Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Andreas Ryan Sanjaya
Ilustrasi jurnalisme (Unsplash)

Dunia jurnalistik selalu dipenuhi dengan kejutan. Selalu ada hal baru, seberapapun baik atau buruk, yang ditemui di tengah perjalanan panjang ini. Namun, sejarah juga pasti berulang. Melalui naskah singkat ini, izinkan penulis meringkas titik-titik penting yang perlu didokumentasikan dalam dunia jurnalistik selama 2021.

Sejak awal 2020 lalu, Indonesia menghadapi pandemi Covid-19 yang secara fundamental mengubah nyaris semua sektor. Sebagaimana publik ketahui, dunia jurnalistik punya peranan mahapenting untuk mengawal perkembangan kasus tersebut. Dari sekian banyak peran yang muncul, penulis menyoroti satu bagian penting: jurnalis sebagai ‘makelar pengetahuan’. Penulis meminjam istilah dari artikel berjudul “Journalists as Knowledge Brokers” yang ditulis Gesualdoa, Weberb, & Yanovitzkya (2019).

Artikel karya mereka bertiga ini sangat penting, meski tidak berangkat langsung dari kasus pandemi Covid-19. Riset mereka menunjukkan bahwa jurnalis secara aktif berperan untuk menjadi penghubung antara audiens dengan hasil riset dalam dunia kesehatan, terutama epidemiologi. Hal ini tampak dari maraknya narasumber yang merupakan epidemiolog (atau spesialis lainnya) dalam karya-karya jurnalistik. Publik juga kemudian dibanjiri dengan istilah-istilah medis yang selama ini hanya terdengar santer di laboratorium dan bangsal rumah sakit. Tentu peran ini sungguh menantang karena jurnalis perlu terlebih dahulu memahami konsep-konsep medis ini.

Peran sebagai ‘makelar’ ini menjadi kian menantang ketika jurnalis berupaya juga untuk menyampaikan beragam kebijakan pemerintah terkait Covid-19 ini. Masih hangat di benak publik bagaimana pemerintah berupaya membuat kebijakan untuk menekan penyebaran virus ini dengan beragam judul mulai dari PSBB, PSBB Jawa Bali, PPKM Mikro, Penebalan PPKM Mikro, PPKM Darurat, hingga PPKM Level 3–4. Belum pula ditambah dengan kebijakan vaksinasi gratis dan berbagai macam keraguan yang muncul karenanya.

Ancaman Pers, Ancaman Demokrasi

Sayangnya, di tengah tanggung jawab yang sedemikian besar, dunia jurnalisme nyatanya masih tercoreng dengan berbagai macam bentuk kekerasan yang menimpa para jurnalis. Karena jurnalisme adalah salah satu pilar demokrasi, maka tidak berlebihan bila dikatakan ancaman terhadap jurnalis yang sedang bekerja adalah ancaman terhadap demokrasi itu sendiri. Beberapa hal menonjol di antaranya adalah pemidanaan jurnalis, kekerasan fisik, dan serangan digital.

Pemidanaan jurnalis adalah bentuk ancaman yang luar biasa terhadap kebebasan pers. Jurnalis Muhammad Asrul, misalnya, divonis penjara tiga bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Palopo, Sulawesi Selatan (Kompas, 23/11/2021). Ketua Majelis Hakim mengatakan Asrul terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 45 ayat 1 juncto Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Hal yang lebih buruk adalah Asrul bukan satu-satunya jurnalis yang dijerat menggunakan UU ITE. SAFEnet mencatat, jurnalis adalah salah satu profesi yang rentan dijerat menggunakan UU tersebut. Berbagai pihak sebenarnya sudah memprotes keras fenomena ini, apalagi dalam kasus Asrul ini hakim mengakui bahwa yang dipermasalahkan adalah produk jurnalistik. Pasalnya, Menkominfo dan Kepolisan pernah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman kriteria implementasi UU ITE yang salah satu poinnya menyebutkan produk jurnalistik tidak dijerat dengan UU ITE.

Sementara itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam situs resminya mencatat nyaris 40 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilaporkan dari Januari-Desember 2021. Bentuk kekerasan yang tertinggi (8 kasus) adalah kekerasan fisik, yang berupa pemukulan, penyiraman air keras, hingga pembunuhan.

Salah satu catatan kelamnya adalah terjadi pembunuhan keji terhadap Pemimpin Redaksi LasserNewsToday Mara Salem Harahap. Pada bulan Juni 2021 korban ditemukan tewas terbunuh dengan luka tembakan di dalam mobil pribadinya. Kompas (28/07/2021) melaporkan pihak kepolisian telah menangkap empat pelaku pembunuhan yang semuanya adalah aparat. Hal yang meresahkan adalah mereka awalnya tidak berniat membunuh, tetapi hanya “memberi efek jera” dengan menembak bagian paha korban.

Kasus lainnya yang dikawal ketat oleh para aktivis adalah dugaan penganiayaan terhadap jurnalis Tempo di Surabaya Nurhadi ketika sedang melakukan peliputan. Dia dipukul, ditendang, ditampar, dan mengalami perampasan dan pengrusakan alat liputan. Kompas. (01/12/2021) melaporkan kedua terdakwa kasus dugaan penganiayaan tersebut dituntut 1,5 tahun penjara. Catatan pentingnya, kedua terdakwa adalah anggota aktif kepolisian.

