Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Andreas Ryan Sanjaya
Ilustrasi jurnalisme kolaboratif.[Unsplash/Marvin Meyer]

Secara umum, jurnalisme seringkali dipandang hanya sebagai bagian dari bisnis media massa. Alih-alih dipandang sebagai sebuah ikhtiar untuk melayani kepentingan publik, jurnalisme sekadar dianggap sebagai salah satu mesin uang dalam perusahaan. Karena bagian dari bisnis, maka logika yang digunakan adalah logika mencari keuntungan. Melalui kerja-kerja jurnalistik dari para awak redaksi, media massa dipandang sedang memproduksi komoditas berupa informasi. 

Maka, tidaklah heran ketika publik menemui berbagai tagline dalam perusahaan-perusahaan media itu yang sedang mencitrakan dirinya sebagai yang “paling”. Paling depan, paling cepat, paling independen, paling akurat, paling terpercaya, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa mereka saat ini berada dalam posisi bersaing, berlomba-lomba untuk menarik pembaca. Tentu saja hal tersebut tidak sepenuhnya salah. Mengingat, saat ini hanya segelintir saja media di Indonesia yang dibiayai oleh publik. Media massa butuh ‘bahan bakar’ untuk tetap hidup dan berkarya.

Namun, ternyata muncul tren baru di kalangan jurnalis yang seakan mendobrak pandangan umum tersebut, yaitu dengan berkolaborasi. Mereka tidak lagi berkompetisi sepenuhnya, tetapi berkolaborasi. Dalam tulisan sebelumnya, telah disebutkan bagaimana praktik kolaborasi ini mengundang berbagai penghargaan karena membawa dampak yang besar. Bagaimanapun, kolaborasi tidak mudah dijalankan. Masing-masing membawa kultur jurnalismenya sendiri-sendiri. Apalagi bila kolaborasi ini tidak dilakukan antarjurnalis, tetapi juga dengan pihak lain non-jurnalis seperti aktivis, peneliti, programer, dsb.

Maka tulisan ini bermaksud untuk mengkurasi berbagai pengalaman kolaborasi para jurnalis, dengan bersandar dari artikel-artikel ilmiah para peneliti. Di dalamnya memuat beberapa manfaat penting yang didapatkan oleh para jurnalis ketika berkolaborasi. Tak lupa, di bagian akhir disampaikan juga tantangan-tantangan yang sangat mungkin muncul dalam praktik kolaborasi ini.

Manfaat Penting Jurnalisme Kolaboratif

Setidaknya ada 5 (lima) manfaat penting yang diterima jurnalis ketika mereka mempraktikkan jurnalisme kolaboratif. Jenkins & Graves (2019) mengungkapkan 4 (empat) manfaat pertama, kemudian manfaat kelima ditambahkan oleh Chacon & Saldana (2020). Berikut penjelasan dari tiap manfaat.

Pertama, kolaborasi beri kesempatan lebih untuk memaksimalkan sumber daya yang dimiliki. Semakin besar jumlah jurnalis yang terlibat, dan semakin luas wilayah yang bisa mereka jangkau, maka akan semakin banyak pula informasi yang mereka dapatkan. Cara ini sangat penting untuk mengungkap fenomena atau permasalahan nasional, atau bahkan internasional. Misalnya, bahwa yang terjadi di daerah A itu terjadi juga di daerah B, C, D, dan E dengan pola-pola yang serupa. Selain itu cara ini juga lebih efisien, daripada jurnalis dari daerah A harus berkelana sendirian ke daerah-daerah lain untuk menggali informasi satu persatu.

Kedua, kolaborasi akan mempertemukan keahlian yang beragam dari para jurnalis. Pada umumnya jurnalis memang dituntut untuk mampu meliput segala macam kasus, mulai dari gaya hidup sampai politik, sepak bola sampai krisis iklim. Tetapi dalam konteks ini, tak jarang para jurnalis ini memiliki spesialisasi pada bidang tertentu. Ada jurnalis yang menguasai sektor energi, hukum, sementara yang lainnya memiliki jaringan yang erat dengan para pebisnis, misalnya. Keahlian para jurnalis ini akan menjadi sangat berguna ketika dipertemukan. Mereka dengan segala keahliannya akan sangat membantu dalam praktik kolaborasi.

Ketiga, kolaborasi akan menguatkan konten berita. Berkaitan dengan manfaat sebelumnya, keahlian para jurnalis yang dipertemukan dalam kerja kolaboratif ini tentu akan membuat sebuah karya jurnalistik menjadi kaya. Pembaca tidak hanya akan sekadar mendapatkan cerita-cerita permukaan, tetapi akan disodori data yang penting. Pembaca tidak hanya mendapatkan kepingan-kepingan cerita tanpa jalinan, tetapi sebuah cerita yang utuh dengan tidak meninggalkan konteksnya.

