Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | wahyu prihartanto
Sampah plastik mendominasi sungai. (Dok: Sungai Watch)

Jumlah penduduk perkotaan di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan grafik peningkatan cukup drastis. Kondisi ini justru lebih tinggi dibanding negara-negara pelanggan penduduk terbesar seperti China dan India. Sebuah sumber bahkan menyebutkan di tahun 2025 penduduk Indonesia lebih memilih hidup di kota mendekati 70 persen.

Salah satu dampak yang akan muncul seiring pertumbuhan penduduk perkotaan tersebut adalah meningkatnya volume sampah dari waktu ke waktu. Tingkat kompetisi perkotaan tajam mengakibatkan penduduk urban yang kalah bersaing mulai terpinggirkan karena tidak mendapat pekerjaan formal. Kelompok marginal tersebut akhirnya memilih sampah sebagai sumber penghidupan.      

Pada umumnya, masyarakat menghindari bau tak sedap sampah. Namun, bagi sebagian orang, barang bekas dan kotor tersebut memiliki nilai ekonomi. Suatu waktu saya menemui saudara-saudara pemulung di Taman Pemrosesan Akhir Kota Probolinggo untuk ngobrol-ngobrol seputar kepemulungan dan urbanisasi. Sebagian besar dari mereka menyebutkan bahwa sampah adalah emas.  

Permasalahan sampah di negeri kita bak ibarat gunung es, terbukti belum lama ini kita dikejutkan dengan penemuan limbah sampah medis seperti bungkus rapid antigen yang mencemari Selat Bali, di kota yang hanya berjarak beberapa puluh kilometer dari Probolinggo, yaitu Banyuwangi. Meskipun masih terjadi perdebatan terkait siapa yang paling bertanggung jawab, fisiknya barang tersebut ada dan mengotori laut. Ini baru yang kedapatan, lantas bagaimana dengan wilayah-wilayah lainnya yang tidak terlihat.  

Persoalan sampah masker dan sarung tangan plastik kian menjadi sorotan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Pandemi Covid-19 membuat masker dan sarung tangan menjadi sebuah dilema. Di satu sisi membantu warga dunia terhindar dari virus. Di sisi lain berbahaya bagi lingkungan. Data yang dihimpun BBC secara global, penduduk dunia memakai 129 miliar masker dan 65 miliar sarung tangan plastik sekali pakai setiap bulannya selama pandemi ini.

Harga jual pilahan sampah ditentukan oleh pelapak. Di antara kegelisahan-kegelisahan, sampah bagi pemulung dan pelapak dianggap sebagai bisnis yang membentuk mata rantai dan jaringan untuk menghasilkan uang. Problemnya adalah komunitas pemulung memiliki posisi tawar sangat rendah terhadap pelapak atau pengepul besar. Para pemulung sering kali tidak berdaya menentukan harga barang bekas yang mereka kumpulkan.

Mereka memang tidak memberikan keterangan harga jual per satuan secara implisit, tapi dalam raut wajah mereka menggambarkan seolah tidak ada pilihan lain untuk mengikuti harga yang ditetapkan. Berapapun angka itu saya hanya bisa berharap semoga suatu saat para pemulung mendapat harga tawar yang wajar dan adil. Sebab, kalau kita nalar-nalar hubungan tidak langsung antara pemulung dengan industri merupakan arus suplai kebutuhan pokok, penghasilan, serta peluang utang-piutang antara kedua pihak.

Sialnya keberadaan pemulung dianggap kerap menimbulkan masalah sosial di tengah-tengah masyarakat. Kegiatan mereka dikonotasikan liar dan mengganggu pranata kehidupan masyarakat. Pemberdayaan komunitas pemulung memang telah dilakukan oleh sebagian Pemerintah Daerah melalui sistem perekrutan serta pemberian penghasilan secara bulanan, meskipun dampaknya kurang dirasakan oleh komunitas mereka.

Pahlawan 3R, atau reduce, reuse, recycle layak disematkan ke pundak pemulung. Tidaklah berlebihan mengingat dedikasi waktu dan energi mereka untuk membersihkan kotoran sampah yang kita produksi setiap hari dengan tanpa mengenal lelah. Eksistensi pemulung dalam pengelolaan sampah merefleksikan aksi nyata dari slogan pengelolaan sampah secara berkelanjutan.

Hal ini semakin menarik ketika pemulung “dianggap” membawa masalah sehingga berdampak kepada pemilahan sampah organik dan non tidak bisa dilakukan. Tidak bisa dipungkiri memang terjadi hubungan sebab akibat. Di tengah stigma negatif terhadap pemulung, pekerjaan ini justru menjadi semacam setali tiga uang dengan permasalahan sampah di wilayah perkotaan.

Meski tanpa ijasah formal, para pemulung umumnya tetap bisa bertahan hidup di perkotaan. Bermodalkan afiliasi sosial antara komunitas pelapak, pengepul besar, dan industri dalam satu wadah untuk melancarkan pekerjaannya. Afiliasi tersebut yang menggerakkan manfaat ekonomi serta keuntungan sosial di antara mereka.

Di sekitar Taman Pemrosesan Akhir Kota Probolinggo, terjalin hubungan antar pemulung sedaerah yang saling terikat satu dengan lainnya. Seperti patronase, di antara mereka memiliki figur ketua komunitas pemulung sebagai penghubung para pemulung antar komunitas, dan industri pemanfaat. Keadaan tersebut ternyata mampu mengubah kepentingan pribadi dan persaingan menjadi kerjasama yang sangat kuat.

Sempat terlintas di benak saya, ada inspirasi persiapan menjelang pensiun. Andaikan saya punya lahan kosong ukuran secukupnya, kemudian saya kumpulkan saudara-saudara pemulung untuk tinggal di lahan saya berikut hasil pulungannya. Hasil pemilahan dan pembersihan sampah tersebut kemudian saya jual ke pabrik-pabrik yang membutuhkannya. Dan, hasilnya saya nikmati bersama mereka secara manusiawi.

Harapannya, angan-angan saya tersebut secara bertahap saya wujudkan sembari menciptakan komunikasi yang baik untuk menentukan pola kerja dan keuangan yang transparan. Sebab, pemulung yang hidup di dalam komunitas, aturan-aturan informal terkait pola kerja yang diterapkan tidak dianggap sebagai hambatan atau pengekang sepanjang diputuskan melalui kemufakatan.

Selain kerjasama pemulung di dalam komunitas pun dapat diperluas antar komunitas. Penggabungan antar komunitas dapat dibentuk wadah untuk koordinasi dengan pengusaha maupun pemerintah. Pemilik lahan bisa saja diperankan sebagai ketua dalam rangka perkuatan jaringan sosial. 

Selain manfaat sosial dan ekonomi sebagai kekuatan komunitas pemulung, satu hal yang mereka masih perlukan adalah aspek keberpihakan dari Pemerintah. Pemerintah dapat mengambil peran terutama dimensi kebijakan. Dari otorisasinya diharapkan dapat menghapus eksklusi sosial yang bisa melemahkan aspek kehidupan pemulung. Terutama aspek keterbatasan akses, partisipasi, hak mendapat pelayanan serta kecukupan pemenuhan hajat hidup dasar mereka.

Pemberdayaan pemulung melalui keberpihakan yang bersifat bottom up perlu dilakukan, salah satunya dengan membuka seluas-luasnya ruang aspirasi masyarakat sehingga pada saatnya kesejahteraan dapat terwujud.

Sekian, terima kasih.

Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo

wahyu prihartanto