Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Mohammad Azharudin
Ilustrasi Ramadhan (Unsplas.com/Abdullah Arif)

Saat masih anak-anak, barangkali kita sangat bahagia ketika bulan Ramadhan tiba. Salah satu penyebabnya mungkin karena Ramadhan menjadi pertanda bahwa hari raya Idul Fitri telah semakin dekat. Nah, puncak kebahagiaan kita saat kecil dahulu tampaknya memang saat hari raya Idul Fitri. Kita memakai baju baru, dapat amplop dari sanak famili dan tetangga, toples di rumah selalu penuh berisi macam-macam jajanan. Seolah hidup kita saat hari raya Idul Fitri terasa sangat sempurna. Karena hal tersebut, mungkin beberapa dari kita dulu ada yang pernah berpikir bahwa semestinya hari raya Idul Fitri itu ada lebih dari sekali dalam setahun.

Namun, seluruh keceriaan di atas perlahan pudar ketika kita beranjak dewasa. Pasalnya, saat kita dewasa ada banyak hal yang berubah dan harus kita sadari. Jika dulu kita diberi amplop, kini ketika telah dewasa kita tak mungkin lagi memperolehnya. Justru sekarang giliran kita yang memberi amplop hari raya. Contoh sederhana tersebut membuat kita sadar bahwa ternyata kita membutuhkan tabungan yang banyak untuk menyambut Idul Fitri. Guna mengisi tabungan tentu saja kita harus bekerja. Bahkan, rasanya kita perlu bekerja lebih keras saat Ramadhan untuk berjaga-jaga supaya tabungan kita tidak minus seusai Idul Fitri.

Persoalan termaktub bukan hanya dihadapi oleh segelintir orang, melainkan seluruh orang (dewasakhususnya yang telah berkeluarga). Bagi kita, orang-orang yang bekerja di kantor, bekerja di dalam ruangan, bekerja dengan pikiran, mungkin puasa bukan halangan untuk kita tetap menjalani rutinitas pekerjaan. Namun, hal itu akan jauh berbeda bagi orang-orang yang bekerja di bawah terik matahari dan dengan mengandalkan kekuatan otot. Tentu saja bagi mereka bekerja sambil berpuasa bukan merupakan perkara mudah.

Mari kita ambil contoh jenis pekerjaan kuli bangunan. Kita tahu para kuli bekerja di bawah arahan mandor. Mereka dituntut menyelesaikan sebuah proyek dalam waktu yang telah ditentukan. Dua variabel tersebut (mandor dan deadline proyek) membuat para kuli tak dapat mengistirahatkan dirinya sewaktu-waktu. Mereka hanya bisa  istirahat ketika waktu istirahat tiba. Apabila mereka tepergok sedang istirahat bukan pada waktunya oleh sang mandor, mereka sangat mungkin bakal dimarahi habis-habisan. Bahkan, tak menutup kemungkinan mereka akan dipecat.

Mengingat banyaknya tekanan yang mereka terimamulai dari tekanan sang mandor, panas matahari, hingga pekerjaan yang butuh tenaga ekstramembuat beberapa kuli tidak menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Mereka memang dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Jika berpuasa, mereka mungkin tak sanggup melakoni pekerjaannya. Sementara bila ingin bekerja seperti biasa, perut mereka tak bisa dibiarkan kosong. Akhirnya banyak dari mereka yang meninggalkan puasa, memilih pekerjaannya. Ini biasanya dilandasi oleh kesadaran mereka terhadap kewajiban menafkahi keluarga. “Ya kalau seperti itu, cari pekerjaan lain lah!”. Kawan, sayangnya mencari pekerjaan tidak semudah motivator melontarkan kata-kata.

Dilema serupa juga dialami oleh penambang belerang di Kawah Ijen, Banyuwangi-Jawa Timur. Mereka tiap hari harus naik hingga sekira 2.386 Mdpl dengan menggendong peralatan tambang dan membawa troli. Selepas menambang belerang, mereka lantas kembali turun dengan membawa beban mencapai 3 kuintal. Semua itu masih ditambah dengan medan terjal yang harus dilalui. Sekarang begini, kita saat turun gunung pasti merasa capek banget. Padahal beban yang kita bawa tak sampai 1 kuintal. Lha ini para penambang belerang membawa beban 3 kuintal, seberapa lelah yang mereka rasakan?

Para penambang belerang ini pun sama, mereka terpaksa memilih untuk tidak berpuasa supaya kuat menjalani pekerjaannya. Sekali lagi, hal tersebut mereka lakukan demi menafkahi keluarga. Jika mereka tidak berangkat menambang belerang, keluarga mereka tak punya apa pun untuk dimakan. Bila mereka bekerja, rasanya seolah hampir tidak mungkin jika sambl berpuasa. Mereka sadar bahwa meninggalkan ibadah puasa Ramadhan itu berdosa. Di sisi lain jika tidak menafkahi keluarga, mereka pun akan mendapat dosa. Sementara itu, mereka pun tak memiliki pilihan pekerjaan lainnya.

Perkara seperti ini umumnya yang sering kita tanyakan adalah, “Bagaimana hukumnya?”. Akibatnya saat kita melihat orang-orang dengan pekerjaan berat tidak berpuasa, kita kerap kali memandang sebelah mata. Barangkali sempat tebersit dalam benak kita sebuah anggapan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak menaati Allah dan rasul-Nya. Oleh sebab itu, di sini pertanyaan yang tak kalah penting untuk diajukan adalah, “Bagaimana kita sebaiknya bersikap pada mereka?”. Kita pun sebenarnya berada di posisi yang dilematis. Kita jelas tidak mungkin membenarkan perbuatan mereka, tapi di sisi lain kita juga tak bisa menyalahkan begitu saja atas apa yang mereka lakukan.

Sebagai manusia, kita sadar bahwa kita memiliki keterbatasan. Para pekerja berat pun demikian. Coba kita banyangkan, apakah kita akan kuat menjalani ibadah puasa saat berada di posisi para pekerja berat? Belum tentu, bahkan mungkin tidak mampu. Ini alasan pertama mengapa kita tak bisa menghakimi mereka sekehendak hati. Alasan kedua yakni kita mungkin belum menyadari bahwa sebenarnya para pekerja berat itu juga tengah melakoni ibadah. Secara kasat mata, mereka memang terlihat meninggalkan ibadah puasa. Namun, di balik hal tersebut sebenarnya mereka tengah menjalankan kewajiban menafkahi keluarga. Lantas, bagaimana mestinya kita bersikap pada mereka?

Mungkin ada 2 hal sederhana yang bisa kita lakukan. Pertama, tidak keburu menilai bahwa para pekerja berat yang tak puasa itu pasti menjadi penghuni neraka. Sebab jika tidak demikian, kita (secara tidak langsung) akan menyakiti hati mereka. Selain itu, perkara surga dan neraka merupakan hak Allah swt. Sampai kapan pun kita tidak akan bisa tahu siapa saja yang jadi penduduk surga dan siapa yang jadi penduduk neraka. Kedua, mendoakan kebaikan pada mereka. Misalnya, kita berdoa apabila memang mereka mendapat dosa, semoga Allah swt mengampuninya. Sebab, mereka pun sebenarnya juga sedang mengerjakan kewajiban. Saya rasa, 2 alternatif sikap ini cukup manusiawi untuk dipraktikkan.

Mohammad Azharudin