Keempat, kolaborasi akan memungkinkan cerita itu tersebar lebih luas dan dengan potensi dampak yang lebih besar. Manfaat lainnya adalah cerita-cerita itu tidak hanya akan dinikmati oleh para pembaca media X dari daerah A, tetapi juga akan dapat diakses oleh para pembaca lain dari daerah-daerah lain juga. Mengingat, salah satu nilai berita adalah proximity, yang salah satunya adalah kedekatan geografis. Publik akan sangat membutuhkan informasi atas apa yang terjadi di sekitarnya. Lebih dari itu, impact atau dampak yang terjadi juga berpotensi lebih besar ketika persoalan penting itu diketahui secara lebih luas.

Kelima, kolaborasi akan menguatkan posisi jurnalis. Manfaat ini muncul dalam konteks negara yang memiliki tingkat kekerasan yang tinggi pada jurnalis. Chacon & Saldana (2020) dalam laporan risetnya menunjukkan para jurnalis ini melakukan kolaborasi untuk menguatkan posisi mereka terhadap pihak-pihak yang berpotensi melakukan penyerangan: preman suruhan para pebisnis, atau bahkan oleh pemerintahan yang otoriter. Biasanya hal ini terjadi ketika para jurnalis sedang membongkar kasus-kasus kejahatan yang melibatkan orang-orang yang berkuasa baik di bidang ekonomi, politik, maupun hukum.

Tantangan Besar dalam Praktik Kolaboratif

Kendati memiliki banyak manfaat, jurnalisme kolaboratif juga menghadirkan tantangan yang tidak dapat disepelekan. Tantangan ini  tentu saja muncul karena ketika memutuskan berkolaborasi, berarti pertama-tama mereka yang terlibat di dalamnya harus menyatukan visi. Belum ditambah dengan perbedaan berbagai kebiasaan (kultur jurnalistik) yang dibawa dari masing-masing redaksi. Maka, masih menurut hasil riset Jenkins dan Graves (2019), berikut tantangan yang muncul.

Pertama, kolaborasi mensyaratkan setiap yang terlibat di dalamnya untuk membangun kultur berbagi. Terdengar sederhana, tetapi tidak mudah dilakukan. Pada dasarnya haruslah dibangun rasa percaya di antara mereka yang terlibat. Dalam kolaborasi, setiap informasi yang dimiliki oleh jurnalis haruslah diketahui oleh yang lain juga. Dengan kata lain, informasi itu perlu dibagikan supaya setiap jurnalis mendapatkan cerita yang utuh. Satu pertanyaan yang barangkali muncul dalam benak jurnalis adalah: “jika saya mendapatkan informasi berharga ini sendirian, mengapa saya harus membagikannya cuma-cuma?” Hal ini tidak mudah dilakukan, karena akan berkaitan dengan tantangan berikutnya.

Kedua, melawan hasrat berkompetisi. Seperti yang sudah disinggung di awal tulisan, kultur berkompetisi ini masih menjadi tantangan besar. Masing-masing berusaha untuk menjadi yang paling cepat, paling lengkap, paling independen, paling terpercaya, dan sebagainya. Ini kacamata yang perlu ditanggalkan ketika para jurnalis sudah berkomitmen untuk terlibat dalam karya kolaboratif. 

Ketiga, membangun struktur pelaporan yang konsisten. Sebagai pembaca kita pasti bisa membedakan kecenderungan gaya bahasa yang digunakan oleh setiap media. Belum lagi bila yang berkolaborasi adalah para jurnalis dari berbagai negara yang berbeda, yang dengan demikian memiliki kultur jurnalistik yang berbeda. Misalnya, ada yang mensyaratkan peletakan kutipan pernyataan narasumber di setiap alinea, ada yang lebih bernarasi. Maka pada beberapa kasus, kolaborasi ini tidak sampai tahap penulisan, tetapi berhenti pada tahap pengumpulan data dan konfirmasi. Catatan pentingnya, pada umumnya kolaborasi ini akan dipublikasikan secara serentak dalam waktu yang bersamaan.

Keempat, mengenai keberlanjutan ekonomi. Setiap kegiatan jurnalistik ada biayanya, dan ketika itu dilakukan secara kolaboratif dengan diikuti jurnalis antarmedia, bagaimana skema pembiayaan yang adil untuk semuanya? Misalnya, sebuah media berbasis Jakarta berkolaborasi dengan media berbasis Jayapura. Dalam salah satu kegiatannya harus ada penerbangan dari Jakarta ke Jayapura dan sebaliknya. Siapa yang menanggung ongkos tersebut atau bagaimana kontribusi dari tiap media atas biaya perjalanan itu?

Sebagai penutup tulisan, izinkan penulis menggarisbawahi satu hal penting. Jurnalisme kolaboratif bukan sekadar tren baru, melainkan sebuah metode untuk menghasilkan reportase yang lebih berkualitas dan berdampak luas. Tantangan yang beragam akan selalu bermunculan, tetapi jurnalis dapat dipersiapkan. Maka kebutuhan untuk pendidikan dan pelatihan jurnalis adalah proses yang tidak pernah berhenti.

Andreas Ryan Sanjaya