Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Rachma yanti
Ilustrasi karya (DocPribadi/Rachmayanti)

Berbicara mengenai perempuan tentu tak akan ada habisnya dan tidak pernah luput diperbincangkan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan perempuan pastinya menarik untuk dibahas lebih dalam, begitu pun dalam bidang sastra. Munculnya perempuan membawa warna baru bagi perkembangan dunia sastra. Banyak sekali karya sastra fenomenal yang lahir dari tangan pengarang perempuan.

Bagaimana kiprah perempuan yang terjun ke dunia sastra?

Masuknya pengarang perempuan ke dunia sastra tentunya melewati berbagai rintangan. Karena perempuan terus-menerus dipandang sebelah mata dalam melakukan aktivitas apa pun, begitu juga dalam hal berkarya. Munculnya beberapa pengarang perempuan dalam ruang sastra, terjadi pada tahun 1930-an, tepatnya periodisasi sebelum kemerdekaan pada angkatan balai pustaka. Namun, sangat disayangkan pada tahun 1930-an tak banyak pengarang perempuan yang muncul, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan.

Berbeda dengan tahun 2000 hingga saat ini, banyak sekali kita jumpai para pengarang perempuan yang jumlahnya tentu membawa kabar gembira bagi perkembangan dunia sastra. Lalu, siapa sajakah perempuan-perempuan hebat di balik lahirnya sebuah karya sastra?

Selasih, merupakan nama seorang pengarang perempuan yang memengaruhi kiprah perempuan dalam perkembangan dunia sastra. Beliau berhasil melahirkan sebuah karya fenomenal pada tahun 1937 yang berjudul “Pengaruh Keadaan”. Selain itu, muncul sejumlah pengarang perempuan hebat lainnya yang juga melahirkan karya-karya fenomenal di antaranya Fatimah Hasal Delais, Arti Purbani, Nursiah Dahlan, Waluyati Supangat, Nh. Dini, dan masih banyak lagi.

Dari sekian banyaknya pengarang perempuan hebat, Nh. Dini merupakan pengarang perempuan yang sangat produktif dalam berkarya. Adapun karya-karya hebat yang ditulis oleh beliau di antaranya Pertempuan Dua Hati (1986), Keberangkatan (1977), Jalan Bandunga (1989), dan masih banyak lagi. 

Di samping para pengarang perempuan hebat terdahulu yang jumlahnya terbatas, tentu sangat berbeda jumlahnya pada saat ini. Kini, kita bisa jumpai dengan mudah para pengarang perempuan di balik sebuah karya sastra. Bahkan, hampir sebagian besar karya sastra ditulis oleh seorang pengarang perempuan. Mulai dari Ayu Utami hingga Nadhifa Allya Tsana atau kerap kali dikenal dengan panggilan unik “Paus”. 

Seiring bertambahnya pengarang perempuan dari generasi ke generasi, tentunya tak lepas dari berbagai tanggapan masyarakat, ada yang positif bahkan negatif. Sebagian masyarakat mampu mengapresiasi dan mendukung para pengarang perempuan dalam berkarya. Namun, sangat disayangkan bagi sebagian masyarakat beranggapan buruk dan mencaci maki karya dari pengarang perempuan. Mereka menilai bahwa sebuah karya sastra yang lahir dari tangan perempuan itu berkualitas rendah dan tak sebanding dengan karya yang dihasilkan oleh para pengarang laki-laki.

Masih adanya kultur patriarki, membuat sebagian besar pengarang perempuan hebat terdahulu kesulitan dan takut untuk menulis atau bahkan memublikasikan karyanya. Berbeda dengan saat ini, yang sebagian masyarakat sudah sadar dan memberikan pengakuan atas karya sastra yang ditulis oleh para pengarang perempuan serta memberikan kebebasan bagi para perempuan untuk bisa berkarya. Tak hanya pengakuan dari masyarakat, seiring berkembangnya sastra juga sejalan dengan berkembangnya teknologi. Hal ini, tentu memberikan kemudahan bagi para pengarang, baik pengarang laki-laki maupun perempuan untuk menulis dan memublikasikan hasil karyanya.

Berdasarkan penjelasan di atas, tentu tak mudah kiprah bagi para perempuan untuk menjadi seorang pengarang atau penulis. Banyak sekali rintangan yang dialami, mulai dari tanggapan masyarakat yang mendukung hingga tanggapan masyarakat yang mencaci maki sebuah karya sastra yang lahir dari tangan pengarang perempuan. Sampai saat ini, di mana para perempuan mulai banyak bermunculan dan berani untuk menulis dan memublikasikan karyanya dan dinobatkan sebagai pengarang atau penulis. 

Rachma yanti