol dan dalih-dalih keagamaan agar orang kasian. Hilang dan runtuhlah Islam sebagai agama langit yang energik.

Untuk sang wanita paruh baya dan seluruh kerabatnya. Saya hanya ingin menyampaikan, "konsep rezeki Ibu bagus, tapi coba tunjukkan dengan kerja yang tidak mengharapkan belaskasihan orang-orang saja. Bukankah petuah-petuah agama juga menerangkan, mencari kayu di hutan lebih baik, dari pada meminta-minta?"

Tabik!

Mahadir Mohammed