Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Budi Prathama
Ilustrasi Nongkrong di Kafe (Pixabay.com/OrnaW)

Mungkin sebagian orang tidak sepakat kalau nongkrong di kafe mesti dibarengi dengan diskusi. "Eegois sekali bos", itulah kata yang akan terlintas. Mengapa demikian? Mengingat orang-orang yang nongkrong di kafe tentu tidak semuanya suka dengan aktivitas diskusi. 

Bagi kalangan anak muda, terutama generasi milenial hari ini, kebanyakan waktu hanya dipakai untuk bersenang-senang dengan gawai, salah satunya bermain game. Produk kapitalisme digital seperti game online itu telah merenggut pikiran dan kebiasaan anak muda sekarang untuk menghabiskan waktunya, termasuk saat nongkrong di kafe. 

Memang tidak bisa dipungkiri, zaman telah berbeda, sehingga 'memaksa' generasi sekarang harus terlibat aktif dan cepat dalam mengarungi arus teknologi serta globalisasi. Mengingat apabila tidak, tentu akan tergilas dan tertinggal jauh. Pasti semuanya tidak ada yang mau. 

Walau demikian, pemuda dan generasi janganlah terjebak pada sisi negatif perkembangan teknologi ini, seperti bahaya dan kecanduan game online. Justru, pemuda mesti ambil peran dan menjadi subjek pada perkembangan teknologi yang makin kencang . 

Bagi generasi muda, mungkin nongkrong di kafe bukanlah hal asing bagi mereka. Ada banyak momen dan tujuan para pemuda untuk nongkrong di kafe, mulai dari alasan ingin kerja skripsi sampai hanya gaya-gayaan saja. Berawal dari kafe pinggiran kota, sampai pada kafe sudut-sudut pedesaan. 

Nongkrong di kafe, sering kali juga didominasi oleh anak-anak muda yang tengah dilanda bucin (budak cinta, bahasa asmara anak muda). Berkencang dengan sang pacar, dan suasana alunan musik yang menghanyutkan, jelas kegembiraan yang tiada tara dari para anak muda kasmaran. Hingga akhirnya pun, hal-hal produktif tak pernah terjadi pada mereka saat nongkrong di kafe. 

Bisa dikatakan, bercengkrama seorang diri dan keasyikan bermain handphone adalah hal yang sangat sulit dihindari. Tentu, itu tidaklah salah, karena memang itu adalah haknya sebagai manusia dan warga negara. Namun, pasti ada pro dan kontra di baliknya.

Mungkin tidak salah kalau saya berpendapat bahwa nongkrong yang asyik di kafe mestinya dibarengi dengan diskusi. Logikanya jelas, diskusi dapat menguatkan budaya literasi dan mampu menelaah persoalan untuk diselesaikan dengan berbagai sudut pandang, hingga melahirkan kesimpulan. Di samping itu pula, diskusi adalah budaya orang-orang cendekiawan dan orang berpendidikan. 

Mengapa saya katakan ketika nongkrong di kafe baiknya dibarengi dengan diskusi? Supaya dapat menjadi peretas untuk memutus rantai budaya kecanduan main HP atau game online. Pasalnya, akan sangat berdampak buruk apabila sudah kecanduan. Kebiasaan itu akan sulit untuk diubah, jadi mending diskusilah yang harus dibudayakan. 

Kembali saya ulang, daripada hanya main game online dan terlena karenanya, maka budaya diskusilah bisa menjadi alternatif, agar lebih produktif. Melalui diskusi pula, tentu para pemuda bucin pun dapat memantik dalam menumbuhkan kesadaran dan terdorong untuk ikut terlibat, walaupun kadar persen kemauannya hanya sedikit. 

Walaupun sulit, nongkrong di kafe mesti membiasakan dalam melakulan hal produktif. Meski belum pernah mencoba, ini bukan berarti tidak bisa. Saya merasakan saat nongkrong di kafe, justru akan lebih asyik kalau ada diskusi daripada hanya main game.

Apabila sudah dibarengi dengan secangkir kopi hitam, sajian snack yang menggoda, maka diskusi pun dapat lebih mencair dan mengasyikkan. Oleh karena itu, diskusi saat nongkrong di kafe mesti harus dapat dibudayakan dan diapresiasi dengan baik. Mungkin pendapat saya ini bablakan, tetapi dapat menjadi bahan renungan.

Budi Prathama