Lebaran selalu punya cara sendiri untuk membawa kita pulang. Mengarungi waktu-waktu panjang menuju rumah, menemui tawa setiap anggota keluarga yang sudah lama tidak berjumpa, hingga aroma masakan yang menguar di setiap sudut ruangan.
Kehangatan dan kenyamanan pun sontak terasa kala ibu mulai menyusun rencana menu makanan apa saja yang akan dihidangkan saat hari raya.
Setelah sepeninggal nenek, kakek, dan kakak-kakak ibu, beliau praktis menjadi anggota keluarga tertua. Seperti tradisi keluarga kami di tahun-tahun sebelumnya, rumah anggota keluarga tertua akan menjadi tempat berkumpul bersama.
Sejak itu juga, setiap lebaran semua anggota keluarga besar akan berbondong-bondong datang ke rumah kami untuk bersilaturahmi.
Tidak heran kalau keluarga kami akan menyajikan berbagai makanan untuk suguhan keluarga nanti. Namun dibandingkan opor, keluarga kami lebih memilih ketupat pecel sebagai menu makanan utama.
Dari jari-jemari yang mulai keriput, tangan ibu ulet membuat sambal kacang, merebus berbagai sayuran, bahkan menganyam janur kuning untuk membuat ketupat.
Sejak merantau untuk studi di luar kota, aku biasanya baru pulang ke rumah beberapa hari menjelang lebaran. Meski menyiapkannya sendirian dan waktu menuju lebaran tinggal sebentar, ibu sudah jauh-jauh hari bersiap menyiapkan bumbu dan bahan ketupat pecel.
Meskipun pada kenyataannya, kami baru akan mulai dimasak pada H-2 atau H-1, tetapi semangat ibu menyambut hari raya tidak pernah luntur.
Maka, hal pertama yang biasanya kami persiapkan adalah membuat sambal kacang. Perpaduan gula jawa dengan kacang tanah yang ditumbuk dengan lumpang batu dan alu kayu secara tradisional menciptakan aroma manis yang gurih.
Tekstur yang tadinya lengket, nantinya akan mencair saat dicampur dengan air hangat. Sambal inilah yang memberi nyawa dan cita rasa sedap saat dituangkan di atas sayuran rebus isian pecel.
Sebagai keluarga tani, kami lebih memilih menggunakan sayuran yang tumbuh di kebun dan pekarangan rumah.
Di kala takbir mulai menggema, ibu akan bergelut dengan tungku tradisional di dapur belakang, mengisi panci pengukusan dengan sayuran, seperti kangkung, pepaya muda, daun pepaya, kubis, kacang panjang, hingga kecambah kacang ijo untuk mengisi nampan pecel esok hari. Di sela-sela itu, ibu juga akan memasak ayam sebagai lauk tambahan.
Semua sayuran yang jadi isian pecel itu menyimpan cerita perjuangan keluarga kami. Di lahan perkebunan dan pekarangan rumah, sayuran memang ditanami untuk kemudian dijual ke pasar.
Namun di hari lebaran, kami biasanya memanfaatkan sayuran itu untuk dimasak sendiri, dengan harapan agar anggota keluarga yang lain bisa ikut merasakan ketulusan cinta dan kasih dari keluarga kami.
Sementara itu, ketupat biasanya kami siapkan dua hari menjelang hari raya. Kakak laki-laki atau bapak kami biasa bertugas mencari daun kelapa muda di kebun, ibu sebagai satu-satunya anggota keluarga yang bisa menganyam janur akan bertugas membuat ketupat.
Setelah selesai dibuat, aku pun akan membantu mengisi ketupat dengan beras, lalu dikukus saat malam takbiran juga. Maka di pagi hari sebelum salat Idulfitri, seluruh isian pecel, sambal kacang, dan ketupat sudah tertata rapi di atas meja makan.
Dalam balutan suasana yang sederhana, kami biasanya menyajikan ketupat pecel dengan model prasmanan. Setiap keluarga yang hendak makan dibebaskan untuk mengambil sendiri porsi yang mereka mau. Semakin banyak mereka mengisi piring dengan ketupat pecel, maka semakin bahagia pula ibu karena masakannya laris.
Daripada makan di ruang makan, kami biasanya lebih suka berkumpul di ruang keluarga atau di halaman depan dan menyantap makanan bersama-sama. Satu suap, dua suap, tiga suap, hingga habis, kami bahagia menyaksikan sanak saudara mengisi perut dengan ketupat pecel yang dihidangkan.
Dari suara dentingan sendok dan piring yang saling berbenturan, terdengar pula juga tawa hangat yang selalu kami rindukan setiap tahunnya.
Tak bosan pula ibu dan bapak berkata, "bungkus pecelnya!" pada sanak saudara kami yang hendak pulang. Apabila ada saudara kami yang mengiyakan, makin terlihat pula semburat kebahagiaan di wajah ibu dan bapak.
Lantas, dengan senang hati kami potongkan ketupat dan bungkuskan pecel banyak-banyak agar mereka masih bisa merasakan kehadiran kami di kala acara silaturahmi telah usai.
Di balik sayuran yang segar, sambal kacang yang gurih manis, dan ketupat yang pulen itu, kami selipkan harapan agar bisa berjumpa dengan sanak saudara di hari raya selanjutnya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Saat Layanan Ojek Online Menjadi Jembatan Solidaritas Lintas Negara
-
Potret Budaya Palestina di Buku Homeland: My Father Dreams of Palestine
-
Ulasan Novel Aksara Sevanya: Drama Hidup Remaja dan Gejolak Cinta Segitiga
-
Ulasan Novel Wesel Pos: Sudut Pandang Unik tentang Hidup Masyarakat Urban
-
Potret Sosial di Balik Kisah Cinta Beda Ormas dalam Novel Kambing dan Hujan
Artikel Terkait
-
Pengajaran Disiplin Oleh TNI/Polri di Sekolah Rakyat Dikritik: Bisa Picu Trauma Psikologis
-
4 Rekomendasi Mobil Keluarga Harga Rp50 Jutaan, Hemat Biaya Perawatan!
-
5 Mobil Bekas Murah untuk Keluarga Muda Harga 70 Jutaan: Tangguh, Irit dan Bertenaga
-
Sepiring Nasi Telur di Pagi Hari: Sesuap Ungkapan Bisu Kasih Sayang Ibu
-
6 Mobil Bekas untuk Keluarga Mulai Rp45 Juta: Tahun Muda, Kabin Luas Muat 7 Seat
Kolom
-
Buku Masih Jadi Teman atau Sekadar Tanda Kehadiran di Kampus?
-
Maaf PSSI, Kami Tak Terlalu Sedih Meski Timnas Indonesia Gagal Lolos ke Piala Asia U-23
-
Gen Z dan Dompet Kosong? Mengungkap Gaya Hidup Cashless dan Wi-Fi Only yang Bikin Geleng Kepala
-
Aktivis Vian Ruma dan Ironi Suara Rakyat yang Dihilangkan
-
Ketika Perpustakaan dan Kecerdasan Buatan Duduk Bersama di Senja Hari
Terkini
-
4 Toner Korea Calendula, Penyelamat Buat Kulit Sensitif dan Redakan Redness
-
Maaf Coach Gerald, Timnas Indonesia U-23 Masih Butuh Pemain Sekaliber Marceng dan Ivar Jenner!
-
Bangun Personal Branding Lewat Main Futsal
-
Padel: Olahraga Viral yang Lebih Seru dari Tenis? Ini Alasan Gen Z Langsung Ketagihan!
-
Review Film Mama: Pesan dari Neraka, Horor Digital yang Bikin Parno!