Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Ardina Praf
Buku Untangling you: How can I be grateful when I feel so resentful? (goodreads,com)

Ada kalanya hidup mempertemukan kita dengan perasaan yang sulit dijelaskan, amarah yang dipendam, luka yang tak kunjung sembuh, atau kecewa yang terus mengendap.

Buku How Can I Be Grateful When I Feel So Resentful? karya Dr. Kerry Howells hadir sebagai panduan lembut yang menuntun kita dari kegelapan kebencian menuju cahaya rasa syukur.

Buku  ini ditulis dari pengalaman pribadi dan telah digunakan banyak orang sebagai referensi untuk berjuang melepas rasa menyakitkan di masa lalu.

Howells memulai kisahnya dengan sangat personal. Sebagai seorang filsafat muda, ia mengalami sendiri getirnya kebencian, terutama terhadap ibunya. Hubungannya dengan ibunya terasa renggang dan tegang. Bahkan, hal tersebut berdampak pada kehidupannya di kemudian hari.

Kebencian itu tidak sekedar menjadi emosi yang tersimpan. Ia tumbuh dan menggerogoti kesehatan mentalnya secara perlahan. Sebuah fakta yang mungkin dirasakan banyak orang juga bahwa luka lama bisa mempengaruhi perilaku kita di masa depan.

Buku ini kemudian menawarkan secercah harapan yang begitu manusiawi. Suatu hari, Howells memutuskan untuk melangkah keluar dari siklus dendam yang menghantuinya. Ia kemudian menulis sebuah surat yang dikirim untuk ibunya.

Surat yang berisi ucapan terima kasih telah melahirkannya ke dunia yang indah ini dan memiliki sahabat bernama ibu. Sebuah tindakan yang terlihat sederhana, namun memiliki dampak luar biasa. Surat itu menjadi jembatan.

Ketika mereka bertemu kembali, pelukan dan air mata menjadi simbol cairnya kebekuan bertahun-tahun. Hubungan mereka pulih dan enam bulan kemudian, sang ibu meninggal. Namun, Howells tak lagi menyimpan penyesalan. Ia telah memeluk ibunya sejak ia mencoba melepaskan semua rasa bencinya.

Dari pengalaman pribadi inilah, Howells menyusun bukunya dengan runtut dan penuh kepekaan. Setiap bab menjelaskan proses kebencian itu tumbuh dengan berbagai penyebabnya. Tidak diperlakukan adil, kesuksesan rekan kerja yang tidak sesuai dengan kemampuannya, atau hal lainnya. Semua itu berpotensi untuk menumbuhkan rasa benci di dalam diri.

Ia menyadarkan kita bahwa rasa dendam tak selalu hadir dalam bentuk ledakan emosi, tapi bisa bersembunyi dalam sunyi, dalam sikap dingin, atau dalam harapan diam bahwa orang lain akan meminta maaf lebih dulu.

Namun, inilah yang menjadi keistimewaan buku ini. Daripada menuntut dunia untuk berubah, Howells mengajak pembacanya untuk merubah diri sendiri. Ia mengajarkan bahwa rasa syukur bukan berarti membenarkan perlakuan buruk, melainkan mengakui bahwa dalam setiap relasi, selalu ada hal baik yang patut dihargai.

Dan itulah yang menjadi obat agar kita bisa sembuh. Melalui langkah-langkah praktis dan penuh empati, pembaca diajak untuk perlahan melepaskan luka, bukan dengan melupakan, tapi dengan memilih untuk tidak terus-menerus hidup di dalamnya.

Buku ini sangat cocok untuk kalian yang merasa terjebak dalam konflik batin, baik dengan orang lain maupun dengan diri sendiri. Ia seolah mengingatkan kita bahwa kehidupan yang kita impikan mungkin terlalu sempurna, baik dalam pertemanan, keluarga, atau karir.

Dan saat kenyataan tak sesuai harapan, rasa kecewa berubah menjadi kebencian yang tak terucap. Tapi di tengah itu semua, rasa syukur bisa menjadi obat. Rasa syukur yang dimaksud bukanlah paksaan, melainkan syukur yang selalu kita terapkan dalam berbagai hal kecil.

Buku How Can I Be Grateful When I Feel So Resentful? bukan hanya tentang syukur, tapi tempat untuk belajar membuka diri terhadap luka yang selama ini menjadi bayang-bayang.

Bukan hadir sebagai nasihat yang menggurui, melainkan sebagai teman yang setia menyapa dengan kelembutan, kejujuran, dan harapan.

Ardina Praf