Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Eny Safitri Rachmadhani
Foto siswa Sekolah Sookses di kawasan Grogol, Jakarta Barat sebelum pandemi Covid-19. (Dok Sekolah Sookses)

Apakah para pembaca sudah mengetahui bahwa pemerintah menetapkan beberapa aturan dan undang-undang yang digunakan sebagai strategi pengarusutamaan gender dalam pemerintahan?

Pengarusutamaan gender sendiri menurut berbagai situs pemerintahan adalah strategi yang digunakan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender melalui kebijakan, program dan kegiatan yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, serta permasalahan laki-laki dan perempuan dalam proses pemantauan dan evaluasi dari seluruh aspek kehidupan dan pembangunan.

Intinya, pengarusutamaan gender adalah tindakan yang diambil untuk mengurangi dan menghilangkan ketidaksetaraan gender dalam berbagai bidang dan aspek pembangunan dalam pemerintahan. 

Aturan dan ketetapan tersebut telah ditulis dalam Instruksi Presiden No.9 Tahun 2010 yang mengamanatkan kepada semua pimpinan Kementrian/Lembaga baik pusat maupun daerah untuk mengintegrasikan aspek gender dalam menyusun kebijakan, program, dan kegiatan yang menjadi tugas dan fungsi dari lembaga tersebut.

Dengan adanya kebijakan tersebut, tentu menandai bahwa pemerintah kini mulai membuka mata terhadap ketidaksetaraan gender yang terjadi dalam pembangunan masyarakat. Namun, apakah hal tersebut juga menandadi bahwa ketidaksetaraan gender dan bias gender dapat sepenuhnya hilang dalam pemikiran masyarakat?

Dalam pembangunan Indonesia, pendidikan tentu memegang peranan yang sangat penting dalam hal tersebut. Melalui pendidikan yang baik dan mumpuni terdapat harapan dalam tercipta masa depan pemerintahan dan negara yang lebih baik ditangan para generasi muda. Sehingga tidak heran bahwa pendidikan secara tidak langsung memegang peranan besar dalam pembangunan negara.

Pendidikan pun bukan hanya dari pendidikan formal yang diambil dari bangku sekolah, pendidikan tersebut juga dapat diambil dari faktor internal suatu individu seperti ajaran awal dari orang tua dan keluarga. Sehingga menurut penulis, ketidaksetaraan gender dan bias gender akan terus melekat apabila dalam masa pendidikan suatu individu belum terdapat pihak yang menerapkan pembelajaran ramah serta berwawasan gender.

Penulis menyadari bahwa dalam buku-buku pembelajaran sekolah dasar terdapat bagian yang biasa menggunakan gender dan cenderung mengkotak-kotakkan gender dalam pembahasannya. Contohnya mengenai fungsi dan kewajiban anggota keluarga dimana perempuan akan selalu identik dengan urusan dapur atau membersihkan rumah. Sedangkan laki-laki akan melakukan pekerjaan finansial atau pekerjaan yang tidak identik dengan perempuan seperti berkebun, mencuci mobil, dan lain-lain.

Salah satu contoh tersebut memang terlihat sederhana namun jika didapati dan dipelajari terus menerus oleh generasi muda dapat menimbulkan pemikiran bias gender sejak dini, belum lagi contoh-contoh lain yang belum disebutkan.

Dari sisi internal atau keluarga sendiri, penulis juga mendapati bahwa bias gender juga masih berlaku dimana perempuan dinilai hanya perlu mengenyam pendidikan dasar hingga menengah atas tanpa perlu berpindidikan lebih tinggi lagi karena dianggap hanya akan berakhir menjadi ibu rumah tangga yang bekerja di dapur. Tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut, penulis yakin para pembaca sudah dapat memahami atau bahkan pernah mengalami contoh tersebut.

Terdapat pula contoh lain dalam pendidikan jenjang menengah atas dan lanjutan seperti universitas dimana beberapa jurusan tertentu akan selalu lebih identik atau dipenuhi oleh salah satu gender, dan gender lain menjadi pihak minoritas didalamnya. Contohnya adalah jurusan teknik atau jurusan kecantikan dan tata busana dimana jurusan teknik lebih diminati dan dipenuhi oleh siswa laki-laki, sedangkan jurusan kecantikan dan tata busana dipenuhi oleh siswa perempuan.

Namun saat ini mulai sering ditemui siswi perempuan dalam jurusan yang identik dengan laki-laki dan begitupun sebaliknya sehingga penulis menganggap bahwa hal tersebut merupakan kemajuan dimana generasi muda saat ini tidak terlalu mengacu pada pemikiran bias gender dalam menempuh pendidikannya dan lebih memilih sesuai minat dan bakat yang dimiliki.

Dari penjelasan dan contoh-contoh diatas, penulis menyimpulkan bahwa pemerintah bukan hanya perlu menerapkan strategi pengarusutamaan gender dalam kebijakan lembaga dan instansi di bawahnya, pemerintah juga perlu menerapkan pembelajaran yang berwawasan serta ramah gender dalam pendidikan generasi muda saat ini untuk dapat meningkatkan keberhasilan dari strategi pengarusutamaan gender tersebut.

Karena pendidikan merupakan dasar atau akar dari pembangunan yang dapat menjadi pondasi kuat bagi negara, sehingga jika kesetaraan gender telah diterapkan sejak pendidikan dini niscaya ketidaksetaraan gender akan perlahan hilang dalam pemikiran dan aspek kehidupan masyarakat. 

Eny Safitri Rachmadhani

Baca Juga