Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Revina Alifa
Ilustrasi media sosial (Pexels.com/Tracy Le Blanc)

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam budaya, etnis, bahasa, serta agama. Dengan adanya berbagai macam perbedaan ini apabila tidak disikapi dengan bijak, konflik sosial bisa dengan mudahnya terjadi. Bahkan lebih parahnya dapat mengarah pada tindak kekerasan. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konflik adalah percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, pengertian konflik adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan dengan disertai ancaman dan kekerasan. Konflik sosial tidak melulu tentang kekerasan, perdebatan kecil pun dapat tergolong menjadi konflik sosial dalam taraf kecil. Tetapi yang patut diwaspadai adalah, perdebatan-perdebatan tersebut jika tidak diselesaikan dengan baik dan menemui titik terang, dapat menjadi pemicu awalnya konflik panjang hingga berujung dengan kekerasan.

Penyebab konflik sendiri beragam, tapi secara garis besar teori penyebab konflik sosial adalah, perbedaan pendirian dan keyakinan, perbedaan kebudayaan, serta perbedaan kepentingan. Di dalam realitas sosial individu satu dengan individu lain memiliki karakter serta kepentingan yang berbeda-beda sehingga adanya berbagai perbedaan pendapat, tujuan, serta keinginan tersebut dapat dengan mudahnya memicu timbulnya konflik sosial. 

Salah satu permasalahan yang akan saya bahas adalah mengenai peranan media sosial dengan maraknya konflik sosial yang terjadi di sekitar kita. Dengan adanya media sosial, kita dapat dengan bebasnya menyuarakan opini kita di internet.

Tak terkadang karena kita merasa bahwa media sosial itu menjadi wadah untuk mencurahkan opini kita di internet, kita tidak memedulikan fakta bahwa sosial media sangat luas dan opini kita dapat dengan mudahnya viral dan memicu pertentangan dari berbagai pihak.

Dan tak jarang banyak yang menggunakan tutur kata tidak etis serta tidak sopan yang dapat memicu amarah publik, hal ini sangat disayangkan karena mereka berpikir mereka bebas berpendapat apapun tanpa memedulikan tata bahasa dan etis yang benar, yang berakibat memunculkan konflik. Tak jarang konflik dapat terjadi karena berita bohong atau hoax, karena saking tidak ada batasannya dalam bersosial media.

Dan untuk menguranginya salah satu solusi yang diberikan pemerintah adalah melalui UU ITE. Beberapa contohnya adalah seseorang dapat dijerumuskan ke jeruji penjara karena mendistribusikan dokumen elektronik bermuatan asusila, perjudian, pencemaran nama baik, pemerasan, dan pengancaman (pasal 27). Mendistribusikan berita bohong atau hoax kepada masyarakat terkait suku, agama, ras antargolongan (pasal 28). Menyebarkan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti (pasal 29). Hal ini sangat membantu dan pastinya membuat masyarakat menjadi paham tentang etika dalam bermain dan menyampaikan opini dalam bermedia sosial.

Revina Alifa

Baca Juga