Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Aqil Husein Almanuri
Ilustrasi WhatsApp (Pexels/Anton)

Kemarin, Whatsapp mengalami gangguan. Keadaan ini barangkali dirasakan oleh nyaris seluruh pengguna Whatsapp di seluruh dunia. Kompas Tekno memantau, Whatsapp mengalami down sejak sekitar pukul 14.10 Waktu Indonesia Barat (WIB), 25 Oktober 2022. Oleh karena itu, baik percakapan secara personal maupun grup belum bisa dilakukan. Ini tak hanya terjadi pada versi mobile-nya saja, melainkan juga terjadi pada versi dekstop dan WA webnya juga.

Kompas Tekno juga merilis, bahwa berdasarkan pantauan di situs Downdetector, Whatsapp mengalami gangguan (baca;down) tidak hanya di Indonesia, melainkan juga terjadi di beberapa negara lainnya, seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, Italia, Jepang, Malaysia, dan Filipina juga mengalami dampaknya. Bahkan pada pukul 13.56 (25 Oktober 2022), laporan Whatsapp error meningkat sebanyak 299 kasus. Ini mengindikasikan bahwa Whatsapp error merupakan masalah global.

Tak ayal, kabar Whatsapp error ini pun menghebohkan jagad maya. Bahkan, ihwal masalah yang dialami oleh aplikasi yang berada di bawah perusahaan Meta ini pun dikicaukan hingga 492 ribu kali di Twitter per pukul 15.06 WIB (CNN Indonesia). Semua orang mengalami kecemasan yang sama. Sedangkan pihak terkait (berdasarkan berita yang beredar) belum memberikan kejlasan saat itu.

Saya pun juga termasuk dari salah seorang yang mencemaskan itu. Meskipun tidak sampai over (berlebihan), tapi—saya sendiri merasa—mengalami sensasi bingung dan kejut tersebut. Terlebih, beberapa informasi penting ada di Whatsapp, seperti informasi jadwal sidang proposal misalkan. Namun, kecemasan itu akhirnya purna setelah Whatsapp—beberapa menit kemudian—normal kembali.

Lalu apa yang lebih mencemaskan dari Whatsapp error?

Saya lantas berpikir, apakah kecemasan yang sama juga akan dirasakan  oleh orang-orang (bahkan saya sendiri juga) ketika mendengar aplikasi perpustakaan nasional (Perpusnas), web media massa, beberapa media online yang menyuguhkan tulisan-tulisan setiap harinya mengalami gangguan? Apakah orang akan juga beramai-ramai mendatangi akun Instagram resmi Perpusnas untuk melakukan protes?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas tentu setidaknya dimulai dari beberapa riset kecil-kecilan. Semisal riset klise mengenai kuantitas minat baca di Indonesia (terutama) berikut peringkat Indonesia dalam segi minat masyarakat terhadap aktivitas membaca atau komparasi kecenderungan dan ketergantungan masyarakat kepada bacaan dan media sosial.

Tentu hipotesis awal kita akan sama; masyarakat Indonesia kurang baca dan kalau pun dikomparasikan—kecenderungan masyarakat kepada Whatsapp (termasuk juga kepada media sosial lainnya) lebih tinggi dari membaca. Ini masih hipotesis awal, mari kita buktikan.

Dalam catatan Unesco, Indonesia masih berada pada deretan negara yang memiliki kuantitas minat baca sangat rendah. Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, Indonesia berada pada peringkat 60 dari 61 negara berdasarkan  minat baca. Itu berarti, Indonesia merupakan negara terendah kedua di dunia. Kedudukannya (Indonesia) tepat berada di bawah Thailand (yang menempati posisi 59) dan di atas Bostwana (yang menduduki peringkat terakhir, 61).

Ini sama sekali tidak masuk akal jika dikaitkan dengan sebuah riset yang dilakukan pada tahun 2016. Riset itu memaparkan bahwa dari segi infrastruktur untuk mendukung minat baca, Indonesia unggul dari beberapa negara di Eropa. Realitas demikian tentu menghalangi Sumber Daya Manusia (SDM) kita untuk maju, dan akan tetap stagnan pada posisi yang sangat rendah. 

Semangat membaca negara kita saja masih berada pada poros yang menyedihkan, apalagi mengharapkan signifikansi peningkatan dan repair. Barangkali itu hanya akan  menjadi mimpi di siang bolong.

Mengomparasikan dua kecenderungan tersebut (kecenderungan ber-Medsos atau membaca) barangkali merupakan sebuah perbandingan yang kontras. Pada tahun 2018, lembaga riset digital marketting emarketer memberikan asumsi bahwa kurang lebih 100 juta penduduk Indonesia menjadi pengguna aktif smartphone. Artinya, negara ini berada pada peringkat keempat pengguna terbanyak smartphone setelah China, India, dan Amerika. 

Saya kembali melakukan pengamatan sederhana. Dilansir dari laman Kominfo, pengguna Whatsapp di Indonesia mencapai 171 juta jiwa. Angka tersebut, sekarang, bisa saja mengalami peningkatan, mengingat kebutuhan masyarakat terhadap media sosial juga semakin tinggi, seperti sejak diberlakukannya belajar dalam jaringan (Daring). Namun, ketika saya melihat kepada pengunduh aplikasi Perpusnas di playstore (karena punya saya masih android), angka yang tertera masih belum mencapai 2 juta. Perbandingan yang cukup kontras, bukan?

Maka, respon orang-orang ketika aplikasi Perpusnas terblokir atau tidak bisa diakses dan ketika Whatsapp error adalah dua realitas yang berbeda. Keadaan yang dihasilkan dan sensasi kejut yang dirasakan pun tidak sama. Dan inilah sebenarnya keadaan yang harus kita lebih cemaskan dari sekadar mencemaskan Whatsapp error.

Mungkin, kita tidak usah mengharap orang-orang akan cemas jika aplikasi Perpusnas terblokir. Melihat aplikasi ini diunduh oleh lebih dari 1 juta pengguna internet di Indonesia saja  adalah hal yang bagi saya cukup memuaskan, sekaligus meresahkan. Wallahu a’lam.

Video yang mungkin Anda suka

Aqil Husein Almanuri