Masih dari catatan AJI, bentuk kekerasan lain yang juga marak terjadi terhadap jurnalis selama beberapa waktu belakangan adalah serangan digital (6 kasus). Sebutlah kasus yang terjadi pada Maret 2021, ketika seorang jurnalis liputan6 di Sulawesi Tenggara mengalami doxing. Serangan digital ini terjadi setelah dia menulis berita berjudul “Mencari Keadilan Ratusan Orang Duduki Polres Konawe Sambil Pamer Parang”. Pelaku dari serangan digital ini adalah sejumlah warganet, yang diidentifikasi bagian dari sebuah organisasi kemasyarakatan yang merasa dirugikan akibat berita tersebut.

Kasus serangan digital lainnya yang juga masih hangat di benak publik adalah laman Projectmultatuli.org yang mengalami serangan digital berupa DDoS (6/10/2021) yang membuatnya tidak dapat diakses selama beberapa waktu oleh publik. Serangan itu terjadi setelah berita berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan” yang diunggah menjadi viral di media sosial.

Selain serangan digital, karya jurnalistik ini juga dicap hoaks oleh @humasreslutim melalui unggahan di media sosialnya. Sebagai informasi, berita ini turut meramaikan tagar (#)percumalaporpolisi yang hingga artikel ini ditulis masih muncul di berbagai media sosial.

Solidaritas Bertunas, Kolaborasi Bersemi

Kabar baiknya, serangan digital DDoS yang dialami Projectmultatuli.org ini melahirkan sebuah fenomena jurnalisme yang patut dicatat dalam sejarah. Ketika situs Projectmultatuli.org tidak dapat diakses, sejumlah media massa (baik arus utama maupun alternatif) tersulut untuk bersolidaritas dengan cara merepublikasi karya jurnalistik tersebut di laman mereka masing-masing. Menurut beberapa catatan, bentuk solidaritas seperti ini baru pertama kalinya terjadi di Indonesia.

Ada dua hal yang perlu digarisbawahi dari aksi solidaritas antarruang redaksi ini. Pertama, semangat bersolidaritas ini sangat penting dipelihara mengingat setiap redaksi media massa memiliki peluang ancaman yang sama. Apalagi tercatat bahwa frekuensi dan ragam serangan digital ini kian bertambah, terutama terhadap mereka yang bersuara kritis. Kedua, aksi solidaritas ini juga tidaklah dapat dilepaskan dari fenomena kolaborasi dalam dunia jurnalisme yang semakin populer dilakukan di Indonesia. Kerja kolaboratif ini terbukti mampu mengungkap persoalan publik yang lebih besar, serta memiliki peluang keterbacaan publik yang lebih luas.

International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ), misalnya, berhasil berkolaborasi dengan ratusan jurnalis di berbagai negara untuk membongkar kasus kejahatan keuangan yang dilakukan konglomerat dan pejabat publik di berbagai negara. Sebut saja kasus-kasus besar seperti Panama Papers, Paradise Papers, dan lain-lain. Tempo adalah media di Indonesia yang terlibat dalam kerja kolaboratif ini.

Sementara itu, berbagai media di Indonesia juga melakukan kolaborasi dan mendapatkan penghargaan yang membanggakan atas karya-karyanya. Misalnya, kolaborasi Tirto.id, Jakarta Post, dan Jubi mengenai kasus kekerasan di Wamena yang pada tahun 2020 memenangkan penghargaan Suardi Tasrif Award. Pada tahun yang sama kolaborasi antara Tirto.id, Jakarta Post, BBC News Indonesia, dan VICE Indonesia atas liputan mengenai kekerasan seksual di kampus memenangkan penghargaan internasional SOPA Award.

Bahkan, kolaborasi juga dilakukan berbagai media untuk mengawasi kerja pemerintah di tingkat daerah. Contohnya adalah kolaborasi Project Multatuli, Suara.com, Kompas, Jaring., dan Tirto yang melakukan liputan investigasi atas penguasaan tanah di Yogyakarta yang didominasi oleh pihak Kraton. Pada bulan September 2021 mereka secara serentak mempublikasikan hasil liputan kolaboratif ini yang juga menarik perhatian publik.

Meski tak berkaitan langsung dengan jurnalisme, kutipan populer dari Michel Foucault “Where there is power, there is resistance” tampaknya sangat relevan. Solidaritas dan kolaborasi yang dilakukan dalam dunia jurnalisme dalam hal ini dapatlah dipandang sebagai bentuk resistensi atas setiap kuasa yang menekan mereka yang berkecimpung di dalamnya. Solidaritas dan kolaborasi dapat berangkat dari kesamaan posisi, dapat juga berangkat dari kesamaan visi. Melihat kian kompleksnya persoalan yang berpotensi muncul, maka dua aksi ini besar kemungkinan akan meluas. Solidaritas dan kolaborasi dalam dunia jurnalisme akan semakin tidak terbatas pada kalangan jurnalis dan pekerja media, tetapi sangat terbuka pada kalangan lain seperti aktivis, akademisi, programmer, dan lain-lain. Bagaimana menurut anda? Tabik.

Andreas Ryan Sanjaya