Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Dream Praire
ilustrasi menikah (Pexels.com/Trung Nguyen)

Menikah atau tidak adalah sebuah keputusan yang merupakan hak pribadi masing-masing orang. Walau sudah sering dikatakan, dituliskan dan disiarkan bahwa tak ada yang mengharuskan seseorang untuk cepat-cepat menikah, tetapi pada kenyataannya masih banyak ditemukan pernikahan terburu-buru yang tidak didasari oleh alasan yang tepat.

Masih banyak pernikahan yang dilakukan hanya demi memenuhi harapan keluarga dan juga agar menjadi terlihat  ‘normal’ di mata publik. Walau memang sudah banyak pula yang mengatakan bahwa belum menikah di usia yang diakui sebagai usia layak menikah sekarang ini bukanlah hal yang aneh, tetapi mengapa masih banyak kita dengar pertanyaan, “Kapan menikah?"

Artinya, pandangan masyarakat masih belum sepenuhnya mengakui bahwa urusan pernikahan adalah ranah pribadi yang tidak semestinya dicampuri orang lain. Bahwa hal itu adalah sebuah pilihan yang harus dihormati semua orang. Akibat dari kondisi ini, lalu timbullah pernikahan-pernikahan yang dijalankan hanya untuk memenuhi tuntutan pandangan publik. Banyak orang merasa dikejar-kejar agar segera menemukan pasangan bahkan seringkali menurunkan ‘standar diri’ sendiri demi bisa ‘berjodoh’ dengan seseorang.

Hal itu tentu sangat disayangkan. Karena sesuatu yang diawali dengan sebuah pengorbanan berisiko menjadi sebuah penyesalan di kemudian hari. Ketika sebuah pernikahan didasarkan pada alasan untuk menghentikan pertanyaan ‘teror’ dalam setiap acara kumpul-kumpul, maka perjalanannya akan terasa lebih berat.

Sebagaimana diketahui bahwa pernikahan tidak selalu berjalan mulus tanpa adanya konflik atau permasalahan. Ketika kendala datang, tentu dibutuhkan kebersamaan dari kedua pihak untuk mengatasinya agar semua masalah dapat dilalui dengan baik. Sebagai definisi bersama dalam suka dan duka, tentu tak adil jika hambatan yang datang dianggap sebagai sesuatu yang menjadi tanggung jawab pribadi salah satu pihak saja.

Jika dasar pernikahan kedua pihak cukup kuat, akan lebih mudah untuk kembali merenungkan tujuan awal pernikahan yang diinginkan bersama. Kedua pihak bisa sama-sama mundur selangkah mengevaluasi keadaan.

Ada seorang kawan, sebut saja namanya Ani. Dalam pertemanan sebayanya, ia yang paling ‘terlambat’ menikah. Sebelum menikah, ia mungkin sudah ratusan kali menghadapi pertanyaan, "Kapan menikah?”

Lalu ia pun menikah dengan pria pilihannya. Sebelum menikah ia adalah wanita mandiri dengan banyak kawan. Selama beberapa lama berpacaran, terlihat bahwa Ani mempunyai dunia sendiri bersama sang pacar. Tampaknya ia menjalani masa pacaran yang lumayan ‘romantis” di mata kawan-kawannya. Orang-orang di sekitarnya ikut senang dan seakan mendorong agar segera menikah. Dan benarlah, Ani pun menikah dengan sang pacar.

Apakah itu salah? Belum tentu. Tak ada yang tahu pasti alasan Ani mau segera menikah dengan Alam yang belum lama dekat dengannya. Sedangkan selama ini Ani beberapa kali putus berpacaran dan tak sampai ke pernikahan, karena Ani mempunyai banyak pertimbangan dan standar lelaki untuk menjadi suaminya. Di mata keluarga dan kawan-kawannya, Alam tak sesuai dengan standar Ani. Tetapi mungkin yang namanya perasaan bisa mengalahkan standar. Setidaknya itu yang dipercayai oleh orang-orang dekat Ani.

Sampai setelah beberapa bulan usai menikah, Ani terlihat sering  menunjukkan wajah tidak gembira. Ia yang ketika berpacaran tak lagi berangkat kerja dengan sepeda motornya, melainkan dengan diantar mobil oleh Alam. Namun setelah menikah justru kembali harus berangkat sendiri dengan motornya dengan alasan, lokasi kerja Alam tak searah. Sedangkan setelah menikah, jarak dari lokasi kerja ke tempat tinggal menjadi lebih jauh, karena Ani mengikuti keinginan Alam untuk tinggal di rumah orang tuanya. Mungkin ini bukan hal besar dan penting bagi orang lain, tetapi ketika itu telah menjadi harapan Ani, maka ia telah menerima sebuah kekecewaan bukan?

Dan terlebih ketika Ani telah hamil, Alam tak juga merasa perlu mengantarkan Ani berangkat kerja. Dengan perut besar, Ani tetap berangkat kerja mengendarai motornya. Entah apa yang terjadi di antara mereka. Tetapi bagi kami yang hanya bisa melihatnya mempunyai pikiran, “Mengapa setelah menikah, Ani justru lebih sengsara?”

Entahlah, mungkin semua tak seperti kelihatannya. Mungkin saja memang itu pilihan Ani dan ia bahagia. Tetapi kisah Ani tetap dapat dijadikan pelajaran, benarkanlah dulu alasan untuk menikah sebelum mengambil keputusan. Dan harapan untuk hidup lebih baik setelah menikah bukanlah keinginan yang muluk. Hal itu wajar dan kamu tak harus menurunkan standar apapun yang kamu percaya.

Jadilah dirimu sendiri dan tak perlu menjadikan komentar orang lain sebagai tolok ukur. Isi hari-harimu dengan hal-hal berguna dan tak perlu menutup diri. Jika Tuhan mengizinkan, orang yang tepat akan datang pada saat yang tepat. Jadi, tetaplah berbahagia dengan apapun adanya kamu sekarang.

Dream Praire